Minggu, 23 Juli 2017
TEORI SUBJEKTIF DAN OBJEKTIF TENTANG KEINDAHAN
Oleh: Adib Hasani dan Saiful Mustofa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Estetika sebagai kajian filsafat tergolong dalam lingkup aksiologi. Ia berdekatan dengan etika, tetapi berbeda satu sama lain. Etika berkaitan dengan nilai baik dan buruk, sedagkan estetika berbicara masalah nilai indah dan jelek. Sebagaimana yang dikutipkan Mudji Sutrisno dan Crist Verhaak dari Hospers, estetika adalah the branch of philospphy that is concerned with the analysis of concepts and the solution of problems that arise when one contemplates aesthetic objects of aesthetic experience; thus, it is only after aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to delimit the class of aesthetic objects. (estetika adalah cabang filsafat yang membahas tentang analisis dari konsep-konsep dan solusi atas problem yang muncul ketika seseorang merenungkan objek pengalaman estetik, yang itu (dilakukan) setelah pengalaman estetik digolongkan secara cukup bahwa seseorang mampu untuk membatasi kelas objek-objek estetik)
Dengan demikian, dalam estetika membahas tentang keindahan-keindahan (kondisi estetis), bahkan di beberapa tempat antara estetik dengan keindahan relatif disamakan. Setidaknya, kami belum menemukan kata estetik disamakan dengan kejelekan--kecuali di dalam bukunya Dharsono saat menerangkan estetika di abad 20 ada yang memasukkan istilah “kejelekan” kedalam estetika. Kemudian keindahan itu muncul sebagai kata sifat yang melekat pada objek dan oleh para filosof estetika difahami sumber keindahan terdapat pada objek-objek. Bersebrangan dengan itu, di kubu lain meyakini bahwa yang lebih tepat sumber keindahan muncul dari dalam subjektifitas seseorang bukan objek. Dua pandangan ini selanjutnya dinamai teori objektif keindahan dan teori subjektif keindahan yang bersifat sama rumitnya karena abstrak dan debatable. Untuk itu, dalam makalah ini kami berusaha memaparkan kedua teori itu agar mendapatkan pemahaman yang lebih jelas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan keindahan?
2. Bagaimana teori subjektif keindahan?
3. Bagaimana teori objektif keindahan?
C. Tujuan pembahasan
1. Memahami keindahan
2. Mengetahui teori objektif keindahan
3. Mengetahui teori subjektif keindahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal Keindahan
Sebelum membahas tentang keindahan lebih jauh, kiranya tidaklah salah terlebih dahulu bertanya pada diri sendiri tentang “apa yang disebut dengan indah itu?”. Ketika mendengar kata “indah” tentu yang terbesrit dibenak adalah sesuatu yang menyenangkan atau kesenangan. Seperti halnya ketika melihat sebuah lukisan panorama pegunungan, serasa kesejukan, kedamaian, yang ada di gambar tersebut merambah di hati sehingga menimbulkan kesenangan tersendiri. Namun, benarkah kesenangan adalah hakikat dari indah yang sebenarnya? Bila iya, kira-kira bisakah seseorang merasakan keindahan tetapi tidak merasakan kesenangan, atau sebaliknya, ia merasa senang tetapi tidak merasa indah? Sepertinya sering juga ditemukan seseorang menemukan keindahan, tetapi karena situasi tertentu ia merasa bersedih, atau lebih tepatnya merasa trenyuh. Ada lagi seorang anak yang baru belajar beribadah puasa, saat mendengar adzan magrib ia merasa sangat senang hingga bernafsu untuk makan dan minum sebanyak-banyaknya. Ketika demikian, tentunya ia tidak menemukan keindahan melainkan kesenangan semata. Hal ini mengartikan bahwa antara indah dan senang sebenarnya berbeda meskipun bisa juga saling terkait.
Menemukan hakikat keindahan memang lah sulit, begitu juga dengan mendefinisikannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Louis O. Katsof, mendefinisikan keindahan sama halnya dengan menutup-nutupi sejumlah kesulitan. Sehingga rumusan yang muncul terkait keindahan tidak selalu baku, selalu saja mengalami perubahan-perubahan. Nampaknya, yang lebih tepat dalam rangka mengenal keindahan adalah dengana menggunakan metode dialektika Sokrates, yaitu mengungkapkan pendapat para tokoh maupun filosof tentang dari berbagai masa.
1. Plato (428 SM-348 SM),
Menurut Jaeni B. Wastap, Plato merupakan filsuf pertama di dunia Barat yang di dalam seluruh karyanya mengemukakan pandangan yang meliputi hampir semua pokok estetika. Pandangan itu secara umum dapat dibagi menjadi dua. Pertama, Pandangan yang mengatakan bahwa yang indah itu adalah benda material, umpamanya tubuh manusia. Selanjutnya dengan perenungan terhadap pengetahuan tubuh lama-kelamaan, manusia merasa diajak untuk ingat pada yang lebih indah daripada tubuh manusia, yaitu jiwa. Setelah itu meningkat lagi kepada pengetahuan tentang idea yang indah. Itulah yang paling indah, sumber segala keindahan. Pandangan kedua plato menyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana. Hal ini memang sejalan dengan pandangannya tentang perlunya pengendalian hawa nafsu yang sejatinya merupakan sumber dari ketidakbahagiaan.
2. Aristoteles (384 SM-322 SM)
Aristoteles merupakan salah seorang murid Plato. Pandangannya tentang keindahan mirip dengan gurunya, meski dari sudut pandang yang sangat berbeda. Keindahan, baginnya menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Aristoteles menolak pandangan Plato yang menyatakan bahwa karya seni hanya sekadar “tiruan belaka”, yang maksudnya ditujukan pada seni pertunjukan drama dan musik atau tari.
3. Aliran Stoa dan Epikurisme
Dalam lingkungan Stoa, terutama menyoroti seni sastra; syair dan sajak. Seni yang dihargai adalah seni yang memiliki keteraturan, simetris karena hal itu mendukung dan menimbulkan ketentraman jiwa (apatheia). Sedangkan isi keindahan menurut mazhab Epikurisme bersifat material yang antara lain demi pendidikan dan penghargaannya lebih pada kenikmatan material.
4. Plotinus (205 M-270 M)
Plotinus adalah seorang pendiri ajaran neoplatonisme. Pendapatnya tentang keindahan berkaitan dengan konsep emanasi (pengaliran) yang diusungnya. Emanasi merupakan pandangan bahwa semua hal dari Yang Maha Esa dan akan kembali semuanya kepada-Nya. Melalui emanasi, Plotinus mengatakan bahwa keindahan yang didapat seseorang dalam kenyataan duniawi dipertanyakan oleh seseorang tersebut sumber kehadirannya. Setelah pengalaman keindahan itu didapat, Plotinus menolak pandangan Stoa yang simetris dan menganggap tidak perlu serta tidak memadai. Yang membuat indah baginya bukan warna, nada, atau suatu bentuk yang homogen. Baginya, pengalaman akan keindahan justru terbentuk dari adanya persatuan antara pelbagai bagian yang berbeda satu sama lain. Persatuan itu terjadi jika ada heterogenitas bukan homogenitas. Keindahan terjadi jika sesuatu mendekati Yang Esa sebagai sumber dan tujuan segalagalanya dan ikut ambil bagian di dalamnya, maka semakin indahlah sesuatu itu.
5. Agustinus (353 M- 430 M)
Agustinus sebenarnya termasuk pengikut neoplatonisme. Menurutnya sesuatu dikatakan indah melalui pengamatan yang sesuai dengan apa yang seharusnya ada di dalamnya sebagai suatu keteraturan. Sebaliknya, sesuatu dikatakan jelek jika di dalamnya berupa ketidakteraturan. Agar kita mampu mengamati kedua-duanya, kita memerlukan idea tentang ”keteraturan ideal” yang hanya kita terima lewat terang illahi (divina iluminatio)
6. Thomas Aquinas (1225 -1274)
Aquinas berpendapat, keindahan berkaitan dengan pengetahuan seseorang menyebut sesuatu indah jika sesuatu itu menyenangkan mata sang pengamat. Keindahan terjadi jika pengarahan si subjek muncul lewat kontemplasi atau pengetahuan inderawi terutama indera visual dan pendengaran. Keindahan harus mencakup tiga kualitas yaitu, integritas (kelengkapan), proporsi (keselarasan yang benar), dan kecerlangan”.
Selama zaman Yunani klasik hingga zaman Thomas Aquinas (abad pertengahan) corak filsafat idealisme mendominasi bahkan menjadi kekuasaannya pada masa itu. Meskipun sebenarnya tidak sedikit juga tokoh yang lebih pada pola pikir realisme sebagaimana yang diajarkan Aristoteles. Dua model filsafat inilah yang kemudian memandang sumber keindahan berbeda. Sebagaimana telah disinggung di atas, sedikitnya ada dua pendapat mendasar tentang keindahan, yaitu keindahan yang berpusat pada jiwa atau subjektifitas manusia dan keindahan yang perpusat pada objek-objek indra.
Berkaitan dengan definisi keindahan itu sendiri dari beberapa tokoh di atas sepertinya tidak bis dirumuskan secara universal dan terperinci. Lagi pula apabila memaksakan diri untuk merumuskan definisi dari apa yang diungkapkan para tokoh di atas, malah akan mendistorsi keindahan itu sendiri. Sejauh ini keindahan masih misterius. Menurut penulis, lebih tepat bersikap seperti Mohammad Hatta, yang—sebgaimana dikutip Dedi Supriyadi-- mengatakan bahwa dalam belajar filsafat lebih baik tidak mendefinisikannya terlebih dahulu, apabila sudah banyak membaca nanti dengan sendirinya akan menangkap definisi itu.
B. Teori Subjektif Keindahan
Berbicara tentang subjektif-objektif ini terkadang memang dapat memunculkan salah pemahaman. Setidaknya ada dua model pemahaman yang muncul dari istilah objektif dan subjektif. Pertama objektif yang didefinisikan sebagai sifat kenetralan seseorang dalam memandang sesuatu (sesuai dengan realitas objeknya), sedangkan subjektif adalah keterpengaruhan pandangan seseorang dengan ideologi, nilai-nilai, maupun kepentingan dirinya sendiri dalam menginterpretasikan sesuatu. Kedua, objektif dimaksudkan sebagai pemahaman akan objek itu bereksistensi dan dia memiliki kualitas-kualitas, sedangkan subjektif merupakan pemahaman akan diri yang memiliki potensi-potensi dan dengannya ia memahami objek-objek. Keduanya seolah memang tidak berbeda, akan tetapi bila dipahami sebenarnya ada perbedaan jelas, subjektif-objektif yang pertama sebagai sudut pandang sedangkan subjektif-objektif yang kedua sebagai objek kajian. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan subjektif-objektif menggunakan terminologi yang kedua.
