Sabtu, 24 Maret 2012

Penafsiran al-Qur'an Sayyid Qutb

Oleh: Adib hasani dan Bustanul Arifin


A.    Biografi Sayyid Qutb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir.[1] Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Hajj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke-10 tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb.
Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana muda dalam bidang sastra sekaligus diploma pendidikan pada tahun 1933 M.[2] Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris.
Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.[3]
Dari pengalaman yang diperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri Barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keanggotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu al-A’la al-Maududi.
Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syari’at politik Islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat Islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang zionisme, salibisme dan kolonialisme.
selama tahun 1953, ia menghadiri konferensi di Suriah dan Yordania, dan sering memberikan ceramah tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan umat. Pada juli 1954, ia menjadi pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin, tetapi baru dua bulan usianya harian itu ditutup atas perintah colonel Gamal Abdul Nasher (presiden Mesir), karena dianggap mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 Juli 1954.
Sekitar Mei 1955, Sayyid Qutb termasuk salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin yang ditahan setelah organisasi itu dilarang oleh presiden Nasher dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintahan. Pada tanggal 13 Juli 1955, pengadilan rakyat menghukumnya 15 tahun kerja berat. Ia ditahan di beberapa penjara di Mesir hingga pertengahan tahun 1964. Ia dibebaskan tahun itu atas permintaan Abdul Salam Arif (presiden Irak) yang mengadakan kunjungan muhibbah ke Mesir. Akan tetapi baru setahun ia menghirup udara bebas, ia kembali ditangkap bersama ketiga saudaranya: Muhammad Qutub, Hamidah dan Aminah, juga ikut ditahan pula sekitar 20.000 orang yang 700 diantaranya adalah wanita. Presiden Nasher lebih menguatkan tuduhannya bahwa Ikhwanul Muslimin berkomplot untuk membunuhnya, di Mesir berdasarkan undang-undang nomor 911 tahun 1966, presiden memiliki kekuasaan untuk menahan tanpa proses, siapa pun yang dianggap bersalah, dan mengambil alih kekuasaannya, serta melakukan langkah-langkah yang serupa.
Pada tahun 1966, Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abdul Nasher. Menurut sebuah sumber, sebelum dilakukan eksekusi, Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas tindakan yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Qutb.[4]

B.     Karya-karya Sayyid Qutb
Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang. Karya-karya sayyid Quthub  se;ain beredar luas di Negara-negara Islam, ternyata juga beredar di Negara-negara kawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Dimana pun terdapat pengikut-pengikut Ikhwanul Muslimin, hampir disana dipastikan terdapat buku-buku sayyid Quthub, karena ia adalah tokoh Ikhwanul Muslimin yang terkemuka.
Penulisan buku-buku sayyid Quthub juga sangat berhubungan erat dengan perjalanan hidupnya. Sebagai contoh, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau banyak menulis buku-buku sastra yang hampa akan unsur-unsur agama. Hal ini terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayâh” pada tahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun 1939.
Buku-buku hasil torehan sayyid Quthub adalah sebagai berikut: Muhimmatus Sya’ir fi Hayah wa Syi’r al-jail al-hadhir (terbit tahun 1933), As-Syathi’ al-Majhul (satu-satunya kumpulan sajak Sayyid Quthub yang terbit pada februari 1935), “Mustaqbal Ats-Tsaqofah di Mishr” li ad-Duktur Thaha Husain (terbit tahun 1939), At-Taswir al-Fanni fil-Qur’an (buku Islam pertama Sayyid Quthub, terbit tahun 1945), Al-Athyaf al-Arba’ah (buku ini ditulis bersama saudaranya Aminah, Muhammad dan Hamidah dan terbit tahun 1945), Ahifl min Al-Qoryah (buku ini berisi tentang gambaran desanya dan catatan masa kecilnya di desa, buku ini terbit tahun 1946), Al-Madinah al-Manshurah (sebuah kisah khayalan semisal kisah seribu satu malam, terbit tahun 1946), Kutub wa Syakhsyiyat (sebuah studi Sayyid Quthub terhadap karya pengarang lain, terbit tahun 1946), Asywak (terbit