A.
Tokoh-tokoh
Hermeneutika Klasik[1]
Sebatang pohon besar, berdiri kokoh, dan
berdaun rindang dulunya adalah sebutir benih atau tunas kecil dan kemudian
tumbuh. Begitulah perumpamaan pertumbuhan Hermeneutika yang dari zaman-kezaman
semakin progresif. Zaman hermeneutic kasik adalah zaman dimana pohon
hermeneutic masih berbentuk benih belum berdiri kokoh dan masih menantikan para
pemikir untuk mengembangkannya. Maka dari itu terminology hermeneutka sekarang tidak
bisa mutlak disamakan dengan termenologi hermeneutika klasik.
Sebagaimana filsafat, kemunculan benih-benih
hermeneutic klasik juga berkiblat pada tradisi peradaban Yunani kuno. Selain
Yunani kuno memiliki tradisi filsafat yang tinggi, alasan lain adalah kata
hermeneutic itu sendiri identik dengan kata ermeneutike yang pernah
disinggung Plato dan Aristoteles dalam bukunya.
Untuk menemukan pemikiran hermanautik tokoh
klasik Yunani, Jean Grondin merumuskan tiga perspektif yaitu, alegoris,
religious dan logis.[2]
Adapun tokoh-tokoh Yunani Klasik yang bisa dikaitkan dengan hermeneutika
diantaranya adalah:
1.
Hermes (tokoh dalam mitologi Yunani)
Hermes adalah tokoh mitologi yunani kuno yang
diyakini sebagai utusan dewa yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan
dewa kedalam bahasa manusia manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas
menafsirkan kehendak Dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Dengan demikian, fungsi Hermes sangat penting
sebab bila ia melakukan kesalahan dalam menyampaikan pesan yang dibawanya, akan
berakibat sangat fatal bagi seluruh kehidupan manusia. Untuk itu Hermes harus
mampu dengan tepat menginterpretasikan pesan Tuhan ke dalam bahasa
pendengarnya. Sejak itu Hermes merupakan symbol seorang duta yang dibebani
dengan misi khusus. Berhasil tidaknya misi tersebut bergantung pada cara
bagaimana Hermes menyampaikan dalam bahasa manusia.[3]
2.
Para Filosof
a.
Sokrates (469-399)
Sokrates sering disebut filosof pertama yang
terlahir di Athena. Ia berasal dari keluarga sederhana, ayahnya seorang pemahat
patung dan ibunya seorang bidan. Ia juga warga Negara yang sering ikut
pertempuran. Dari segi pendidikan ia juga mendapatkan pendidikan yang baik
bahkan dengan cepat memberikan pelajaran-pelajaran di mana-mana di kota Athena.
Pada tahun 399 Ia dihuku mati karena dianggap mengenakan dewa-dewa baru pada
kaum muda.
Dengan perspektif logis Sokrates sebenarnya
telah melakukan tindak hermeneutic. Hal ini bisa diketahui dari metode maieutiknya
dalam berfilasafat. Metode maieutik[4]
adalah metode dimana dalam mencari kebenaran, tidak berfikir sndiri,
melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan Tanya jawab. Orang
yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan kawannya yang
diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa teman
dialog itu. Ia tidak mengajarkan melainkan mengeluarkan apa yang tersimpan di
dalam jiwa seseorang.[5]
Dengan demikian maksud Sokrates dengan metode ini adalah agar lawan bicaranya mampu
menginterpretasikan asumsi-asumsi yang masih mengendap dalam jiwa nya.
b.
Plato
(427 – 347 SM)
Plato lahir pada tahun 427 dari keluarga
bangsawan Athena. Ia adalah murid Sokrates yang setia. Setelah gurunya
meninggal, ia masih meneruskan perjuangan gurunya tersebut. Bahkan, dalam
mengemukakan pandangannya ia sering menggunakan nama gurunya.[6]
Asumsi
pemikiran Plato Tentang hermeneutika sering dikaitkan dengan kata ermeneutike.
Kata tersebut terdapat dalam tiga karya plato yaitu pada Definitione,
Politicus, dan Epinomis. Dalam
Definitione Plato menggunakan ermeneutka sebagai adjektiva ketika
mendefinisikan kata benda. Dari situ terihat bahwa ermeneutike berarti “yang
menunjukkan sesuatu” Sedangkan dalam Epinomis dan Politicus menurut
Leon Robin sebagaimana yang di kutip Jean Grondin ermeneutike diartikan dengan
“interpretasi sabda para dewa(orakel)”.
Dalam cara penyampaian pemikirannya Plato
sebenarnya lebih memilih menggunakan dialog daripada tulisan.[7]
Hal ini sering dinilai karena kesetiaannya pada gurunya yang dulu sering
menggunakan dialog dalam berfilsafat.[8]
Akan tetapi abih dari itu, Jean Gordin menjeaskan bahwa ketika Plato membahas
wacana tertulis dalam Phaedrus, dia menegaskan bahwa wacana tertulis
yang paling baik sekalipun tetap saja berfungsi sebagai “re-memorasi”. Artinya kata tertulis hanya dapat digunakan
untuk membantu kita mengingat kesertamertaan dan kepenuhan makna yang jadi
milik wacana lisan yang pada gilirannya menggemakan kembali wacana tulis dalam
jiwa.