Teori subjektif merupakan kelanjutan dari pemikiran idealisme Plato. Menurut Jakob Sumardjo, ini lebih tampak jelas terjadi semenjak zaman reneisance (abad 16). Sebagaimana sejarahnya, pada zaman ini ada usaha untuk kembali kepada sepirit filsafat Yunani klasik, sehingga pada saat itu ada pembacaan dan pengkajian kembali terhadap pemikiran-pemikiran para filosof. Dua filosof yang sangat berpengaruh adalah Plato dan Aristoteles.
Pandangan plato yang mengatakan bahwa keindahan adalah ketika jiwa bertemu kembali dengan alam idea, diikuti oleh beberapa tokoh seperti Marcilio Ficino, Picodella Mirandola, Michelangelo, dan lain-lain. Ficino berpandangan bahwa sifat karakteristik seni adalah berkaitan dengan kemampuan melepaskan diri dari hal-hal kebendaan, dengan cara kontemplasi. Dalam kontemplasi, jiwa meninggalkan hal-hal badani, sehingga menyatu dengan bentuk idea, saat itulah terjadi pengalaman keindahan. Disamping intu, dengan formula lain Michelangelo bersaha menjelaskan keindahan dengan lebih rasional, menurutnya keindahan terletak pada kecermatan observasi berdasarkan hitungan aritmatika tertentu.
Aliran idealisme memang memiliki pengaruh luas dalam meletakkan sumber keindahan pada subjektifitas. Boleh dikata terhitung semenjak Plato hingga kini aliran ini banyak dipercaya menempatkan keindahan pada tempatnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri terjadi perbedaan-perbedaan dalam pengkajiannya. Misalnya saja, idealisme zaman reneisance berbeda dengan idealisme zaman pencerahan. Zaman reneisance dengan semangat rasionalisme-nya berusaha memahami keindahan dengan rasional, meskipun pada akhirnya berujung pada kegagalan. Mereka (khususnya para pengikut Descartes 1596-1650), merasakan kesulitan menerapkan prinsip clear and distinct pada keindahan, hingga mereka memunculkan istilah clear and confused. Kemudian di era Imanuel Kant (Pencerahan), ada semangat emansipasi yang kuat antara subjektifitas dengan objektifitas. Selain meyakini bahwa sumber keindahan dari das Ding a¬n sich (benda pada dirinya sendiri), ia juga berusaha untuk memeriksa sarat-syarat manakah kiranya yang perlu dipenuhi supaya manusia dapat mengucapkan suatu putusan tentang keindahan.
Apa yang telah diusahakan Kant tersebut, kemudian diteruskan oleh Hegel (1770-1831) dengan penyikapan baru terhadap apa yang disebut kant das Ding a¬n sich. Istilah itu awalnya dianggap sebagai kenyataan tetapi tidak dapat dikenal, kemudian oleh Hegel dipahami sebagai hasil buah perkembangan idea semata-mata. Sebagaimana dijelaskan oleh Fx. Mudji sutrisno dan Christ Verhaak, Hegel menjelaskan tentang keindahan sebagaimana berikut:
Suatu idea adalah moment (unsur dialektis) dalam perkembangan roh (“Geist”, “spirit”) menuju kesempurnaan. Momen itu dapat ditemukan dalam pengalaman manusia kedudukannya diambang antara yang jasmani dan rohani (materi menunjukkan roh, roh menjelma dalam materi, tepat pada saat peralihan yang bermakna ganda itu dialami), dan bukan itu saja, karena sekaligus momen atau saat kebenaran (pengertian) dan kebaikan (penghendakan) bersentuhan satu sama lain, (maka tidak wajar masalah arti atau ‘nilai etis’ dikemukakan dalam konteks kesenian). Momen itu tidak pernah diami atau ditunjukkan dalam bentuk yang “sempurna” hanya dalam bentuk “penyimpangan-penyimpangan indah” dari momen keseimbangan penyentuhan atau peralihan itu. dengan demikian, muncullah kategori-kategori estetis, seperti “yang sublim” (roh menang atas materi), “yang tragis” (roh kalah terhadap materi), “yang lucu” (arti menang atas nilai), “yang jelita” (nilai mengalahkan arti), tentu saja semua itu dalam batas keindahan itu sendiri, malah yang sublim memiliki unsur tragisnya dan sebaliknya. Pun pula yang lucu dan yang jelita (yang pertama dilihat juga sebagai yang mewakili kepriaan, sedangkan yang kedua kewanitaan).
Di abad 20 ada tokoh yang berusaha menjelaskan asal usul keindahan secara lebih jelas. Dia juga merupakan seorang idealis yaitu Benedetto Croce (1866-1952). Seperti kaum idealis lainnya, Croce mengutamakan jiwa serta kegiatan-kegiatannya sebagai dasar dari kenyataan. Ia memiliki karya yang berjudul Aisthetics, yang berpengaruh dalam wacana estetika modern. Ia menganalisis berbagai kegiatan kejiwaan hingga akhirnya memunculkan kesimpulan, “Seni adalah kegiatan kejiwaan”.
Apabila seni adalah kegiatan kejiwaan, tentunya, seni bukanlah stik yang memukul snare drum, mulut yang meniup seruling , ataupun syair sebagai tulisan, karena semua itu bersifat fisik. Sebagaimana dijelaskan oleh Katsoff, Croce berargumentasi bahwa apabila seni dijadikan objek fisik, maka seni akan kehilangan nilai estetiknya. Misalkan, ketika menemukan satu bait puisi tanpa mendalami maknanya, hanya diteliti bentuknya atau jumlah barisnya, maka tentu tidak akan ditemukan unsur seni pada puisi itu.
Bagi Croce, intuisi tidak berusaha mendapatkan pengetahuan akali. Perhatian intuisi hanyalah menyangkut citra sebagai citra. Dengan kata lain, ini merupakan bentuk dari pengetahuan terhadap diri sendiri. Artiya, seni merupakan hasil kegiatan intuisi yang menyangkut pula perasaan. Seni bukanlah sekadar kegiatan menghasilkan citra melainkan suatu kesatuan yang dihayati oleh perasaan.
Berkaitan dengan keindahan, Croce sebagaimana dijelaskan oleh Kattsoff mengajukan teori sebagai berikut:
“Manakala kita menangkap citra yang murni satu demi satu, tanpa memikirkan alasan pembenarannya atau tanpa menilainya, bahkan tanpa mempersoalkan apakah sesuai dengan kenyataan atau tidak, maka menurut Croce, kita telah mangungkapkan kepada diri kita sendiri atau mengetahui secara intuitif keadaan jiwa kita sendiri dan telah mengalami keindahan.”
Dengan demikian, sumber keindahan menurut teori Croce murni dari jiwa atau subjektifitas setiap orang.
Teori Croce tersebut kemudian dikoreksi oleh George Santayana yang berusaha menemukan kaitan antara subjektifitas, objek dan keindahan. Secara mendasar, Santayana memiliki pemahaman sama dengan Croce bahwa keindahan dan seni sebagai hal yang berhubungan secara intrinsik dengan manusia. Akan tetapi, dengan jalan analisis yang lain, memunculkan pandangan yang berbeda.
Pendekatan yang digunakan Santayana sebenarnya lebih pada empirisme. Ia berpendapat bahwa keindahan sangat bergantung pada pencerapan indera, maka dari itu keindahan mensyaratkan adanya objek. Misalnya pada ungkapan-ungkapan, “pantai itu indah”, “musik itu indah”, “bunga itu indah”, selalu memerlukan objek agar terungkap keindahan. Meskipun demikian, keindahan bukanlah kualitas objek, ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya hanyalah penyedarhanaan saja. Ketika mengatakan “Bunga itu indah”, sebenarnya gejala yang muncul pada indra bukanlah indah yang melekat pada bunga itu, akan tetapi hanya kualitas-kualitas yang melekat padanya seperti warna yang kuat, pola lekukan yang teratur, kesegaran, baru setelah subjek melihat hal itu menambahkan satu kualitas lagi, “indah”. Sehingga, seperti Croce keindahan tetap bersumber pada subjek bukan objek.
Hal yang membedakan antara Santayana dan Croce adalah pada pembatasan lingkup indah hanya pada segala sesuatu yang dapat dicerap indra. Teori Santayana selanjutnya adalah indah berkaitan dengan rasa nikmat. Artinya, segala sesuatu yang indah pasti memiliki kenikmatan di dalamnya, tetapi ini tidak bisa dibalik menjadi segala sesuatu yang nikmat pasti memiliki keindahan. Hal ini karena Santayana sudah membatasi bahwa keindahan hanya berkaitan dengan objek, sehingga baginya, “keindahan merupakan rasa nikmat yang dianggap sebagai kualitas barang sesuatu” .
C. Teori Objektif Keindahan
Sebanernya usaha emansipasi dari subjek dan objek yang dilakukan oleh beberapa kaum idealisme seperti Kant, Hegel, dan juga Santayana tersebut di atas memberikan afirmasi bahwa objek juga memiliki kualitas sehingga bisa disebut indah. Hanya saja, mereka tetap berpendirian bahwa sumber dari keindahan itu sendiri subjektif. Perhatian terhadap objek ini lebih mendalam dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memang meyakini bahwa sumber keindahan berasal dari objek atau sering disebut dengan teori objektif tentang keindahan. Teori objektif keindahan berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kualita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan terlepas dari orang yang mengamatinya.
Di abad reneisance, teori ini muncul dari kalangan Aristotelian. Mereka menekankan keindahan pada hal-hal yang jasmani. Salah satu tokoh utamanya adalah Alberti (1409-1472), menyatakan bahwa seni (keindahan) adalah harmoni antara unsur-unsurnya, dan setiap perubahan dalam unsur terkecil dapat merusak seni tersebut. Ia melahirkan persoalan sense of beauty, sebagai kemampuan seseorang untuk dapat menikmati benda. Artinya, benda merupakan sumber keindahan sedangkan manusia hanya memiliki perasaan untuk menangkap keindahan tersebut.