tahun 1947), Masyahid al-Qiyamah fil-Qur’an (bagian kedua dari serial pustaka baru Al-Qur’an, terbit pada April 1947), Raudhotut Thifl (ditulis bersama Aminah dan Yusuf Murad, terbit dua episode), Al-Qashash ad-Diniy (ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah as-Sahhar), Al-Jadid fi al-Lughah al-‘Arabiyah dan Al-Jadid fi al-Mahfuzhat (keduanya ditulis bersama penulis lain), Al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islami (buku pertama sayyid Quthub tentang pemikiran Islam, terbit tahun 1949),Ma’rakah al-Islam wa Ar-Ra’simaliyyah (terbit taahun 1951), As-Salam Al-Islami wa al-Islam (terbit oktober 1951), fi dzilalil Qur’an (cetakan pertama juz pertama terbit pada oktober 1952), Dirasah Islamiyyah (kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh Muhibuddin al-Khatib, terbit 1953), Al-Mustaqbal li Hadza ad-Din (buku penyempurna dari buku Hadza ad-Din), Khashasish at-Tashawwur al-Islami wa Muqowwimatuhu (buku sayyid Quthub yang mendalam yang dikhususkan untuk membicarakan karakteristik akidah dan unsure dasarnya), Al-Islam waMusykilat al-Hadharah, Ma’alim fith-Thariq.[5]
Sedangkan studinya yang bersifat keislaman harakah yang  matang, yang menyebabkan ia dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut: Ma’alim fith Thariq, Fi zhilalil as-Shirah, Muqowwimat at-Tashawwur al-Islami, fi Maukib al-Iman, Nahwu Mujtama’ Islami, Hadza al-Qur’an, Awwaliyat li Hadza ad-Din, Tashwibat fi al-fikri al-Islami atMuashir.
Buku pertama sayyid Quthub yang berbicara tentang Islam adalah at-Tashwir al-Fanni fil Qur’an. Di dalam buku ini sayyid Quthub menuliskan tentang karakteristik-karakteristik umum mengenai keindahan artistic dalam al-Qur’an . Sayyid Quthub mendefinisikan ilustrasi artistic (at-Tashwir al-Fanni fil Qur’an) sebagai berikut:
“ia adalah sebuah instrument terpilih dalam gaya al-Qur’an yang memberikan ungkapan dengan suatu gambaran yang dapat dirasakan dan dikhayalkan mengenai konsep akal pikiran, kondisi jiwa, peristiwa nyata, adegan yang ditonton, tipe manusia dan tabiat manusia. Kemudian ia meningkat dengan gambaran yang  dilukiskan itu untuk memberikan kehidupan yang menjelma atau aktivitas yang progresif. Dengan demikian, tiba-tiba konsepsi akal pikiran itu muncul dalam format atau gerak. Kondisi kejiwaan tiba-tiba menjadi sebuah pertunjukkan. Model atau tipe manusia tiba-tiba menjadi suatu yang menjelma dan hidup dan tabiat manusia seketika menjadi dapat terbentuk dan terlihat nyata. Berbagai adegan, kisah, dan perspektif ditampilkan dalam sebuah wujud yang muncul. Di dalamnya terdapat kehidupan dan juga gerak. Jika ditambahkan lagi dengan sebuah dialog, maka menjadi lengkaplah semua unsure-unsur imajinasi itu”[6]

C.    Pemikiran[7] Sayyid Qutb terkit Penafsiran al-Qur’an
1.      Prinsip Dasar Pemikiran Sayyid Qutb
Dalam pandangannya, Islam adalah way of life yang komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan solusi atas problem sosial-kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam tataran umat Islam dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsip utama dalam agama Islam, maka sudah menjadi sebuah keharusan jika al-Qur`an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.
Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam al-Quran,[8]
Sayyid Quthb mengatakan dalam muqadimah tafsirnya: “Sesungguhnya, manusia yang diciptakan Allah ini tidak dapat membuka gembok-gembok fitrahnya kecuali dengan menggunakan kunci ciptaan Allah, dan tidak akan dapat mengobati penyakit-penyakit fitrah itu kecuali dengan obat yang dibikin oleh tangan Allah. Allah telah menjadikan manhaj-Nya sebagai kunci gembok dan obat bagi semua penyakitnya[9], akantetapi, manusia tidak ingin mengembalikan gembok ini pada penciptanya, tidak ingin membawa sisakit kepada pencitanya, tidak mau menemuh jalan sesuai dengan urusan dirinya, urusan kemanusiaannya, dan mana urusan yang sekiranya membawanya bahagia atau sengsara.”
Dengan demikian jika manusia menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi kehidupan dunia ini harus mengembalikan segala permasalahannya pada tatacara yang telah Allah terangkan dalam al-Qur’an. Meski tidak dipungkiri bahwa al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad-abad lamanya di zaman Rasulullah dan menggambarkan tentang kejadian masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash al-Qur`an, namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman.