Pemikiran hermeneutis dari Pato yang khas
adalah bahwa tidak ada jaminan tulisan akan bisa dipahami dengan tepat oleh
pembaca.[9]
c.
Aristoteles (384 – 322 SM)
Aristoteles lahir pada tahun 384 di Sageria,
suatu kota di yunani Utara. Bapaknya bernama Nicomachus, salah seorng dokter
pribadi di Amytas II, raja Macedonia. Aristoteles belajar di Akademia Plato di
Athena lebih dari 20 tahun. Lima tahun
sesudah kematian Plato, pada tahun 342, ia dipanggil oleh Philippos, raja Macedonia
untuk mengajar anaknya, yaitu Alexander. Tidak lama setelah Alexander menjadi
raja, Aristoteles kembali ke Athena dan mendirika sekolah yang namanya lykon.
Sesudah kematian Alexander Agung, ia harus melarikan diri dari Athena, karena
dituduh menyebarkan paham Atheisme. Ia meninggal tahun 322 di Khakes.[10]
Sebagaimana Plato, Aristoteles juga menggunakan
kata-kata yang di indikasikan sebagai akar kata hermeneutika. Kata tersebut
digunakan pada judul karyanya yaitu Peri Hermenies. Kata tersebut oleh orang
latin diartikan dengan De elocutione (Tentang Gaya). Kemudian karena
“gaya” adalah cara memaksudkan, mengungkapkan dan menyampaikan sesuatu kepada
orang lain, sehingga bahasa itu sendiri merupakan “gaya”sebab bahasa adalah
sarana mengungkapkan sesuatu sekaligus sebagai sesuatu yang akan dipahami orang
lain.
Orang-orang yunani juga menggunakan kata
(ermenia) untuk mendeskripsikan dengan apa yang kita sebut dengan penafsiran.[11]
Menurut Miftahudin Dalam Peri Hermeneias
tersebut Aristoteles memandang kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari
pengalaman mental kita dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari
kata-kata yang kita ucapkan itu. [12]
Aristoteles mengasumsikan bahwa tidak ada yang benar-benar hilang dalam
rangkaian transmisi dari jiwa (pengalaman mental) ke pengucapan dan dari
pengucapan ke penulisan. Tanda tertulis berfungsi sebagai “tanda (mark)”
yang dengan persis mewakii suara dan kesan-kesan jiwa.[13]
Inilah yang jelas membedakan pendapat Aristoteles dengan pendapat plato di
atas.
d.
Tokoh Stoicisme (300 SM)
Stoisisme adalah
semacam madzhab flsafat yang didirikan di Athena oleh Zeno (340-264) dari
Kition tahun 300 SM.
Stoicisme (dalam kaitannya dengan
kehermeneutkaan) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu intepretasi
alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam
dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi
alegoris terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer
logos (inner word and outer word).[14]
B.
Tokoh-tokoh
Hermeneutika Bibel
Diantara tokoh-tokoh hermeneutika Bibel adalah:
1.
Philo of Alexandria (20 SM-50 M),
seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak
metode alegoris (kiasan). Metode yang juga disebut typology itu intinya
mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks
atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu
diluar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan kedalam
pemikiran teologi Kristen.
2.
Origen (sekitar 185-254 M)
Origen telah berhasil menulis penjelasan Kitab
Perjanjian Lama dengan metode alegoris. Origen melakukan sistematisasi terhadap
prinsip-prinsip hermeneutika alegoris ini. Meunrutnya, ada tiga kategori makna
dalam teks Bible, yaitu literal, moral, dan alegoris. Yang terakhir itulah yang
tertinggi tingkatannya. Origen mengembangkan teorinya dari filsafat Paulus dan
Yunani, bahwa tubuh manusia terdiri atas “body”, “soul” dan “spirit”.
Sebagaimana teks Bible juga mempunyai pengertian “literal”, “moral”, dan
“spiritual”.[15]
Sehingga Ia membagi
tingkatan pembaca Bibel menjadi tiga:
a. Mereka yang hanya
membaca makna luar teks.
b. Mereka yang mampu mencapai ruh Bibel.
c. Mereka yang mampu
membaca secara sempurna dengan kekuatan spiritual.
3.
Johannes Cassianus (360-430 M).