Ada pendapat muncul dari seorang rasionalis, Maritain. Pandangannya cukup unik, karena ia berusaha mendekati keindahan dengan menggunakan akal. Tanpa mengingkari peran dar indera, ia berpendapat bahwa “keindahan merupakan sesuatu di dalam objek yang dapat menimbulkan kesenangan pada akal, yang semata-mata karena keadaannya sebagai objek tangkapan akali. Objek bisa menimbulkan kesenangan terhadap akal ketika objek tersebut memiliki kesempurnaan tertentu seperti yang dimiliki akal. “Akal merasa senang dengan sesuatu yang indah karena di dalam sesuatu yang indah ia menemukan dirinya, mengenal dirinya kembali dan dan berhubungan dengan pancarannya sendiri”.
Ia juga merumuskan tentang syarat-syarat suatu objek agar dikatakan indah oleh akal. Dalam hal ini, objek harus menyuguhkan apa yang menjadi selera akal. Pertama, Keutuhan atau kesempurnaan, ini berdasarkan alasan bahwa akal selalu merasa gelisah apabila ia tidak sempurna. Kedua, salah satu pekerjaan akal adalah selalu berusaha menertibkan segala sesuatu menjadi suatu kesatuan, maka dari itu ketertiban dan ketunggalan juga menjadi syarat. Ketiga, hal yang menjadikan akal penasaran adalah segala sesuatu yang kabur, maka dari itu ia suka dengan kejelasan.
Selanjutnya, sebagaimana diungkapkan Kattsoff, Maritain berpendapat bahwa keindahan itu terletak pada bentuk suatu objek. Sebagaimana yang sudah diketahui, objek selalu memiliki materi dan bentuk dan pada bentuk inilah akal budi memahami objek. Terutama objek yang indah yang memiliki bentuk dalam sifat utuh atau sempurna, tertib, dan jelas.
Diantara Aristotelian juga ada yang bersifat moderat menyikapi antara keindahan objektif dan subjektif. Ada satu persoalan ketika sumber keindahan terletak pada objek, misalnya, seseorang bisa saja berpendapat kucing itu makhluk yang indah, kemudian orang lain bisa jadi malah merasa geli terhap kucing. Mengenai hal ini, Campamela berkomentar bahwa materi seni atau hal-hal eksternal seni itu netral tidak dengan sendirinya indah atau tidak indah. Ia menekankan pentingnya suatu analisis untuk merebut keindahan pada suatu objek. Maksudnya, suatu objek akan ditemukan keindahannya apabila dianalisis sedemikian rupa. Salah santu contohnya adalah urin merupakan sesuatu yang tidak indah bagi kebanyaan orang, akan tetapi, bagi seorang dokter yang sering memeriksa dan menemukan gambaran kesehatan dari urin akan menemukan keindahannya.
Kemudian, lebih mantab lagi, Clive Bell Sebagaimana dikutib olah Mudji Sutrisno dan Chris Verhaak merumuskan dictum estetiknya sebagai berikut:
“Keindahan (apa itu keindahan) hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan.”
Dalam hal ini, pengalaman atas wujud sekaligus makna dari suatu objek sangat mempengaruhi keindahan bagi seseorang. Pemikiran ini mirip dengan pendapat John Dewey yang memahami bahwa keindahan merupakan kualitas dari pengalaman. Sedangkan pengalaman Menurut Dewey seperti yang diungkapkan Kattsof adalah adalah, “akibat, tanda, dan imbalan yang terjadi karena adanya keadaan saling mempengaruhi antara organisme dengan alam lingkungan. Apabila keadaan tersebut terjelma secara penuh, hal ini merupakan suatu penyelidikan bentuk dari keadaan saling mempengaruhi menjadi keikut sertaan dan keguyuban.” Berpijak pada definisi pengalaman ini, Dewey menjelaskan bahwa asal-usul keindahan dari kualitas pengalaman yang itu didapatkan dari hubungan-hubungan yang terjadi di anrara organisme dengan objek-objek yang terdapat pada alam lingkungan secara teratur. Pada titik ini, sebenarnya Dewey sudah berada di pihak tengah di antara penganut teori subjektif dan teori objektif.
BAB III
KESIMPULAN
Seperti cabang-cabang filsafat yang lain, estetika dalam perkembangannya juga sangat dipengaruhi dua filosof besar Yunani, Plato dan Aristoteles. Plato yang dengan filsafata idealisme-nya menetapkan ontologi bahwa alama idea adalah alam yang sebenarnya, sehingga keindahan yang sebenarnya juga berada pada alam itu. Idealisme lebih mengutamakan jiwa sebagai esensi yang berpengaruh pada diri setiap orang. Pemahaman ini kemudian menjadi landasan para pemikir teori subjektif keindahan. Di abad 20 muncullah tokoh estetika Benedetto Croce dan juga George Santayana, keduanya berpendirian teguh bahwa sumber keindahan ada pada subjektifitas manusia. Meskipun sebenarnya Santayana juga mengamini adanya pengeruh kualitas objek yang dicerap seseorang terlebih dahulu, akan tetapi sumber keindahan baginya tetap muncul dari diri orang tersebut.
Pandangan bersebrangan kebanyakan muncul dari kelompok Aristotelian yang meyakini bahwa sumber dari keindahan adalah objek itu sendiri. Objek memang memiliki kualitas-kualitas keindahan sedangkan subjek tinggal menangkapnya saja. Keindahan objek disini dapat diidentifikasi, diukur, dan ditetapkan pola-pola tertentu sehingga bisa dimunculkan keindahan yang bersifat lebih universal.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono, Estetika, Bandung: Rekayasa Sains, 2007.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, trj. Soejono Soemargono, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarnnya, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sutrisno, Mudji, Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1993.
Wastap, Jaeni B., Dari Filsafat Keindahan Menuju Komunikasi Seni Pertunjukan, Acta diurnA│Vol 6 No 1 │2010.
Jumat, 14 April 2017
Review Tesis ISLAM AND JAVANESE ACULTURATION: TEXTUAL AND CONTEXTUAL ANALYSIS OF THE SLAMETAN RITUAL
Review Tesis
ISLAM AND JAVANESE ACULTURATION: TEXTUAL AND CONTEXTUAL ANALYSIS OF THE SLAMETAN RITUAL
Reviewer: Adib Hasani
A. Konteks Penelitian Tesis
Karya Islam and Javanese Aculturation: Textual and Contextual Analysis of The Slametan Ritual adalah hasil penelitian Masdar Hilmy dalam rangka memenuhi tugas akhir program megisternya di McGill University of Canada. Penelitian yang berbasis librarry researce ini membawa perspektif yang berbeda dalam memandang ritual slametan dalam kajian antropologi. Perspektif itu adalah perspektif tekstual dan kontekstual. Sebuah perspektif yang bersifat komprehensip untuk menghindari terjadinya kepincangan dalam berteori. Perspektif ini tidak lain adalah hasil sintesis dari perspektif yang digunakan oleh dua peneliti slametan sebelumnya yakni Clifford Geertz dan Mark Woodward.
Bagi Hilmy, dinamika klaim yang muncul antara Clifford Geertz dan Mark Woodward terkait status ritual slametan apakah itu animistik ataukah Islamis berawal dari perbedaan sudut pandang yang mereka pakai. Clifford Geertz mengklaim slametan merupakan tradisi animistik Jawa berdasarkan pendekatan antropologi yang kontekstual. Kontekstual disini dalam arti, penelitian yang dilakukan terfokus pada penampakan eksternal dari ritual slametan dan relasinya dalam kehidupan sosial. Adapun Mark Woodward berusaha membidik slametan lebih kepada sudut pandang nilai intrinsik yang hidup dalam ritual itu. Dari sudut pandang ini kemudian Woodward mengkritik Geertz bahwa slametan bukan animistik, melainkan asli dari ajaran Islam yang diadaptasikan dengan budaya lokal oleh para sufi. (Hilmy 1999: 4).
Penelitian ini mengupas tiga poin pokok: Pertama, membahas hubungan antara Islam dan kultur Jawa, meliputi: proses Islamisasi di Jawa dan proses akulturasi Islam dengan kultur Jawa. Kedua, mengkaji tentang slametan dan perannya dalam Islam Jawa. Fokus pembahasannya adalah: tentang konsep dasar dari slametan, pola slametan serta implementasinya di masyarakat Jawa, dan perdebatan yang terjadi tentang hakikat dari slametan. Ketiga, menganalisis slametan dengan menggunakan pendekatan tekstual-relijius dan kontekstual-kultural. (Hilmy 1999: 5)
B. Islam dan Kultur Jawa
Semenjak Selat Malaka menjadi jalur perdagangan utama di wilayah Asia Tenggara dan banyak pedagang dari Asia selatan maupun Timur Tengah berkunjung ke pelabuhan itu, yang terjadi tidaklah hanya kontak jual beli, tetapi juga kontak pendakwahan agama. Fenomena itu semakin lama semakin berkembang hingga sampai ke pulau Jawa. Para ahli banyak berselisih berkaitan dengan teori masuknya Islam ke pulau Jawa. Akan tetapi kebanyakan sepakat bahwa Islam masuk ke Jawa melalui pelabuhan-pelabuhan besar di pesisir utara seperti Gresik dan Tuban. Pelabuhan-pelabuhan itu menjadi semacam batu loncatan bagi pedagang Muslim untuk melancarkan bisnis sekaligus mengenalkan Islam kepada masyarakat Jawa. Semenjak itu terjadilah proses aksi-reaksi antara pedagang Muslim dengan inlander bersama seperangkat kultur yang dimilikinya. (Hilmy, 1999: 17)
Proses Islamisasi di Jawa terjadi secara evolutif. Dimulai dengan proses dakwah semenjak zaman Majapahit, kemudian menemukan titik loncatnya pada akhir abad 14 yakni keruntuhan Majapahit dan munculnya kerajaan Islam Demak, kemudian berganti Pajang dan disusul kerajaan-kerajaan sesudahnya yang tetap menjadikan Islam sebagai nafas keagamaan. Keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut tentu berpengaruh pada proses Islamisasi.