Maka, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya al-Qur`an adalah dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat terobosan terbaru dalam menafsirkan al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat dan kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi dalam realita tersebut.[10]
2.      Motivasi Penulisan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân
Kondisi Mesir kala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran memang jika kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang sangat terkenal adalah karya tafsir al-Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân. Tafsir ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara Islam sebagaimana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Abu al-A’la al-Maududi.
Secara singkat, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaktur majalah al-Muslimûn yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran al-Qur`an yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik itu yang kemudian diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah, lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif menghentikan penulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân (di bawah naungan al-Qur’an), sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bâb al-Halabi. Akan tetapi penulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali, meski ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.
Adapun tujuan-tujuan Sayyid Quthb menuliskan Tafsir fi Zhilal menurut al-Khalidi adalah:
Pertama, menghilangkan jurang yang dalam antara kaum Muslimin sekarang ini dengan al-Qur’an. Quthb menyatakan, “Sesungguhnya saya serukan kepada para pembaca Zhilal, jangan sampai Zilal ini yang menjadi tujuan mereka. Tetapi hendaklah mereka membaca Zilal agar bisa dekat pada al-Qur’an. selanjutnya agar mereka mengambil al-Qur’an secara haqiqi dan membuang Zilal ini.”
Kedua, mengenalkan kepada para muslimin sekarang ini pada fungsi amaliyah harakiyah al-Qur’an, menjelaskan karakternya yang hidup dan bernuansa jihad, memperlihatkan kepada mereka mengenai metode al-Qur’an dalam pergerakan dan jihad melawan kejahiliyahan, menggariskan jalan yang mereka lalui dengan mengikuti petunjuknya, menjelaskan jalan yang lurus serta meletakkan tangan mereka di atas kunci yang dapat mereka gunakan untuk dapat mengeluarkan perbendaharaan-perbendaharaan yang terpendam.
Ketiga, membekali orang Muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliyah tertulis menuju cirri-ciri kepribadian Islami yang dituntut, serta menuju ciri-ciri Islami yang Qur’ani.
Keempat, mendidik orang muslim dengan pendidikan Qur’ani yang integral; membangun kepribadian Islam yang efektif, menjelaskan karakteristik dan ciri-cirinya, factor pembentukan dan kehidupannya.
Kelima, menjelaskan cirri-ciri masyarakat Islami yang dibentuk oleh al-Qur’an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan masyarakat islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk membangunnya. Dakwah secara murni untuk menegakkannya, membangkitkan hasrat para aktifis untuk meraih tujuan ini, menjelaskan secara terperinci mengenai masyarakat islami pertama yang dijadikan oleh Rasulullah saw. di atas nash-nash al-Qur’an, arahan-arahan, dan manhaj-manhajnya sebagai bentuk nyata yang bisa dijadikan teladan, missal, dan contoh bagi para aktifis.[11]
3.       Sekilas tentang Corak Penafsiran Sayyid Qutb
Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilâl al-Qur`ân yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran al-Qur`an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan Islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-Qur`an. Termasuk di antaranya adalah melakukan pembaharuan dalam bidang penafsiran dan di satu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang dirasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur`an.[12]
Sisi sastra beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya, bahkan dapat kita lihat pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman ushlûb al-Qur`ân, karakteristik ungkapan serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-pokok ajarannya, yang ditujukan untuk memberikan pendekatan pada jiwa para pembacanya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya. Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur`an itu sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an. Menurutnya, al-Qur`an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan. Dan Allah telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup dan obat bagi segala penyakit. Pandangan seperti ini beliau sarikan dari firman Allah yang berbunyi, “Dan kami turunkan dari al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” dan firman Allah; “Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus...”.
Sejak pada barisan pertama dalam kitab tafsirnya, Sayyid Qutb sudah menampakkan karakterisktik seni yang terdapat dalam al-Qur`an. Dalam permulaan surat al-Baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al-Qur`an dalam mengajak masayarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnâb, namun di balik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan keserasian irama.
Mengenai klarifikasi metodologi penafsiran, Dr. Abdul Hay al-Farmawy seorang guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Qur`an Universitas al-Azhar membagi corak penafsirkan al-Qur`an menjadi tiga bentuk; yaitu tahlîly, maudhû’i dan ijmâli muqârin. Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân dapat digolongkan ke dalam jenis tafsir tahlîli.[13] Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.
Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr (deskriptif) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat dalam al-Qur`an merupakan penuturan drama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam al-Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman sekarang.