Cassianus menambahkan rumusan tiga makna yang
dicetuskan oleh Origen menjadi empat
lapis makna yaitu: literal atau historis, alegoris, moral, dan anagogis
(spiritual). Anagogical interpretation juga dikenal sebagai
“mystical interpretation”. Model ini dipengaruhi oleh tradisi mistik
Yahudi (Kabbala) yang diantaranya mencoba mencari makna-makna mistis dari
angka-angka dan huruf-huruf Hebrew. Contoh dari interpretasi empat tingkat
adalah kata ‘jerusalem’. Pada level literal, Jerusalem adalah nama kota
yang ada di bumi. Pada makna alegoris, Jerusalem diartikan sebagai “gereja
Kristen”. Menurut makna moral, Jerusalem berarti jiwa (soul). Dan pada level
anagogis (escatbological), Jerusalem adalah “kota Tuhan di masa depan”[16]
4.
St.Augustine of Hippo (354-430 M)
St. Augustin of Hippo dalam metode exegesisnya
mengambil jalan tengah. Selanjutnya Ia memberi makna baru kepada hermeneutika
dengan memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini
dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks
Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu
simplistik. Ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis yang
telah tersurat dalam teks Bible sendiri.[17]
5.
Thomas Aquinas (1225-1274).
Thomas Aquinas (1225, Aquino, Italia –
Fossanova, Italia, 7 Maret 1274), kadangkala juga disebut Thomas dari Aquino
(bahasa Italia: Tommaso d’Aquino) adalah seorang filsuf dan ahli teologi
ternama dari Italia. Ia terutama menjadi terkenal karena dapat membuat sintesis
dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen. Sintesisnya ini termuat
dalam karya utamanya: Summa Theologiae (1273). Ia disebut sebagai "Ahli
teologi utama orang Kristen." Bahkan ia dianggap sebagai orang suci oleh
Gereja Katholik dan memiliki gelar santo.
Dalam karyanya Summa Theologia ia
menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga
bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan
bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh
para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk
kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya adalah
untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan
sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris.
Gabungan filsafat Aristotle dan doktrin-doktrin
Kristiani merupakan sumbangan Thomas yang berharga bagi pemikiran
filsafat gereja Katholik. Namun, negatifnya ia diklaim sebagai representasi
kitab yang sakral (sacra scriptura) dan bahkan ajaran yang sakral (sacra
doctrina). Padahal teks-teks Bible itu dieksploitir untuk menjustifikasi
premis-premis teologi mereka yang telah banyak dipengaruhi pemikiran spekulatif
filsafat. Itulah sebabnya Werner menganggap hermeneutika dalam pengertian
Thomas itu sebagai the emerging humanist interpretation theory. Hal ini
tidak lepas dari milieu pendidikan humanism yang mulai berkembang di tengah
masyarakat Barat dan yang diterima oleh para pendeta waktu itu.
Pemikiran para teolog Kristen yang diwarnai
teori interpretasi humanistis itu, sebenarnya bertentangan dengan realitas
spiritual yang dianut gereja. Sebab ketika Thomas Aquinas muncul milieu
pemikiran teologi dan filosof Barat tidak lagi menjadikan masalah Tuhan sebagai
sentral pembahasan mereka. Jikapun ada pembahasan masalah Tuhan maka ia dibahas
dengan pendekatan yang seperti itu. Yang jelas tren interpretasi humanistis ini
berlaku hingga akhir abad ke lima belas dan awal abad ke enam belas.
Pengaruhnya ini terhadap gerakan reformasi dalam intepretasi Bible cukup kuat.[18]
6.
Martin Luther (1483-1456)
Martin
Luther, seorang tokoh reformis pada abad ke-16,[19]
menyatakan, bahwa “kata-kata Tuhan harus diartikan secara jelas (simplest
meaning) selama masih memungkinkan. Kata-kata Tuhan itu, katanya, harus
dipahami sesuai arti tata bahasa dan makna literalnya. Jika metode literal tidak
digunakan, menurut Luther, maka akan memberikan kesempatan kepada musuh untuk
melakukan penghinaan kepada Bible. Para reformis Kristen ini menekankan model
literal dengan tujuan untuk mengalihkan otoritas interpretasi Bible dari
Gereja, konsili-konsili, dan Paus, ke teks Bible itu sendiri.[20]
Dengan kata lain, hermeneutika yang diyakini
Protestan, khususnya Luther adalah bahwa pemahaman yang benar terhadap
kata-kata dalam teks itu sendirilah sebenarnya yang membuat jiwa Kitab itu
tumbuh dan bukan diluar dari teks Kitab. Dictumnya sui ipsius interperes
(self interpreting) berarti bahwa kehadiran Tuhan dalam setiap kata
tergantung kepada pengamalan yang dimanifestasikan melalui pemahaman yang
disertai keimanan. Motto kaum Protestan ini dikenal dengan Sola Scriptura, yaitu
meyakini bahwa Bible saja telah merupakan petunjuk yang cukup jelas untuk
memahami Tuhan.