Sebagaimana dipaparkan oleh Hilmy, Islamisasi di Jawa terjadi dengan begitu mudah. Semenjak awal masuknya Islam di tanah Jawa, tidak terjadi pertentangan yang berarti dari berbagai pihak, dan kemudian, dalam proses penyebarannya Islam mudah diterima di masyarakat. Kemudahan ini dijelaskan oleh para sejarawan dilatar belakangi oleh beberapa sebab: Pertama, Karena Raja Majapahit waktu itu memberikan kebebasan dalam beragama dan membolehkan diajarkannya agama Islam di masyarakat. Kedua, Ajaran Islam yang bersifat egaliterian menjadikan masyarakat kalangan bawah dari struktur feodal Majapahit tertarik untuk memeluknya. Ketiga, adanya para Wali Sanga atau para Sufi yang terus giat menyebarkan agama Islam dengan damai hingga ke pelosok pedalaman Jawa dengan pendekatan esoterik. Keempat, adanya pergantian raja dari yang dulu beragama Hindu/Budha ke raja Muslim menjadikan rakyat turut serta mengikuti keyakinan raja tersebut. (Hilmy, 1999: 21)
Dengan demikian, penyebaran Islam terjadi secara efektif melalui dua bentuk, yakni, bottom up dan top down. Bentuk bottom up sebagaimana yang diusahakan oleh para sufi dengan menelusuri masyarakat Jawa hingga ke pedalaman. Sedangkan top down terjadi melalui kebijaksanaan raja Muslim, misalnya penetapan Islam sebagai agama kerajaan yang dilakukan oleh Sultan Agung pada tahun 1633, penggabungan hitungan hari dan kalender Jawa dengan kalender Islam, dan sebagainya. Meskipun Islamisasi di tanah Jawa dengan dua arah ini terjadi, akan tetapi, tetap saja wajah budaya dan tradisi Jawa sebelumnya tidak hilang. Hal ini dijelaskan oleh Hilmy karena masyarakat Jawa pada dasarnya memiliki jiwa mistik yang kuat. Mereka tidak begitu peduli dengan nilai eksoterik yang berbeda antara agama satu dengan yang lain. Bagi mereka kesempurnaan mistik lebih menarik daripada merespons urusan eksoterik. Maka dari itu, usaha yang dilakukan para sufi dalam menyebarkan Islam dimulai dari urusan esoteris daripada eksoterik. Misalnya apa yang telah diusahakan Sunan Kalijaga dalam memasukkan nilai-nilai keislaman dalam budaya wayang. Cerita-cerita wayang yang dulunya murni Hindu sedemikian rupa diubah spiritnya menjadi Islam dengan menawarkan konsep kesempurnaan mistik Islam. (Hilmy, 1999: 23).
Sebagai hasil dari kedua bentuk Islamisasi tersebut adalah munculnya model Islam yang bersifat sinkretis. Di mana ajaran Islam terjalin sedemikian rupa dengan ajaran Hindu-Budha dan juga budaya Jawa. Hal ini yang menjadikan hubungan yang sangat erat antara Islam dan kultur Jawa. Akan tetapi, betapa pun keeratan hubungan itu terjadi, semenjak adanya arus penetrasi Islam ala Timur Tengah ke Jawa, muncul pandangan negatif terhadap Islam Jawa. Orang-orang yang melaksanakan praktik Islam ala Jawa di cap sebagai “Muslim yang buruk” (bad Muslim), sedangkan Islam yang benar (genuine) adalah Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat di mana agama ini berasal yakni Arab. Kemudian, klaim antara Islam genuine dan bad Muslim, muncul dalam istilah Islam Abangan dan Islam Putihan, atau dalam bahasa Geertz disebut dengan kaum Abangan dan Kaum Santri. Menguatnya kaum santri inilah yang nanti memperkuat arus Islamisasi terhadap Islam Jawa. Sedikit demi sedikit mengikis praktik Islam kultural yang dianggap tidak sesuai dengan Islam genuin.
C. Slametan dalam Struktur Islam Jawa
Slametan merupakan sebuah ritual khas yang menjadi sentral dari struktur Islam Jawa. Dikatakan sentral sebab tradisi ini yang dominan mewarnai wajah keberagamaan Islam Jawa. Seolah slametan menjadi sesuatu yang integral dalam benak Muslim Jawa, sehingga sulit bagi mereka untuk meninggalkan ritual ini. Meski tidak jarang kelompok santri puritan mengatakan ritual itu salah, slametan tetap saja tidak ditinggalkan oleh Muslim Jawa. Bahkan dalam kenyataannya, tradisi slametan tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang dicap abangan saja. Akan tetapi para Santri (yang memaknai agama tidak dengan puritan), dan priyayi juga ikut melaksanakan. Justru dalam satu ritual slametan sering kali ketiga kelompok tersebut bersatu padu menjalin kebersamaan.
Mengawali pemahaman tentang Slametan ini, Masdar Hilmy memaparkan berbagai definisi dari beberapa tokoh. Ada dinamika dalam pendefinisian tradisi slametan. Peneliti dari belanda, Mayer dan Moll (1909), yang lebih awal meneliti slametan mendefinisikan slametan “is actually the offer a meal (meal charity) which is given to create a state of the well-being of a person or a family or other earthly matters”. (Slametan adalah memberikan makanan (sedekah makanan), demi menciptakan kondisi kehidupan yang baik pada seseorang atau keluarga atau makhluk bumi yang lain). Kemudian Clifford Geerrz (1957) mendefinisikan “Slametan as the javanese version of what is perhaps world’s common religious ritual, the communal feast, and, as almost every where, it symbolizes the mystic and social unity of those participating in it”. (Slametan adalah apa yang disebut pada umumnya sebagai ritual keagamaan secara berjamaah versi Jawa, layaknya pesta bersama, dan sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat, acara ini penuh dengan simbol-simbol mistik dan kesatuan sosial dari setiap pihak yang berpartisipasi). Satu pemikiran dengan Geertz, Hafner mendefinisikan dengan lebih rinci, “Slametan as a public ceremony involving priestly invocation of worship and deities, the withnessing of that event by lay persons, and, at least in most instances, some kind of meal communion or social festivity to celebrate the occasion”. (Slametan adalah upacara publik yang melibatkan pembacaan doa dan peribadatan kepada para dewa oleh tetua, diiringi kesaksian dari masyarakat awam, dan paling tidak biasanya terdapat beberapa jenis sajian makanan atau pesta sosial untuk merayakan acara tersebut). Kemudian dengan pendekatan yang berbeda Mark Woodward mendefinisikan slametan dengan nuansa lebih Islami. Menurutnya, slametan adalah “a ritual meal at which Arabic prayer are recited and food is offered to the Prophet Muhammad, Saints, and ancestor, who are implored to shower blessing on the comunity”. (Ritual makanan dimana doa berbahasa Arab diucapkan dan makanan dipersembahkan untuk Nabi Muhammad, Para Wali, dan leluhur yang diminta untuk menebarkan rahmat kepada masyarakat). Di antara definisi-definisi tersebut, Woodward memang berbeda dengan berusaha menegaskan bahwa slametan murupakan tradisi Islam yang dinaturalisasikan.
Menyikapi perbedaan yang ada dari berbagai definisi tersebut, Masdar Hilmy berusaha menarik benang merah dengan mendefinisikan slametan secara global. Ia menegaskan, slametan adalah “a Javanese Muslim ritual conducted to gain certain blessing from God”. (Ritual Islam Jawa yang dilaksanakan demi menggapai rahmat dari Tuhan). Adapun tujuan yang lebih rinci dari slametan adalah terciptanya kondisi selamat lahir dan batin serta tergapainya kehidupan yang baik dan sejahtera (prosperity). Kemudian Hilmy menjelaskan, jika merujuk pada definisi-definisi di atas, slametan merupakan hasil perpaduan antara unsur Islam, unsur Hindu-Budha, dan unsur yang lain, sedangkan dasar dari slametan itu sendiri adalah hasil dari interpretasi Muslim Jawa tentang makro kosmos dari kehidupan supra natural. (Hilmy, 1999: 48)
Untuk kesimpulan bagian terakhir tentang hakikat slametan apakah Islamis, ataukah sinkretis, terdapat pandangan yang diameteral berbeda, antara Mark Woodward dan tokoh-tokoh sebelumnya, yakni Geertz dan Hafner. Woodward pada intinya mengkritik Geertz yang mengatakan slametan adalah sinkretik, atau bahkan animistik. Argumentasi Geertz tentang klaimnya tersebut didapatkan dari informan-informan yang ia tanyai pada saat melakukan penelitian di Mojokuto. Informan Geertz mengatakan bahwa inti dari slametan adalah terletak pada makanan, karena makanan tersebutlah yang dipersembahkan untuk roh leluhur agar mereka memberikan keslametan bagi pihak yang mengadakan slametan. Dari dasar inilah kemudian Geertz memunculkan klaim bahwa slametan bersifat animistik. Adapun Woodward menolak klaim Geerrz dengan dalih bahwa tradisi ritual meal sebagaimana yang ada dalam slametan sebenarnya adalah tradisi Islam yang itu juga terjadi di India Selatan, Persia, Bangladesh, dan tempat-tempat yang lain. Kemudian Woodward juga menggunakan al-Quran dan hadis untuk menemukan relevansi slametan dalam Islam. Hasilnya pun relevan, Ia menyamakan slametan dengan sedekah dalam tradisi Islam pada umumnya. (Hilmy, 1999: 64).
Memandang perbedaan pandangan yang terjadi di antara Geertz dan Woodward, Masdar hilmi menjelaskan hal itu disebabkan dua faktor. Pertama faktor setting, yakni tempat dan waktu penelitian yang berbeda. Geertz meneliti di kecamatan Mojokuto dengan waktu lebih awal daripada Woodward yakni tahun 1950an, sedangkan Woodward melakukan penelitian di Jogjakarta dan beberapa daerah di Jawa tengah, pada waktu setelah penelitian Geertz selesai. Perbedaan setting ini sangat menentkan perbedaan pandangan keduanya, sebab Menurut Hilmi, saat Geertz meneliti kekuatan abangan masih kuat di Jawa, sedangkan di zaman Woodward, sudah terjadi Islamisasi sedemikian rupa melalui bertambahnya ulama dan juga keaktifan para santri dalam pemenangan kancah politik.