Mengaca dari metode tashwîr yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân dapat digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastra-budaya dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat back-ground beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur`an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.
4.      Pandangan Sayyid Quthb terhadap Naskh dan Mansûkh
Fenomena naskh dan mansûkh dalam al-Qur`an memang telah terjadi silang pendapat dalam kalangan ulama Islam sendiri. Di satu pihak ada yang menerimanya dan di pihak lain ada yang menolaknya dengan beberapa argumentasi mereka masing-masing. Dalam hal ini, Sayyid Qutb termasuk ke dalam kelompok yang menerima adanya naskh dalam al-Qur`an. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan kandungan ayat 106 surat al-Baqarah. Beliau mengemukakan bahwa pada ayat itu al-Qur`an secara umum menandaskan adannya peralihan sebagian perintah ataupun hukum seiring dengan perkembangan masayarakat muslim, dan secara khusus ayat tersebut menggambarkan tentang peralihan qiblat. Adanya pergantian sebagian ketentuan sebagian hukum adalah untuk kepentingan dan kemashlahatan manusia, serta untuk merealisasikan kebaikan yang jauh lebih besar sesuai tuntutan perkembangan masyarakat. Selain itu, Allah sebagai Sang Pencipta memang mempunyai hak prerogatif melakukan hal tersebut.
Sayyid Qutb melihat naskh dari perspektif ganda, yaitu perspektif Tuhan dan manusia. Seakan-akan dia mengatakan, terjadinya naskh merupakan kemauan Tuhan dan untuk kepentingan manusia. Selain itu, naskh juga sesuai dengan watak ajaran Islam yang evolutif dan lebih mengedepankan kemaslahatan umat. Memang diakui, naskh terkait dengan dinamika kemaslahatan manusia. Namun, tidak menjadi persoalan, mengigat kondisi masyarakat pada risalah Nabi merupakan contoh bagi perkembangan masyarakat manusia sepanjang masa. Hal ini akan bisa sesuai dengan al-Qur`an sendiri yang selalu aktual dalam menghadapi perkembangan masa. Dengan demikian gerak sejarah manusia tidak akan keluar dari dinamika masyarakat Arab pada masa Nabi. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb sendiri gambaran seluruh persoalan sejarah umat manusia telah ditemukan jawabannya dalam teks suci melalui pemahaman baku masyarakat masa risalah. Atas asumsi itulah, Sayyid Qutb disebut sebagai pemikir Fundamentalisme Islam; pemikir yang mempunyai romantisme terhadap masa lalu Islam (klasik), dan secara singkat dia ingin mewujudkan gambaran masyarakat masa lalu ke dalam masa sekarang dan yang akan datang.

D.    Contoh penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân
1.      Qs. al-Anfâl [8]:65
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ ÇÏÎÈ  
 Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”(Qs. al-Anfal [8]: 65)
Banyak sekali ulama yang mengatakan bahwa ayat ini mengalami proses naskh. Maka dari itu mereka berpendapat bahwa, dahulu perbandingan pada saat bertempur dengan kaum kafir adalah satu banding sepuluh. Artinya, satu kaum muslimin diwajibkan menumpas sepuluh orang kafir. Lalu datanglah ayat berikutnya yang berisi tentang keringanan yang diberikan oleh Allah kepada orang Islam berupa satu orang Islam melawan dua oang kafir. Inilah model penafsiran ulama-ulama klasik. Sayyid Qutb mencoba menghadirkannya dalam zaman sekarang. Beliau berpendapat, ayat ini berbicara mengenai taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam pandanagan Tuhan. Namun inti dari semua itu adalah untuk menentramkan jiwa kaum muslimin agar tidak cepat gentar dan patah semangat dalam menghadapi pasukan musuh yang berjumlah besar. Menurut Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat diambil pelajar tentang mentalitas umat Islam. Kemenangan bukanlah terletak pada banyaknya jumlah, melainkan pada mentalitasnya. Meski berjumlah sedikit, umat Islam dapat memperoleh kemenangan, asalkan mempunyai militansi dan semangat juang yang gigih.        