Meskipun dalam bidang hermeneutika gerakan
Kristen Protestan masih berpegang bacaan Bible yang telah dikembangkan oleh
teolog pendahulu mereka, namun perubahan sikap terhadap Bible dan otoritas
gereja cukup berarti bagi perubahan makna hermeneutika. Sikap ini secara
umum dapat difahami sebagai penolakan mereka terhadap hermeneutika model
intepretasi alegoris dan justifikasi terhadap hermeneutika model interpretasi
literalis (sensus literalis), seperti yang dilakukan Aquinas.[21]
C.
Tokoh
Hermeneutika Modern[22]
Dalam filsafat periode modern ditandai dengan
munculnya dua aliran besaryaitu Rasonalisme dan Emirisme (abad 17). Selanjutnya
di dalam eriode modern ada istilah Zaman Aufklaerung (enlightment) yaitu
zaman dimana muncul pencerahan pada tradsi pemikiran Barat. Tokoh besar
filsafat pada zaman ini adalah Imanuel Kant (1724-1804). Pemikiran filsafatnya
berusaha mengkompromikan antara Rasionalisme dengan empirisme. Dengan demikian
Kant berusaha melakukan kritik terhadap kedua aliran filsafat yang berkembang
pada masa itu yaitu, rasionalisme dogmatic dan empirisme dogmatic.
Pemutlakan kebenaran masing-masing kedua aliran
filsafat tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri. Karena diantara mereka
saling menyerang satu sama lain. dengan adanya kritik dari imanuel kant memunculkan
pencerahan dan pemahaman baru terhadap polemic yang terjadi.
Dalam logika transendentalnya kant merumuskan
konsep judgement dan kategori. Judgement (penilaian) adalah pernyataan kita
tentang suatu objek (fenomena), kita bisa menilai sesuatu tentunya kita
memahami objek (fenomena) tersebut. Mengapa kita bisa memahami objek tersebut ?
untuk menjawab ini Kant menjawab karena kita sudah memiliki criteria-kriteria
universal dan a priori, sehingga objek (fenomena) bisa dipahami. Akan tetapi
criteria-kriteria tersebut hanya bisa diterapkan pada apa yang diberikan
dalam ruang dan waktu (bersifat
empiris). Sehingga untuk memahami benda itu sendiri secara utuh dan
transcendental (noumena) criteria-kriteria tersebut tidak mampu. Dengan
demikian jelaslah penolakan Katn pada rasionalisme dogmatic dan empirisme dogmatic.
Kant menawarkan pemahaman yang bersifat plural
dan relative. Karena kant berpandangan pengetahuan yang sebenarnya diperoleh
hanyalah sekedar sintesis dari kesan-kesn indrawi yang bisa kita tangkap dan
yang jumlahnya boleh dibilang yang tak terbatas itu.[23]
Dari pemikiran-pemikiran Kant tersebut secara
significant berpengaruh dan menguatkan bangunan hermeneutika modern.
D.
Tokoh-tokoh
Hermeneutika Kontemporer
1.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834)
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher
dilahirkan di Breslau pada tanggal 21 November 1968 dari keluarga yang sangat
teaat dalam agama protestan. Pada tahun 1783 ia mengikuti pendidikan menengah
di sekolah Moravian di Niesky. Ia adalah murid dari Friedriech Ast (1778-1841).[24]
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher meninggal
dunia pada hari rabu tanggal 12 Februari 1934 karena radang paru-paru..[25]
Schleiermacher[26]
adalah seorang ahli teologi dan penganut idealisme. Ia berpendapat bahwa semua
karya, baik berupa dokumen hukum, kitab suci, atau karya sastra pada hakikatnya
sama, yaitu pemahaman merupakan masalah pokok semua bacaan. Semua teks tertulis
termanifestasikan melalui bahasa, oleh karena itu bilamana prinsip-prinsip
pemahaman melaui bahasa dapat dirumuskan, maka terwujudlah hermeneutika umum.[27]
Hermeneutika sebagai seni memahami diungkapkan olehnya
sebagai berikut “semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu
dengan yang lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berfikir, dan
hermeneutik adalah merupakan bagian dari seni berfikir itu sehingga bersifat
filosofis.[28]
Menurut Schleiermacher, ada dua tugas
hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi
gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat
berfikir setiap orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan
seseorang menangkap ‘setitik cahaya’ pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk
memahami pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya
sebaik memahami kejiwaanya. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas suatu
bahasa dan psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya.
Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan
keberhasilanya dalam bidang seni interpretasi. Schleiermacher menyatakan bahwa
tugas hermeneutik adalah “memahami teks sebaik atau lebih baik daripada
pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami
diri sendiri”[29]
Ada beberapa taraf memahami, demikian juga
dengan interpretasi. Taraf pertama ialah interpretasi dan pemahaman mekanis:
pemahaman dan interpretasi dalam kehidupan kita sehari-hari, di jalan-jalan,
bahkan di pasar, atau di mana saja orang berkumpul bersama untuk
berbincang-bincang tentang topik umum. Taraf kedua ialah taraf ilmiah dilakukan
di universitas-universitas, dimana diharapkanadanya taraf pemahaman dan
interpretasi yang lebih tinggi. Taraf keduanya ini dasarnya adalah kekayaan
pengalaman dan observasi. Taraf ketiga ilalah taraf seni; disini tidak ada
aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi. Bila
kita mengerti, kita tidak menyadari pada taraf mana pengertian atau pemahan
kita. Jika kita membuat interpretasi terhadap ayat-ayat kitab suci, suatu
dokumen historis, kita sangat sering mencacaukan penggunaan ketiga taraf
interpretasi tersebut diatas.[30]
2. Wilhelm
Dilthey (1833-1911)
Wilhelm Dilthey lahir tanggal 19 November 1833 di Bieberich. Ayahnya
seorang pendeta protestan. Setelah tamat pendidikan, tahun 1852 ia pergi ke
Heidelberg untuk bekajar teologi, karena orang tuanya pendeta, maka ia
dikehendaki untuk memperdalam teologi. Dilthey sangat gemar belajar teologi,
namun berangsur-angsur kesenangan itu mulai luntur, ia gagal menjadi petugas
gereja, dan beralih profesi menjadi wartawan dan penulis artikel. Ia banting
setir mendalami ilmu pengetahuan.[31]
Menurut Dilthey[32]
tugas hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal
interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan-pandangan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat
dimulai, maka dituntut adanya suatu latar belakang pengetahuan. Pengetahuan
tersebut harus bersifat gramatikal kebahasaan serta bersifat sejarah. Maksudnya
agar kita mempunyai alat dalam mempertimbangkan karya yang ada mengenai
lingkungan munculnya karya dan bahasa yang dipakai dalam karya tersebut. Dengan
pengetahuan tersebut kita mendekati tugas interpretasi. Interpretasi nampaknbya
niscaya berupa suatu proses yang melingkar, yaitu setiap bagian dan suatu karya
sastra misalnya dapat ditangkap lewat keseluruhannya. Kemudian sebaliknya keseluruhannya
dapat ditangkap lewat bagian-bagiannya. Setiap bagian suatu karya sastra dapat
mempunyai arti yang tidak terbatas. Setiap kata selain istilah-istilah teknik
tertentu, senantiasa lebih dari satu. Ekuivokasi kata atau arti bermacam ragam
yang ditimbulkan kata dapat memberi berbagai macam kemungkinan.
Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika
menurut Dilthey bahwasanya bahasa memiliki peranan sentral, karena proses dan
dimensi hidup manusia tercover oleh bahasa. Kompleksitas kehidupan manusia
dapat dipahami dan diintrepretasi melalui kacamata bahasa, yang diungkapkan
oleh Dilthey bahwa keseluruhan dapat dipahami melalui bagian-bagiannya,
sedangkan bagian-bagiannya dapat dipahami melalui keseluruhannya.[33]
3. Martin
Heideger (1889-1976)
Martin
Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976
pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman.. Heidegger dilahirkan di
sebuah keluarga desa di Meßkirch, Jerman, dan diharapkan kelak menjadi seorang
pendeta.
Heideger
adalah murid dari Edmund Huserl.[34] Sehingga nuansa filsafat fenomenologis
meliputi pemikirannya.
4.
Hans -Georg Gadamer (1900 -2002)
5. Jurgen Habermas (1929-)
Herbermas lahir di
Gumersbach 1929, selain seorang filosof ia juga menekuni bidang politik dan
banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang ‘Persenjataan Kembali’ (reamament)
di Jerman.
Meski gagasan Habermas tidak berpusat pada
hermeneutik namun gagasan-gagasannya banyak mendukung pustaka hermeneutik.
Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan dalam tulisannya ‘Knowledge and Human
Interest’.
Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang
bersifat lebih, yang tidaka dapat dijangkau interpretasi, yaitu yang terdapat
di dalam hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’. ‘tidak dapat
dijabarkan’, bahkan diluar pikiran kita. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa
sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoritis terhadap
fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Penjelasan haruslah berupa penerapan
secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman[35] menjadi subjektifnya. Pemahaman hermenutik lebih diarahkan
pada konteks tradisional tentang makna. Habermas membicarakan tentang
‘pemahaman monologis tentang makna’, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan
hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa ‘murni’, seperti
misalnya bahasa simbol. Pemahaman hermeneutik
melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan yaitu lingusitik, tindakan dan
pengalaman. Dalam hermeneutik, penafsir mengalami dilema antara tetap objektif
dan bersifat subjektif atau antara tetap subjektif dan harus menjadi objektif.
Dilema ini merupakan pertanyaan ‘eksklusif linguistik atau analisis empiris’.