Kedua, faktor perbedaan pendekatan. Sebagaiman telah disinggung di awal, pendekatan yang digunakan kedua pihak tidak sama. Geetrz, menggunakan pendekatan kontekstual yakni sosio-kultural sedangkan Woodward menggunakan pendekatan tekstual, berupa pengujian tradisi dengan menggunakan teks-teks keagamaan Islam. Dari sini Hilmy menemukan kurang seimbangnya pendekatan yang dilakukan masing-masing pihak. Kemudian ia berusaha menggunakan sintesis dua pendekatan tersebut dalam menilik slametan apakah Islamis, Sinkretik, ataukah animistik.
D. Ritual Slametan dari Kacamata Analisis Tekstual dan Kontekstual
Poin ini merupakan tahap puncak dari penelitian tesis Masdar Hilmy. Ia berusaha mengungkap kembali slametan dengan menggunakan perspektif Mark Woodward sekaligus Clifford Geertz. Dengan mengutip pendapat Denny, Hilmy menegaskan bahwa analisis slametan seharusnya menggunakan dua perspektif sekaligus, yakni tekstual dan kontekstual. Hanya menggunakan salah satu darinya akan memunculkan pandangan yang tidak komprehensif. Terlebih jika salah satu perspektif itu digunakan mengkritik hasil analisis perspektif yang lain--sebagaimana yang dilakukan Woodward terhadap hasil penelitian Geertz--,sebenarnya itu tidak tepat. (Hilmy, 1999:79)
Mirip dengan apa yang dilakukan oleh Woodward dalam menganalisis slametan secara tekstual, Hilmy berusaha mengulasnya dengan menelusuri unsur-unsur normatif-tekstual. Berawal dari mengkaji kata slametan dengan pendekatan semantik, dikatakan bahwa slametan berasal dari bahasa Arab salam, dan kata-kata itu sering digunakan dalam istilah-istilah Islam, misal ketika mengucapkan sapaan salam kepada orang lain, ketika masuk kompleks makam, ketika bershalawat kepada Nabi Muhamad, dan sebagainya. Slametan dari sudut pandang normatif-ubudiyah juga memiliki relevansi dengan spirit ritual ajaran Islam. Mengutip Woodward, Hilmy menjelaskan bahwa slametan identik dengan semangat sedekah, zakat, dan qurban yang dilaksanakan pada hari raya Idul Adha. Hanya saja secara normatif-tekstual, eksistensi beberapa peribadatan tersebut memiliki hukum fiqih yang jelas, wajib atau sunnah, sedangkan slametan memang banyak yang menghukuminya sunnah, akan tetapi, hukum yang mendasarinya (yang menyebabkan dihukumi sunnah) adalah karena fadha’il al a’mal (keutamaan amal) saja. (Hilmy, 1999: 83) Ada landasan lain yang sebenarnya lebih kuat untuk legitimasi eksistensi slametan. Hilmy dengan mengutip Abdurrahman Wahid mengatakan landasan itu adalah kaidah fiqih al ‘adah shari’ah muhakkamah, maksudnya, tradisi yang tidak bertentangan dengan syari’ah bisa masuk dalam kategori syari’ah. Sehingga, meskipun slametan tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun hadis, tetap saja itu bisa digolongkan tradisi yang memiliki nilai ibadah. .(Hilmy, 1999: 86)
Kemudian, secara fungsional, Hilmy berusaha menganalisis mengapa slametan masih saja eksis dalam struktur agama Jawa. Menurutnya, hal itu disebabkan slametan memang sudah menjadi sarana spiritual (spiritual apparatus) untuk mendapatkan keberkahan, terhindar dari mala petaka, terkabul segala permintaannya, dan lain-lain. Tidak cukup itu saja, sebagaimana yang diungkapkan Geertz, ritual ini juga berfungsi sebagai sarana bagi masyarakat untuk menjaga keguyuban dan kerukunan sosial.
Keberadaan slametan terus saja terjaga dalam struktur kultur Jawa. Bahkan tradisi ini sudah menjadi bagian integral dalam struktur Jawa itu sendiri yang terus dilaksanakan dari generasi ke generasi. Untuk mencari akar keintegralan ini, Hilmy menggunakan kacamata struktural. Ia mendasarkan pada teori Levi-Strauss bahwa ritual memiliki hubungan struktural dengan mitos. Untuk itu ia juga menggunakan teori model of dan model for, milik Geertz. Hilmy mengutip Woosward dalam melacak akar mitos dari slametan. Ia mengungkapkan cerita tentang Sunan Kalijaga yang mengusulkan kepada raja Demak untuk melaksanakan slametan, sebab terjadi keguncangan sosial-ekonomi masyarakat karena dihapuskannya tradisi memberi makan kepada rakyat miskin yang dilakukan oleh kerajaan sebelumnya, yakni Majapahit. Dengan demikian, slametan dilakukan untuk msnciptakan kesatuan antara rakyat dengan raja, dan untuk menjaga kesejahteraan rakyat. Selain itu, cerita lain juga diungkapkan bahwa slametan muncul untuk menjalin hubungan antara manusia dengan alam. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masyarakat suku tengger yang melaksanakan slametan sebagai ritual persembahan pada Dewa Kusuma yang menguasai gunung Bromo. (Hilmy, 1999: 96)
Dengan demikian, secara kontekstual, slametan tidak bisa dikatakan sepenuhnya Islami. Dalam beberapa daerah, slametan bersifat sinkretik, seperti halnya yang terjadi di masyarakat Banyuwangi, slametan diwarnai nuansa sinkretik antara Hindu dan Islam. Di sana ada paham trinitas Adam, Hawa dan Wisnu. Adam dan Hawa yang berasal dari Islam dalam slametan mewujud pada simbol bubur putih dan bubur merah. Bubur putih melambangkan sperma Ayah sedangkan bubur merah melambangkan darah ibu. Kemudian, di antara Adam dan Hawa tersebut juga ada Wisnu sebagai lambang dari dewa Hindu.
Terakhir, dalam kesimpulan penelitian ini, Hilmi memunculkan statemen:
It may safely to argue that to see Javanese Islam, and thus the slametan ritual as its hybrid, one should employ a comprehensive and holistic approach. To say that the slametan is animistic ritual is to deny the reality that is completely Islamized. On the other hand, to argue that the slametan is purely Islamic amounts to negation of the historicity of Javanese Islam. The most realistic statement is problably that the slametan is neither purely animistic nor purely Islamic, but that both element are present (syncretistic).
E. Sebuah Komentar
Tidak dapat dipungkiri, usaha Masdar Hilmy dalam mengolaborasikan perspektif tekstual dan kontekstual telah mampu memunculkan pemahaman yang lebih komprehensif. Ia setidaknya mampu menghalau pandangan psudo-universal dari Clifford Geertz dan Mark Woodward yang masing-masing bertahan pada kutub klaim slametan sebagai tradisi animistik dan klaim slametan sebagai tradisi Islami. Dalam posisinya sebagai “penghulu” kedua perspektif, Hilmi mampu mengambil jalan tengah di antara dua klaim itu dengan kesimpulan besar bahwa slametan bukan animistik sekaligus bukan pula murni Islam, melainkan sinkretis.
Bagi Hilmy, sinkretis lebih tepat disematkan pada status slametan. Ia juga memerincikan berbagai model sinkretis dalam slametan. Ada yang nilai sinkretisnya sebatas pada pernak-perniknya saja, ada pula sinkretis hingga pada taraf hakikat teologi. Kesimpulan seperti ini mirip yang dilakukan oleh M.C. Ricklefs dalam menjelaskan sejarah Islam di Jawa abad 18. Ia menyebutkan karakteristik umat Islam pada masa itu adalah “mystic synthesis,” di mana ajaran Islam yang murni bercampur dengan kepercayaan Jawa, seperti Nyai Roro Kidul, Sunan Lawu dan sebagainya. (Ricklefs, 2008: 34). Hal ini mirip dengan model sinkretis slametan yang terjadi di Banyuwangi yang mencampurkan ajaran Islam tentang Adam dan Hawa dengan kepercayaan kepada Dewa Wisnu Hindu. Dengan demikian, gagasan “sinkretis” terhadap tradisi Islam Jawa bukanlah semata-mata perkara yang baru dari Masdar Hilmy, tepatnya ia hanya meneruskan klaim yang dimunculkan oleh M.C. Ricklefs saja.
ISLAM AND JAVANESE ACULTURATION: TEXTUAL AND CONTEXTUAL ANALYSIS OF THE SLAMETAN RITUAL
Reviewer: Adib Hasani
A. Konteks Penelitian Tesis
Karya Islam and Javanese Aculturation: Textual and Contextual Analysis of The Slametan Ritual adalah hasil penelitian Masdar Hilmy dalam rangka memenuhi tugas akhir program megisternya di McGill University of Canada. Penelitian yang berbasis librarry researce ini membawa perspektif yang berbeda dalam memandang ritual slametan dalam kajian antropologi. Perspektif itu adalah perspektif tekstual dan kontekstual. Sebuah perspektif yang bersifat komprehensip untuk menghindari terjadinya kepincangan dalam berteori. Perspektif ini tidak lain adalah hasil sintesis dari perspektif yang digunakan oleh dua peneliti slametan sebelumnya yakni Clifford Geertz dan Mark Woodward.
Bagi Hilmy, dinamika klaim yang muncul antara Clifford Geertz dan Mark Woodward terkait status ritual slametan apakah itu animistik ataukah Islamis berawal dari perbedaan sudut pandang yang mereka pakai. Clifford Geertz mengklaim slametan merupakan tradisi animistik Jawa berdasarkan pendekatan antropologi yang kontekstual. Kontekstual disini dalam arti, penelitian yang dilakukan terfokus pada penampakan eksternal dari ritual slametan dan relasinya dalam kehidupan sosial. Adapun Mark Woodward berusaha membidik slametan lebih kepada sudut pandang nilai intrinsik yang hidup dalam ritual itu. Dari sudut pandang ini kemudian Woodward mengkritik Geertz bahwa slametan bukan animistik, melainkan asli dari ajaran Islam yang diadaptasikan dengan budaya lokal oleh para sufi. (Hilmy 1999: 4).