2.      Qs. Ali Imran [3]: 142      
ôQr& ÷Läêö7Å¡ym br& (#qè=äzôs? sp¨Yyfø9$# $£Js9ur ÉOn=÷ètƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#rßyg»y_ öNä3ZÏB zNn=÷ètƒur tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÍËÈ  
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali Imran [3]: 142)
Menafsirkan ayat ini, Quthb menyatakan orang mukmin tidak cukup hanya berjihad, tetapi juga harus bersabar atas beban-beban dakwah ini. Beban-beban yang beresinambungan dan beraneka ragam, yang tidak hanya terbatas pada jihad di medan laga. Bahkan terkadang jihad di medan laga merupakan beban teringan dari beban dakwah yang menuntut kesabaran dan menjadi sarana ujian keimanan ini. Di sana ada berbagai penderitaan sehari-hari yang tidak pernah berakhir. Penderitaan istiqamah diatas ufuq keimanan, keterangan di atas berbagai tuntutannya dalam wujud perasaan dan perilaku dan kesabaran menghadapi kelemahan manusia semasa melaksanakan hal itu. baik menyangkut diri sendiri ataupun orang lain yang berinteraksi dengannya dalam kehidupan sehari-hari. Juga kesabaran menghadapi masa dimana kebathilan mendominasi dan unggul sebagai pemenang. Kesabaran menghadapi panjangnya jalan, lamanya penderitaan, dan banyaknya rintangan. Kesabaran menghadapi godaan kesenangan dan kecenderungan jiwa terhadapnya di tengah perjuangan berat dan penderitaan. Kesabaran menghadapi banyak hal dimana jihad dimedan laga hanya merupakan salah satunya, dalam jalanan yang ditaburi berbagai hal yang tidak disukai. Jalan surga yang tidak bisa dicapai dengan angan-angan dan ucapan-ucapan lisan semata.[14]
3.      Qs. al-Baqarah [2]: 163
ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) ÓÏnºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ß`»yJôm§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÏÌÈ  
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Dalam keesaan Tuhan[15] yang ditegaskan dengan penegasan seperti itu, dan dengan aneka macam metode penegasan, yang menegaskan al-ma’bud ‘Zat yang berhak disembah’ yang segala makhluk menuju kepada-Nya dengan beribadah dan melakukan ketaatan; menjadi kesatuan arah yang di situ bertemulah semua makhluk dengan kaidah-kaidah akhlak dan perilaku; kesatuan sumber yang dari situ semua makhluk dapat memperoleh sumber-sumber syari’ah dan perundang-undangannya; dan kesatuan manhaj yang mengatur manusia dalam semua jalan hidunya.
Ayat ini berkaitan dengan persiapan umat Islam dengan peranannya yang besar di bumi. Keterangan tentang pentauhidan ini sering diulang-ulang dalam surah-surah Makkiyah, agar bisa menembus indra dan akal manusia serta segala aspek kehidupan dan realita yang ada ini. Lafal ini juga diulang-ulang penyebutannya karena memang dari-Nya muncul aturan syara’ dan taklif-taklif dari-Nya. Selanjutnya ayat tersebut menyebut sifat Allah yang Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang), yang dengan Rahman dan Rahim-Nya inilah muncul setiap hukum[16] dan taklif.[17]











[1] Abdul Mustaqim, Studi al-Qur’an kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 111
[2] Sayyid Quthub, Tafsir fi zilalil Qur’an, Jilid1, Penerjemah As’ad Yasin Dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 318
[3] -------------------. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiyar Baru Van Hoeve, T.T), h. 145
[4] Ibid., h. 146
[5] Nuim Hidayat,Sayyid Quthb, (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 22-23
[6] Ibid., h. 24-25
[7] Muhammad Taufiq Barakat membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi tiga tahap: Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi Islam, Tahap mempunyai orientasi islam secara umum, dan tahap pemikiran berorientasi islam militan. Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah mulai merasakan adanya keenggan dan rasa muak terhadap westernisme, kolonialisme dan juga terhadap penguasa Mesir. Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan beliau aktif dalam memperjuangnkan islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang kala itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir islam lainnya yang silau akan kegemilingan budaya-budaya Barat. (lihat; Muhammad Misbah, Corak Penafsiran Sayyid Quthb dalam Dilal al-Qur’an, http://badaigurun.blogspot.com/2009/05/corak-penafsiran-sayyid-qutb-dalam.html, diakses tanggal 17 November 2011, jam 12:29 WIB)
[8] Sayyid Qutub mengatkan lebih jauh lagi bahwa sesungguhnya berpedoman kepada manhaj Allah di dalam kitab-Nya itu bukan perkara sunnah, tathawwu’, atau boleh memilih, tetapi ia adalah iman. Kalau tidak mau, tidak ada iman bagi yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana yang tertera pada Q.S al-Ahzab:36 dan al-Jaatsiyah:18-19. (lihat; Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an,Jilid 1, Ibid..,  h. 21)