Menurut Habermas, objektivasi pemahaman hanya mungkin bila interpreter menjadi
partner dalam dialog komunikatif. Ini berarti interpreter harus mengadakan
interaksi, sebagaimana terjadi dialog atau dialektika antara yang umum dan yang
individual. Bahasa dan pengalaman, dalam logika Habermas, harus masuk ke dalam
dialektik dengan tindakan.[36]
Minat diterjemahkan oleh Habermas sebagai
orientasi dasar yang berakar dalam kondisi fundamental khusus dari reproduksi
yang mungkin dan kelangsungan hidup spesies manusia yaitu ‘kerja’ atau karya
dan ‘interaksi’. Alasan Habermas memasukan minat dalam hermeneutik adalah
karena menurutnya pengetahuan dan minat pada dasarnya satu. Ia menyebut
pengetahuan tentang manusia dengan istilah ersatz. Berdasarkan
perbandingan dan kritiknya terhadap Karl Marx dan Dilthey, Habermas mengatakan
bahwa ‘membuka rahasia
interpretasi terhadap diri sendiri adalah tugas hermeneutik’. Habermas
lebih lanjut mengatakan bahwa minat mendahului refleksi diri sesaat sesudah
minat menyadari dirinya sendiri dalam daya atau kekuatan emansipasinya
(pembebasan). Habermas mencemooh model hermeneutik dari ilmu-ilmu kemanusian
karena dianggapnya tidak dapat bekerja untuk interpretasi psikoanalitik.
Hermeneutik memperoleh fungsinya dalam proses genesus kesadaran diri. Habermas
sebenarnya ingin berada di antara dua kutub metodologis yaitu di antara hermeneutik yang subjektif dan
hukum-hukum sains yang objektif, untuk selanjutnya ia ingin menggabungkan kedua
hal tersebut dan menerapkannya pada sains.[37]
6.
Paul Ricoeur (1913-
Paul Ricoeur lahir di Perancis tahun 1913, ia belajar filsafat untuk pertama
kali di Lycee dan berkat jasa R. Dalbiez seorang filsuf berhaluan thomisme,
Ricoeur menjadi populer. Pada tahun 1933 ia meraih ‘licence de philosopie’.
Pada tahun 1948 ia menggantikan Jean Hyppolite sebagai profesor filsafat di
Universitas Stasbourg. Bahkan pada tahun 1950, ia meraih gelar ‘docteur es
letters’ dengan karyanya yang berjudul ‘Philosopie de la Volonte’
(filsafat kehendak). Pada tahun 1956 ia diangkat sebagai profesor filsafat di
Universitas Sorbonne. Di Paris ia menjadi direktur Center d’etudes
Phenomenologiques et Hermeneutiques (Pusat Studi tentang Fenomenologi dan
Hermeneutika).[38]
Menurut Ricoeur[39], salah
satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutika adalah suatu
“perjuangan melawan distansi kultural” yaitu penafsir harus mengambil jarak
agar ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Kita baru bisa mengkritik jika
kita membuat suatu jarak dengan obyek yang dikritik. Namun demikian, kritik
yang kita lakukan itu akan membawa juga struktur-struktur yang sudah jadi dan
gagasan-gagasan kita. bahasa yang diungkapkan dalam struktur itu juga sudah
diberi warna. Oleh karena itu setiap orang yang melakukan suatu kritik
sebenarnya sudah menbawa anggapan-anggapan, yang oleh Gadamer dikatakan tidak
sepenuhnya kabur atau bahkan menipu. Sebab bila mana seorang penafsir mengambil
jarak terhadap peristiwa-peristiwa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan
tangan yang sebelumnya kosong. Ia membawa sesuatu yang oleh Heidegger disebut ‘Vorhabe’
(apa yang ia miliki), ‘Vorsicht’ (apa yang ia lihat), dan ‘Vorgriff’
(apa yang menjadi konsep kemudian). Hal ini menandakan bahwa kita tidak dapat
sama sekali menghindarkan diri dari suatu prasangka.
Mengenai tugas hermeneutika Ricoeur menyatakan bahwa
tugas pertama hermeneutika adalah di satu fihak mencari dinamika internal yang
mengatur struktur kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang
dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan
makna teks itu muncul ke permukaan. Pengertian hermeneutika menurut Ricoeur adalah
‘suatu teori pengoprasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi
terhadap suatu teks. Apa yang kita ucapkan atau yang kita tulis mempunyai makna
lebih dari satu bila mana kita hubungkan dengan konteks yang berbeda.
Dengan demikian tugas hermeneutika menjadi
sangat berat sebab interpreter harus membaca ‘dari dalam’ teks tanpa masuk atau
menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya tidak dapat lepas
dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil
dalam usahanya, maka distansi yang asing harus disingkirkan harus dapat
mengatasi situasi dikotomis serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam
antara aspek-aspek subyektif dan obyektif.