Penelitian ini mengupas tiga poin pokok: Pertama, membahas hubungan antara Islam dan kultur Jawa, meliputi: proses Islamisasi di Jawa dan proses akulturasi Islam dengan kultur Jawa. Kedua, mengkaji tentang slametan dan perannya dalam Islam Jawa. Fokus pembahasannya adalah: tentang konsep dasar dari slametan, pola slametan serta implementasinya di masyarakat Jawa, dan perdebatan yang terjadi tentang hakikat dari slametan. Ketiga, menganalisis slametan dengan menggunakan pendekatan tekstual-relijius dan kontekstual-kultural. (Hilmy 1999: 5)
B. Islam dan Kultur Jawa
Semenjak Selat Malaka menjadi jalur perdagangan utama di wilayah Asia Tenggara dan banyak pedagang dari Asia selatan maupun Timur Tengah berkunjung ke pelabuhan itu, yang terjadi tidaklah hanya kontak jual beli, tetapi juga kontak pendakwahan agama. Fenomena itu semakin lama semakin berkembang hingga sampai ke pulau Jawa. Para ahli banyak berselisih berkaitan dengan teori masuknya Islam ke pulau Jawa. Akan tetapi kebanyakan sepakat bahwa Islam masuk ke Jawa melalui pelabuhan-pelabuhan besar di pesisir utara seperti Gresik dan Tuban. Pelabuhan-pelabuhan itu menjadi semacam batu loncatan bagi pedagang Muslim untuk melancarkan bisnis sekaligus mengenalkan Islam kepada masyarakat Jawa. Semenjak itu terjadilah proses aksi-reaksi antara pedagang Muslim dengan inlander bersama seperangkat kultur yang dimilikinya. (Hilmy, 1999: 17)
Proses Islamisasi di Jawa terjadi secara evolutif. Dimulai dengan proses dakwah semenjak zaman Majapahit, kemudian menemukan titik loncatnya pada akhir abad 14 yakni keruntuhan Majapahit dan munculnya kerajaan Islam Demak, kemudian berganti Pajang dan disusul kerajaan-kerajaan sesudahnya yang tetap menjadikan Islam sebagai nafas keagamaan. Keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut tentu berpengaruh pada proses Islamisasi.
Sebagaimana dipaparkan oleh Hilmy, Islamisasi di Jawa terjadi dengan begitu mudah. Semenjak awal masuknya Islam di tanah Jawa, tidak terjadi pertentangan yang berarti dari berbagai pihak, dan kemudian, dalam proses penyebarannya Islam mudah diterima di masyarakat. Kemudahan ini dijelaskan oleh para sejarawan dilatar belakangi oleh beberapa sebab: Pertama, Karena Raja Majapahit waktu itu memberikan kebebasan dalam beragama dan membolehkan diajarkannya agama Islam di masyarakat. Kedua, Ajaran Islam yang bersifat egaliterian menjadikan masyarakat kalangan bawah dari struktur feodal Majapahit tertarik untuk memeluknya. Ketiga, adanya para Wali Sanga atau para Sufi yang terus giat menyebarkan agama Islam dengan damai hingga ke pelosok pedalaman Jawa dengan pendekatan esoterik. Keempat, adanya pergantian raja dari yang dulu beragama Hindu/Budha ke raja Muslim menjadikan rakyat turut serta mengikuti keyakinan raja tersebut. (Hilmy, 1999: 21)
Dengan demikian, penyebaran Islam terjadi secara efektif melalui dua bentuk, yakni, bottom up dan top down. Bentuk bottom up sebagaimana yang diusahakan oleh para sufi dengan menelusuri masyarakat Jawa hingga ke pedalaman. Sedangkan top down terjadi melalui kebijaksanaan raja Muslim, misalnya penetapan Islam sebagai agama kerajaan yang dilakukan oleh Sultan Agung pada tahun 1633, penggabungan hitungan hari dan kalender Jawa dengan kalender Islam, dan sebagainya. Meskipun Islamisasi di tanah Jawa dengan dua arah ini terjadi, akan tetapi, tetap saja wajah budaya dan tradisi Jawa sebelumnya tidak hilang. Hal ini dijelaskan oleh Hilmy karena masyarakat Jawa pada dasarnya memiliki jiwa mistik yang kuat. Mereka tidak begitu peduli dengan nilai eksoterik yang berbeda antara agama satu dengan yang lain. Bagi mereka kesempurnaan mistik lebih menarik daripada merespons urusan eksoterik. Maka dari itu, usaha yang dilakukan para sufi dalam menyebarkan Islam dimulai dari urusan esoteris daripada eksoterik. Misalnya apa yang telah diusahakan Sunan Kalijaga dalam memasukkan nilai-nilai keislaman dalam budaya wayang. Cerita-cerita wayang yang dulunya murni Hindu sedemikian rupa diubah spiritnya menjadi Islam dengan menawarkan konsep kesempurnaan mistik Islam. (Hilmy, 1999: 23).
Sebagai hasil dari kedua bentuk Islamisasi tersebut adalah munculnya model Islam yang bersifat sinkretis. Di mana ajaran Islam terjalin sedemikian rupa dengan ajaran Hindu-Budha dan juga budaya Jawa. Hal ini yang menjadikan hubungan yang sangat erat antara Islam dan kultur Jawa. Akan tetapi, betapa pun keeratan hubungan itu terjadi, semenjak adanya arus penetrasi Islam ala Timur Tengah ke Jawa, muncul pandangan negatif terhadap Islam Jawa. Orang-orang yang melaksanakan praktik Islam ala Jawa di cap sebagai “Muslim yang buruk” (bad Muslim), sedangkan Islam yang benar (genuine) adalah Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat di mana agama ini berasal yakni Arab. Kemudian, klaim antara Islam genuine dan bad Muslim, muncul dalam istilah Islam Abangan dan Islam Putihan, atau dalam bahasa Geertz disebut dengan kaum Abangan dan Kaum Santri. Menguatnya kaum santri inilah yang nanti memperkuat arus Islamisasi terhadap Islam Jawa. Sedikit demi sedikit mengikis praktik Islam kultural yang dianggap tidak sesuai dengan Islam genuin.
C. Slametan dalam Struktur Islam Jawa
Slametan merupakan sebuah ritual khas yang menjadi sentral dari struktur Islam Jawa. Dikatakan sentral sebab tradisi ini yang dominan mewarnai wajah keberagamaan Islam Jawa. Seolah slametan menjadi sesuatu yang integral dalam benak Muslim Jawa, sehingga sulit bagi mereka untuk meninggalkan ritual ini. Meski tidak jarang kelompok santri puritan mengatakan ritual itu salah, slametan tetap saja tidak ditinggalkan oleh Muslim Jawa. Bahkan dalam kenyataannya, tradisi slametan tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang dicap abangan saja. Akan tetapi para Santri (yang memaknai agama tidak dengan puritan), dan priyayi juga ikut melaksanakan. Justru dalam satu ritual slametan sering kali ketiga kelompok tersebut bersatu padu menjalin kebersamaan.
Mengawali pemahaman tentang Slametan ini, Masdar Hilmy memaparkan berbagai definisi dari beberapa tokoh. Ada dinamika dalam pendefinisian tradisi slametan. Peneliti dari belanda, Mayer dan Moll (1909), yang lebih awal meneliti slametan mendefinisikan slametan “is actually the offer a meal (meal charity) which is given to create a state of the well-being of a person or a family or other earthly matters”. (Slametan adalah memberikan makanan (sedekah makanan), demi menciptakan kondisi kehidupan yang baik pada seseorang atau keluarga atau makhluk bumi yang lain). Kemudian Clifford Geerrz (1957) mendefinisikan “Slametan as the javanese version of what is perhaps world’s common religious ritual, the communal feast, and, as almost every where, it symbolizes the mystic and social unity of those participating in it”. (Slametan adalah apa yang disebut pada umumnya sebagai ritual keagamaan secara berjamaah versi Jawa, layaknya pesta bersama, dan sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat, acara ini penuh dengan simbol-simbol mistik dan kesatuan sosial dari setiap pihak yang berpartisipasi). Satu pemikiran dengan Geertz, Hafner mendefinisikan dengan lebih rinci, “Slametan as a public ceremony involving priestly invocation of worship and deities, the withnessing of that event by lay persons, and, at least in most instances, some kind of meal communion or social festivity to celebrate the occasion”. (Slametan adalah upacara publik yang melibatkan pembacaan doa dan peribadatan kepada para dewa oleh tetua, diiringi kesaksian dari masyarakat awam, dan paling tidak biasanya terdapat beberapa jenis sajian makanan atau pesta sosial untuk merayakan acara tersebut). Kemudian dengan pendekatan yang berbeda Mark Woodward mendefinisikan slametan dengan nuansa lebih Islami. Menurutnya, slametan adalah “a ritual meal at which Arabic prayer are recited and food is offered to the Prophet Muhammad, Saints, and ancestor, who are implored to shower blessing on the comunity”. (Ritual makanan dimana doa berbahasa Arab diucapkan dan makanan dipersembahkan untuk Nabi Muhammad, Para Wali, dan leluhur yang diminta untuk menebarkan rahmat kepada masyarakat). Di antara definisi-definisi tersebut, Woodward memang berbeda dengan berusaha menegaskan bahwa slametan murupakan tradisi Islam yang dinaturalisasikan.