[9] Dalam kaitannya dengan hal tersebut Sayyid Qutb menyitir ayat:Dan, Kami turunkan dari al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman’ (al-Isra’: 82), ‘Sesungguhnya al-Qur’an ini membarikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.’ (al-Isra’:9). (lihat: Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Ibid.., h. 21)
[10] Muhammad Mishbah. http://www.mediamuslim.net, diakses pada tanggal 20-10-2011, pkl. 11.05 WIB
[11] Nuim Hidayat, Sayyid Quthb, Ibid.., h. 27-29
[12] Muhammad Mishbah. http://www.mediamuslim.net, diakses pada tanggal 20-10-2011, pkl. 11.05 WIB
[13] Jika dilihat dari kitab terjemahan bahasa indonesianya menurut hemat kami, tafsir fi Zhilalil Qur’an Sayyid Quthb ini menggunakan metode tahlili semi maudhu’I, karena terdapat bab-bab dalam setiap penjelasannya (Lihat; Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Jilid1,Ibid..,))
[14] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Jilid 1, Ibid.., h. 483
[15] Dalam tafsiran terkait keesaan Tuhan khususnya terkait lafadz Laia laha illallah, Sayyid Qutub mendapatkan banyak kritikan dari para Ulama lain. menurut sebagian ulama’ Sayyid Quthb, menafsirkan kata Ilah denggan al-hakim {yang menghukumi}. Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al-Maududi yg ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat yaitu Haigle dalam bukunya Al- Hukumah Al-Kulliyah . Syaikh Nadzir Al-Kasymiri {seorang ulama salaf di India} berkata: Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al- Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam. Sebagai contoh kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayid dalam bukunya al-Adalah al- Ijtima’iyah hal. 182 cet. 12: Sesungguhnya perkara yg menyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan dunia kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah yaitu laa hakimiyata illa lillah hakimiyah yg berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan perintahnya. Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al-Qashash: Huwallahulladzi la ilaha illahuwa.Dia berkata: Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar. {Fi Dhilalil Qur`an 5/2707}Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An-Nas bahwa Al-ilah adl al-musta’li al- mustauli al-mutasallith. yg semuanya itu bermakna kurang lbh sama yaitu Yang Menguasai .Demikianlah, menurut para ulama’ Sayid mempersempit makna ilah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yg mengandung makna uluhiyah yaitu yg berhak untuk diibadahi . Penafsiran Sayid ini dipandang bertentangan dengan penafsiran para ulama Sunni. Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas: Allah yg Maha Tinggi sebutannya Rabb kamu –wahai Muhammad— adalah yang berhak untuk diibadahi yg tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yg boleh diibadahi kecuali Dia. Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan: Yaitu yg menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yg berhak diibadahi kecuali Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yg menciptakan apa yg dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia. (lihat; Rahmat Blog, Bahaya Pemikiran Takfir Sayyid Quthb, http://blog.re.or.id/bahaya-pemikiran-takfir-sayid-quthb-hizbiyyah-aliran.html, diakses tanggal 17 november 2011, jam 12: 33)
[16]Menurut Sayyid Quthb Hukum Allah yang tertera pada al-Qur’an wajib bagi umat mukmin untuk melaksanakannya, beliau mengatakan”Umat Islam adalah Umat yang menerapkan hukum Allah dalam setiap lini kehidupannya, baik secara individu maupun kelompok, juga dalam politik sosial dan ekonominya. Namun hal in tidak ada pada umat Islam sekarang , walaupun tidak mencegah adanya individu-individu muslim di dalamnya. Karena kaitannya dengan individu, maka yang menjadi standar adalah aqidah dan akhlaqnya sedangkan kaitannya dengan umat scara keseluruhan, maka yang menjadi standar adalah seluruh aturan hidupnya”. Lebih jauh lagi terkait hokum Allah dengan masyarakat beliau berkomentar bahwa masyarakat yang didalamnya tidak diterapkan ajaran Islam, baik kepercayaannya, ide-idenya, nilai-nilainya, penstabilnya, undang-undangnya, aturan-aturannya, akhlaknya, dan karakternya adalah masyarakat jahili (jahiiyah). (Lihat: K. Salim Bahnasawi, Butir-Butir Pemikiran Sayyid Quthb, Penerjemah, Abdul Hayye Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 203)
[17] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Jilid 1, Ibid.., h. 272

2 komentar:

  1. Singkat jelas, maka perlu penelitian yang lebih dalam lagi

    BalasHapus