Ricoeur mengatakan, hubungan dengan dunia teks
terletak di dalam hubungan dengan subjektivitas pengarangnya dan pada saat yang
sama persoalan subjektivitas pembaca harus ditinggalkan. Subuah teks harus kita
tafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah diwarnai denga situaasi kita sendiri
dalam kerangka waktu yang khusus. Untuk memahami sebuah teks kita tidak
memproyeksikan diri kedalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya,
(Sumaryono, 1933; 102) dengan demikian berarti kita mengizinkan teks untuk
memberikan kepercayaan kepada diri kita untuk menginterpretasinya dengan cara
yang obyektif.[40]
[1] Pada
Zaman Yunani kasik sampai abad-17 memang belum muncul Istilah hermeneutika.
Akan tetapi akar kata tersebut diindikasikan dari kata ermeneutike yang
pernah disingung para filosof yunani yaitu plato dan Aristoteles.
[2] Perspektif
alegoris maksudnya, menelusuri asumsi
tentang hermeneutika dengan tradisi alegoris yunani, persektif teologis maksudnya menelusuri asumsi tentang
hermeneutka dengan tradisi interpretasi dan ramalan dalam agama Yunani kuno,
dan perspektif logis maksudnya adalah mencari hal ihwal yang bisa dianggap sebagai hermeneutikadalam
teks-teks klasik.(Lihat: Jean Grodin, Sejarah Hermeneutik, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2010), h. 48)
[3]
Sebagaimana pernyataan Ebling yang dikutip oleh Mudjia Raharjo bahwa ada tiga
hal mendasar dalam hermanautika klasik berdasarkan apa yang dilakikan Hermes,
a) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pemikiran melalui kata-kata
sebagai medium penyampaian, b) menjeaskan secara rasional sesuatu yang
sebelumnya masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti, c)
menerjemahkan bahasa yang asing kedalam bahasa lainyang lebih dikuasai
pemirsa.(Lihat: Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika, Ibid, h.
28)
[4] Metode
ini juga sering disebut dengan metode dialektik yang selanjutnya dikembangkan
oleh murid Sokrates, yaitu Plato.
[5] Sejauh
data yang kami dapat memang tujuan dari
metode maietik Sokrates tersebut
bukanlah tertuju untuk interpretasi (menafsirkan) melainkan untk mengajari lawan bicaranya berpikiran
kritis.Teguh, Filsafat Umum, (Surabaya: elKAF, 2005), h. 37-38
[6] Teguh, Pengantar
Filsafat Umum, Ibid.., h. 30
[7] Dalam
tulisanpun, plato meniai tulisan yang
menggunakan bahasa dialog itu lebih baik.
[8] Dengan
dialektika ala Sokrates ini, dimaksudkan Plato bisa memahami pemahaman banyak
orang tentang suatu perkara.
[9] Jean
Grondin, Sejarah Hermanautika.., Ibid.., h. 62-63
[10] Teguh, Pengantar
Filsafat Umum, Ibid.., h.42-43
[11] Jean
Grondin, Sejarah Hermanautika.., Ibid.., h.56
[12] Miftahudin,
Tokoh-Tokoh hermeneutika, http://miftahuddin86.blogspot.com/2011/02/tokoh-tokoh-hermeneutik.html
[13] Jean
Grondin, Sejarah Hermanautika.., Ibid.., h. 63
[14] Hamid
Fahmi Zarkasy, Hermeneutika, http://luznadamai.wordpress.com/2010/03/22/sejarah-hermeneutika/ diakses
pada tanggal 28 Nopember 20011 pukul 10:58 WIB
[15] Dewan
Da'wah Islamiyah Indonesia, Problem Teks Bible Dan Hermeneutika, http://www.dewandakwah.com/content/view/117/47/, diakses pada tanggal 28 november 2011, pukul
10;52 WIB
[16] Dewan
Da'wah Islamiyah Indonesia, Problem Teks Bible Dan Hermeneutika,
http://, Ibid..,
[17]Hamid
Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika, http://, Ibid..,
[18] Ibid..,
[19] Pada 31
Oktober 1517, ia mulai melawankekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin
pernyataan (ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia
terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences)
oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat
keseluruhan doktrin supremsi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan
legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther
dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan
seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran
tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus.