Menyikapi perbedaan yang ada dari berbagai definisi tersebut, Masdar Hilmy berusaha menarik benang merah dengan mendefinisikan slametan secara global. Ia menegaskan, slametan adalah “a Javanese Muslim ritual conducted to gain certain blessing from God”. (Ritual Islam Jawa yang dilaksanakan demi menggapai rahmat dari Tuhan). Adapun tujuan yang lebih rinci dari slametan adalah terciptanya kondisi selamat lahir dan batin serta tergapainya kehidupan yang baik dan sejahtera (prosperity). Kemudian Hilmy menjelaskan, jika merujuk pada definisi-definisi di atas, slametan merupakan hasil perpaduan antara unsur Islam, unsur Hindu-Budha, dan unsur yang lain, sedangkan dasar dari slametan itu sendiri adalah hasil dari interpretasi Muslim Jawa tentang makro kosmos dari kehidupan supra natural. (Hilmy, 1999: 48)
Untuk kesimpulan bagian terakhir tentang hakikat slametan apakah Islamis, ataukah sinkretis, terdapat pandangan yang diameteral berbeda, antara Mark Woodward dan tokoh-tokoh sebelumnya, yakni Geertz dan Hafner. Woodward pada intinya mengkritik Geertz yang mengatakan slametan adalah sinkretik, atau bahkan animistik. Argumentasi Geertz tentang klaimnya tersebut didapatkan dari informan-informan yang ia tanyai pada saat melakukan penelitian di Mojokuto. Informan Geertz mengatakan bahwa inti dari slametan adalah terletak pada makanan, karena makanan tersebutlah yang dipersembahkan untuk roh leluhur agar mereka memberikan keslametan bagi pihak yang mengadakan slametan. Dari dasar inilah kemudian Geertz memunculkan klaim bahwa slametan bersifat animistik. Adapun Woodward menolak klaim Geerrz dengan dalih bahwa tradisi ritual meal sebagaimana yang ada dalam slametan sebenarnya adalah tradisi Islam yang itu juga terjadi di India Selatan, Persia, Bangladesh, dan tempat-tempat yang lain. Kemudian Woodward juga menggunakan al-Quran dan hadis untuk menemukan relevansi slametan dalam Islam. Hasilnya pun relevan, Ia menyamakan slametan dengan sedekah dalam tradisi Islam pada umumnya. (Hilmy, 1999: 64).
Memandang perbedaan pandangan yang terjadi di antara Geertz dan Woodward, Masdar hilmi menjelaskan hal itu disebabkan dua faktor. Pertama faktor setting, yakni tempat dan waktu penelitian yang berbeda. Geertz meneliti di kecamatan Mojokuto dengan waktu lebih awal daripada Woodward yakni tahun 1950an, sedangkan Woodward melakukan penelitian di Jogjakarta dan beberapa daerah di Jawa tengah, pada waktu setelah penelitian Geertz selesai. Perbedaan setting ini sangat menentkan perbedaan pandangan keduanya, sebab Menurut Hilmi, saat Geertz meneliti kekuatan abangan masih kuat di Jawa, sedangkan di zaman Woodward, sudah terjadi Islamisasi sedemikian rupa melalui bertambahnya ulama dan juga keaktifan para santri dalam pemenangan kancah politik.
Kedua, faktor perbedaan pendekatan. Sebagaiman telah disinggung di awal, pendekatan yang digunakan kedua pihak tidak sama. Geetrz, menggunakan pendekatan kontekstual yakni sosio-kultural sedangkan Woodward menggunakan pendekatan tekstual, berupa pengujian tradisi dengan menggunakan teks-teks keagamaan Islam. Dari sini Hilmy menemukan kurang seimbangnya pendekatan yang dilakukan masing-masing pihak. Kemudian ia berusaha menggunakan sintesis dua pendekatan tersebut dalam menilik slametan apakah Islamis, Sinkretik, ataukah animistik.
D. Ritual Slametan dari Kacamata Analisis Tekstual dan Kontekstual
Poin ini merupakan tahap puncak dari penelitian tesis Masdar Hilmy. Ia berusaha mengungkap kembali slametan dengan menggunakan perspektif Mark Woodward sekaligus Clifford Geertz. Dengan mengutip pendapat Denny, Hilmy menegaskan bahwa analisis slametan seharusnya menggunakan dua perspektif sekaligus, yakni tekstual dan kontekstual. Hanya menggunakan salah satu darinya akan memunculkan pandangan yang tidak komprehensif. Terlebih jika salah satu perspektif itu digunakan mengkritik hasil analisis perspektif yang lain--sebagaimana yang dilakukan Woodward terhadap hasil penelitian Geertz--,sebenarnya itu tidak tepat. (Hilmy, 1999:79)
Mirip dengan apa yang dilakukan oleh Woodward dalam menganalisis slametan secara tekstual, Hilmy berusaha mengulasnya dengan menelusuri unsur-unsur normatif-tekstual. Berawal dari mengkaji kata slametan dengan pendekatan semantik, dikatakan bahwa slametan berasal dari bahasa Arab salam, dan kata-kata itu sering digunakan dalam istilah-istilah Islam, misal ketika mengucapkan sapaan salam kepada orang lain, ketika masuk kompleks makam, ketika bershalawat kepada Nabi Muhamad, dan sebagainya. Slametan dari sudut pandang normatif-ubudiyah juga memiliki relevansi dengan spirit ritual ajaran Islam. Mengutip Woodward, Hilmy menjelaskan bahwa slametan identik dengan semangat sedekah, zakat, dan qurban yang dilaksanakan pada hari raya Idul Adha. Hanya saja secara normatif-tekstual, eksistensi beberapa peribadatan tersebut memiliki hukum fiqih yang jelas, wajib atau sunnah, sedangkan slametan memang banyak yang menghukuminya sunnah, akan tetapi, hukum yang mendasarinya (yang menyebabkan dihukumi sunnah) adalah karena fadha’il al a’mal (keutamaan amal) saja. (Hilmy, 1999: 83) Ada landasan lain yang sebenarnya lebih kuat untuk legitimasi eksistensi slametan. Hilmy dengan mengutip Abdurrahman Wahid mengatakan landasan itu adalah kaidah fiqih al ‘adah shari’ah muhakkamah, maksudnya, tradisi yang tidak bertentangan dengan syari’ah bisa masuk dalam kategori syari’ah. Sehingga, meskipun slametan tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun hadis, tetap saja itu bisa digolongkan tradisi yang memiliki nilai ibadah. .(Hilmy, 1999: 86)
Kemudian, secara fungsional, Hilmy berusaha menganalisis mengapa slametan masih saja eksis dalam struktur agama Jawa. Menurutnya, hal itu disebabkan slametan memang sudah menjadi sarana spiritual (spiritual apparatus) untuk mendapatkan keberkahan, terhindar dari mala petaka, terkabul segala permintaannya, dan lain-lain. Tidak cukup itu saja, sebagaimana yang diungkapkan Geertz, ritual ini juga berfungsi sebagai sarana bagi masyarakat untuk menjaga keguyuban dan kerukunan sosial.
Keberadaan slametan terus saja terjaga dalam struktur kultur Jawa. Bahkan tradisi ini sudah menjadi bagian integral dalam struktur Jawa itu sendiri yang terus dilaksanakan dari generasi ke generasi. Untuk mencari akar keintegralan ini, Hilmy menggunakan kacamata struktural. Ia mendasarkan pada teori Levi-Strauss bahwa ritual memiliki hubungan struktural dengan mitos. Untuk itu ia juga menggunakan teori model of dan model for, milik Geertz. Hilmy mengutip Woosward dalam melacak akar mitos dari slametan. Ia mengungkapkan cerita tentang Sunan Kalijaga yang mengusulkan kepada raja Demak untuk melaksanakan slametan, sebab terjadi keguncangan sosial-ekonomi masyarakat karena dihapuskannya tradisi memberi makan kepada rakyat miskin yang dilakukan oleh kerajaan sebelumnya, yakni Majapahit. Dengan demikian, slametan dilakukan untuk msnciptakan kesatuan antara rakyat dengan raja, dan untuk menjaga kesejahteraan rakyat. Selain itu, cerita lain juga diungkapkan bahwa slametan muncul untuk menjalin hubungan antara manusia dengan alam. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masyarakat suku tengger yang melaksanakan slametan sebagai ritual persembahan pada Dewa Kusuma yang menguasai gunung Bromo. (Hilmy, 1999: 96)
Dengan demikian, secara kontekstual, slametan tidak bisa dikatakan sepenuhnya Islami. Dalam beberapa daerah, slametan bersifat sinkretik, seperti halnya yang terjadi di masyarakat Banyuwangi, slametan diwarnai nuansa sinkretik antara Hindu dan Islam. Di sana ada paham trinitas Adam, Hawa dan Wisnu. Adam dan Hawa yang berasal dari Islam dalam slametan mewujud pada simbol bubur putih dan bubur merah. Bubur putih melambangkan sperma Ayah sedangkan bubur merah melambangkan darah ibu. Kemudian, di antara Adam dan Hawa tersebut juga ada Wisnu sebagai lambang dari dewa Hindu.
Terakhir, dalam kesimpulan penelitian ini, Hilmi memunculkan statemen:
It may safely to argue that to see Javanese Islam, and thus the slametan ritual as its hybrid, one should employ a comprehensive and holistic approach. To say that the slametan is animistic ritual is to deny the reality that is completely Islamized. On the other hand, to argue that the slametan is purely Islamic amounts to negation of the historicity of Javanese Islam. The most realistic statement is problably that the slametan is neither purely animistic nor purely Islamic, but that both element are present (syncretistic).
E. Sebuah Komentar
Tidak dapat dipungkiri, usaha Masdar Hilmy dalam mengolaborasikan perspektif tekstual dan kontekstual telah mampu memunculkan pemahaman yang lebih komprehensif. Ia setidaknya mampu menghalau pandangan psudo-universal dari Clifford Geertz dan Mark Woodward yang masing-masing bertahan pada kutub klaim slametan sebagai tradisi animistik dan klaim slametan sebagai tradisi Islami. Dalam posisinya sebagai “penghulu” kedua perspektif, Hilmi mampu mengambil jalan tengah di antara dua klaim itu dengan kesimpulan besar bahwa slametan bukan animistik sekaligus bukan pula murni Islam, melainkan sinkretis.
Bagi Hilmy, sinkretis lebih tepat disematkan pada status slametan. Ia juga memerincikan berbagai model sinkretis dalam slametan. Ada yang nilai sinkretisnya sebatas pada pernak-perniknya saja, ada pula sinkretis hingga pada taraf hakikat teologi. Kesimpulan seperti ini mirip yang dilakukan oleh M.C. Ricklefs dalam menjelaskan sejarah Islam di Jawa abad 18. Ia menyebutkan karakteristik umat Islam pada masa itu adalah “mystic synthesis,” di mana ajaran Islam yang murni bercampur dengan kepercayaan Jawa, seperti Nyai Roro Kidul, Sunan Lawu dan sebagainya. (Ricklefs, 2008: 34). Hal ini mirip dengan model sinkretis slametan yang terjadi di Banyuwangi yang mencampurkan ajaran Islam tentang Adam dan Hawa dengan kepercayaan kepada Dewa Wisnu Hindu. Dengan demikian, gagasan “sinkretis” terhadap tradisi Islam Jawa bukanlah semata-mata perkara yang baru dari Masdar Hilmy, tepatnya ia hanya meneruskan klaim yang dimunculkan oleh M.C. Ricklefs saja.