[20] Dewan
Da'wah Islamiyah Indonesia, Problem Teks Bible Dan Hermeneutika, http://,
Ibid..,
[21] Hamid
Fahmi Zarkasy, Hermeneutika, http://, Ibid..,
[22] Sebelum
zaman ini ada zaman reneisance. Pada zaman tersebut dunia filsafat berusaha
mengembalikan tradisi berfikir rasional sebagaimana zaman Yunani kuno. Sehingga
tradisi berfikir yang terpaku pada teks-sakral berubah menjadi rasional. Begitu
juga hermeneutika juga ikut dalam perubahan tersebut. diantara tokoh-tokohnya
pada zaman ini adalah: Benedictus de Spinoza (1632-1677) dalam karyanya
tahun 1670 berjudul Tractatus theologico-politicus (Risalah tentang
politik teologi) menyatakan bahwa “standar eksegesis untuk Bible hanyalah akal
yang dapat diterima oleh semua” Dan juga J.C.Dannheucer pada tahun 1654, mengeluarkan
buku yang berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus exponendarum Sacrarum
litterarum, (Sacred Method or the Method of Explanation of Sacred
Literature), Disitu hermeneutika sudah mulai dibedakan dari exegesis sebagai
metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya diperluas
kepada non-Biblical literature. Dannheucer ini dipandang pencetus kata
Latin Hermeneutika dengan terminology yang jelas.(lihat: Hamid Fahmi Zarkasy, Hermeneutika,Ibid..,
)
[23] Alim
Roswantoro, dalam Zubaidi DKK, Filsafat Barat,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2007), h. 52
[24]
Friedriech Ast (1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik
Hermenutik und Kritik (Elements of Grammar, Hermeneutic and Criticism)
Ast membagi pemahaman terhadap teks menjadi 3 tingkatan: 1) pemahaman historis,
yakni pemahaman berdasarkan pada perbandingan teks dengan teks yang lain. 2)
pemahaman ketata-bahasaan, yaitu merujuk kepada pemahaman makna kata pada teks;
dan 3) pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk kepada semangat,
wawasan, mentalitas dan pandangan hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi
teologis ataupun psikologis.
[26] Yang
menjadi latar belakang pemikiran hermeneutika Friedrich Ernst Daniel
Schleiermacher adalah bahwa ia memahami ada jurang pemisah antara berbicara
atau berfikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Menurutnya Kita
harus berpikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Kita harus
mampu mengdaptasi buah pikiran ke dalam kekhasan lagak ragam dan tata bahasa. Menurut Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher
pemahaman hanya terdapat di dalam kedua momen yang saling berpautan satu sama
lain. Baik bahasa maupun pembicaranya harus dipahami sebagaimana
seharusnya.(Lihat: Ibid., h.38-39)
[29] E.
Sumaryono, Hermeneutika…, h. 41.
[31] Pada tahun 1864 ia memperoleh gelar doktor dan mengajar
di Berli. Tahun 1868 ia menjadi profesor di universitas Keil. Dilthey meninggal pada tanggal 30 September 1911 di Seis. (Lihat:
Ibid., h.45-46)
[32]Latar
belakang emikiran hermeneutika Dilthey adalah rambisinya untuk menyusun sebuah dasar epistimologis baru tentang
pertimbangan sejarah. Proyek ini berkisar pada agagasan tentang komperehensi
atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah, yaitu wajah dalam
(interior) dan wajah luar (eksterior). Pandangannya ini mirip dengan teori
dualisme yang diususng oleh Descrates tentang badan dan jiwa, yaitu
spiritualisme sebagai bagian interior dan realisme sebagai interior.Secara
eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu, secara
interior peristiwa dilihat dari keadaan sadar. Kedua dimensi ini tidak bernilai
sama. Bahkan dapat dikatakanbahwa kedua dimensi ini saling melengkapi.
[34] Edmund Husserl (1889 -1938), tokoh hermeneutika feno
-menologis, menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu
membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh
sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan
teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias -bias subjek
penafs ir danmembiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
[35] Habermas mengartikan pemahaman adalah ‘suatu
kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu’.
[36] Habermas membagi tindakan
menjadi empat jenis: a)
Tindakan teleologis – aktor mempertahankan tujuan khusus dan unutk mencapainya
dibutuhkan sarana yang tepat dan
sesuai, yaitu keputusan. b) Tindakan normatif – yang terutama tidak diarahkan
pada tingkah laku aktor soliter, tetapi pada anggota-anggota kelompok sosial.
Konsep pokoknya adalah pemenuhan terhadap norma. c) Tindakan dramaturgik –
konsep pokoknya adalah penampilan diri di hadapan umum atau masyarakat. d) Tindakan komunikatif – yang
menunjukan kepada interaksi, dimana konsep pokoknya adalah interpretasi.
[37]
Miftahudin, Tokoh-Tokoh Hermeneutik…
[39] Paul Ricoeur adalah
seorang filsuf yang lebih menekankan pada pandangan Katolik. Persektif
pemikirannya adalah kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial
menjadi analisis eidetik (pengamatan yang sangat mendetail), lalu berubah ke
fenomenologis, historis, hermeneutik dan akhirnya semantik. Dia juga menegaskan
bahwa pada dasarnya filsafat adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang
makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Interpertasi
adalah usaha untuk membongkar makna tersebut yang masih terselubung. Kata-kata adalah simbol-simbol juga, karena menggambarkan
makna lain yang sifatnya “tidak langsung”, tidak begitu penting serta figuratif
(berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Jadi
simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pluralitas makna
yang terkandung di dalam kata atu simbol.E.
Sumaryono, Hermeneutika…, h.105
kereen
BalasHapuslengkap, terimakasih..
BalasHapusijin sharing ya mas, trims
BalasHapusIya,,, Monggo semoga bermanfaat..
BalasHapusThanks Mas, sukses selalu
BalasHapus