FILSAFAT ISLAM: Rangga Warsita
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak orang yang mengenal buku-buku atau serat karya Ranggawarsita,
bahkan sebagian ada yang hafal diluar kepala. Namun sangat sedikit yang
mengetahui riwayat pujangga agung kraton Surakarta yang juga termasuk pujangga rakyat.
Memang sangat sedikit buku-buku yang diterbitkan, yang memuat tentang riwayat
beliau secara keseluruhan , begitu juga tentang filsafatnya. Apabila ada yang
memuat biasanya hanya disinggung secara sepintas saja kemudian secara garis
besar.
Makalah yang kami hadirkan akan membahas sedikit tentang biografi,
karya dan pemikiran Ranggawarsita, dan juga pemikiran-pemikirannya, yang
informasinya kami dapat dari beberapa referenssi yang kami temuakan dan kami
sajikan semampu kami dalam memahaminya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Biografi Ranggawarsita
2.
Karya-karya Ranggawarsita
3.
Tasawuf Falsafi Ranggawarsita
4.
Ramalan-Ramalan Ranggawarsita
5.
Pembacaan Kontemporer terhadap Karya Ranggawarsita
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan kami menyajikan makalah ini adalah untuk memperkaya
pengetahuan kita dalam ilmu filsafat, terutama dari filosof yang ada di Jawa.
Selain itu dapat mengetahui tentang keberadaan Ronggo warsito, baik dari segi
keturunan, latar belakang, karya dan ajaran filsafatnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ranggawarsita
Ranggawarsita memiliki nama asli Raden Bagus Burham, ia dilahirkan
pada hari Senin Legi tanggal 10 Dzulqa’dah tahun Be 1728, Wukunya
Sugsang, Dewanya Sri, Wurukung Huwas, musim Jita, jam
12 siang atau kalau menurut penanggalan Belanda 15 Maret 1802 M,[1] di
kampung Yasadipura Yongyakarta.[2]
Ditelusuri dari silsilah ibunya, Raden Bagus Burham merupakan keturunan dari
Demak, dan merupakan keturunan pujangga. Adapun urutannya yaitu: Sultan
Trenggono di Demak berputera R.T. Mangkurat, kemudian berputera R.T.Sujonopuro
atau disebut P.karanggayan yang merupakan abdi dalem pujangga di Pajang yang
sangat terkenal. Kemudian beliau berputera R.T. Wongsoboyo bupati di Kartasuro,
berputera K.A. Wongsotruno kemudian berputera K.A. Noyomenggolo di Palar
berpangkat Demang, kemudian berputera Ng.Suridirjo I, kemudian berputera R.Ng.
Surodirjo II atau Sudirodirjo Gantang,[3] yang kemudian
berputera R.Ngt. Ronggo Warsito II yaitu ibu Raden Bagus Burham.[4]
Adapun apabila dilihat dari urutan ayahnya, beliau merupakan keturunan
dari Pajang yaitu keturunan dari Jaka tingkir. Adapun urutannya yaitu: Sultan
Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di pajang berputera P.A. Arya Prabu Wijaya (P.
Bawono), lalu berputera P. Emas atau Panembahan Raden, kemudian berputera
P.Harya Wiromenggolo di Kojaran, kemudian berputera P.Adipati Wiromenggolo di
Cengkalsewu, kemudian berputera P.H.Danuupoyo dan ini berputera K.R.T.
Padmonagoro bupati pekalongan, beliau berputera R.Ng. Yosodipuro I yang menjadi
pujangga keraton Surakarta, kemudian berputera R.Ng. Ronggo Warsito I atau
R.Ng. Yosodipuro II atau R.T. Sastronagoro saudara seperguruan Kyai Imam
Besari, kemudian berputera M.Ng. Ronggowarsito II ayah Raden Bagus Burham.
Di masa kecilnya Bagus Buham merupakan sosok anak yang cerdas. Ia selalu
disayang dan diperhatikan oleh orang tuanya. Terutama kakeknya R.T Sastronagoro
atau R.Ng Ronggowarsito I. R.T. Sastronagoro menemukan jiwa yang teguh dan
bakat yang besar dibalik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Melihat kenyataan cucunya yang seperti itu R.T Sastronagoro
berinisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren
Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.
Sebelum berangkat nyantri ke Kiyai Kasan Besari, selama 8 tahun Bagus
Burham mendapat pendidikan dari pengasuh pribadinya Kitanujoyo. Dari Kitanujoyo
ini Bagus Burham mendapatkan pendidikan dasar, dan darinya pula ia pertamakali
dikenalkan dengan dunia mistik.
Untuk Bagus Burham, Ki Tanujaya adalah seorang abdi dan sekaligus
seorang guru sejati.[5]
Dia selalu menemani kemanapun Bagus Burham pergi. Ketika Bagus Burham di kirim
Nyantri ke Kiyai Kasan Besari, ia juga ikut bersamanya. Tanggung jawab
selama berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki Tanujaya.
Setelah nyantri
selama dua bulan lebih ternyata Bagus Burham tidak maju-rnaju, dan ia sangat
ketinggalan dengan teman seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Ponorogo
mempunyai tabiat buruk yang berupa kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu
tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan
kemajuannya dalam belajar belum nampak. Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanujaya
sebagai pamong yang selalu menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu.
Akhirnya Bagus Burham dan Ki Tanujaya dengan diam-diam menghilang dari Pondok
Gebang Tinatar menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali
saudara sepupu Ki Tanujaya. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke
Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas
petunjuk Ki Ngasan Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup
menunggu kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang
adipati akan melewati Madiun dalam ragka kunjungannya ke Surakarta.
Sementara itu,
Kyai Kasan Besari menyuruh abdinya bernama Ki Kramelaya dan Ki Jasanagara
mencari Bagus Burham dan Ki Tanu Jaya untuk diajak ke Gebang Tinatar, Tegalsari
Ponorogo. Dalam masa perguruannya yang kedua ini Bagus Burham tidak berkurang
kenakalannya. Maka, dia dimarahi oleh Kiyai Kasan Besari habis-habisan. Kemarahan
Sang Kiyai ini mencekam di lubuk sanubari Bagus Burham.[6] Selanjutnya dengan nasihat halus Ki Tanujaya,
Bagus Burham pean-pelan insaf dan berkeinginan untuk melakukan perenungan hidup
dengan bertapa, dan berpuasa selama 40 hari.
Setelah
menjalani tirakat-nya, Bagus Burham menjadi 180 derajat berubah total.
Kepandaian Bagus Burhampun mulai tampak bahkan sangat menonjol dan melebihi
siswa-siswa yang lain. Ia dengan cepat fasih membaca kitab-kitab kuning pedoman
pondok seperti Ihya’ Ulumuddin dan lainnya. Setelah beberapa tahun dan
dianggap menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu yang lain, Bagus Burham pulang
ke Surakarta.[7]
Perjalanan
Bagus Burham dalam menuntut ilmu tidak berhenti samapai di Tegalsari Ponorogo. Setelah
mendapatkan jabatan di keraton dan juga menikah dengan R.A Gombak, Bagus Burham,
melanjutkan pengembaraan ilmunya keberbagai tempat dan guru. Diantara Guru yang
ditemui adalah Kiyai Tunggul Wulung di Desa ngadiluwih Surbaya, Ki Ajar
Wirakantha dari Banyuwangi, dan Ki Ajar Sidalaku di puncak gunung Tabanan Bali.
Dari Ki Ajar Sidalaku ini Bagus Burham diwejang ilmu “Pengawasan”, Rahasia
mengetahui berbagai hal yang belum terjadi, dan juga diberi berbagai buku kuno
seperti: Serat Rama Dewa, Bimasuci, Baratayudha, Dharmasarana, Satra Budha dan
lain-lainnya.[8]
Dalam karirnya
Bagus Burham selalu mengabdikan diriya pada keraton Surakarta, pada awalnya ia
diangkat oleh Paku Buana IV menjadi Carik Kadipaten Anom. Selanjutnya pada
tahun 1822 M, dianaikkan pangkatnya menjadi Mantri Carik Kadipaten Anom (terus
dadi panditaning Ratu) oleh Paku Buana V, pada tahun 1826 oleh paku Buna VI
diangkat menjadi Panewu Sedasa Kadipaten (Dadi Tinata Panditaning Ratu), dan
yang terahir sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom (Pujangga Kerajaan)
menggantikan ayahnya yang diculik Belanda ke Jakarta. Sejak itu Bagus Burhan
bernama R.Ng. Ranggawarsita III.[9]
Semenjak menggantikan
ayahnya tersebut, Ranggawarsita makin dikenal sebagai pujangga yang ahli
sastra. Banyak bangsawan yang berguru kepadanya seperti B.R.M. Haryo Hondokusumo,
B.R.M Panji Ismubroto, dan lain-lain. Demikian juga orang-orang asing seperti
C.F Winter, Jnas, Fortier, Dowing, Janson dan lainnya semua berguru pada
Ronggowarsito.[10]
Ranggawarsita wafat pada tahun1873 M, tepatnya pada tanggal 24 Desember,
dalam usia 71 tahun, dan dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten
Klaten. Setelah mengalami penderitaan batin di masa tuanya karena kurangnya
perhatian dari pihak istana11. Delapan hari sebelum meninggal Ronggowarsito
mengarang Sabda Jati yang berisi ramalan kematiannya delapan hari lagi
di akhir bait karya tersebut.
Ada dua pendapat tentang ramalan kematiannya sendiri dalam Sabda
Jati tersebut, pertama, itu karena Ranggawarsita memiliki kemampuan melihat
ke masa depan, dan pendapat kedua mengatakan bahwa Ranggawarsita
mengetahui hari kematiannya sendiri karena ia dihukum mati, pendapat
kedua ini diperkuat dengan asumsi mengenai hubungan buruk yang terjadi
antara Ronggowarsito dengan pihak Istana serta dengan pihak Belanda.
Dengan mengesampingkan dua pendapat tersebut, memang benar Ronggowarsito
wafat delapan hari setelah menulis Sabda Jati.[11]
B.
Karya Ranggawarsita
Raggawarsita sebagai seorang pujangga banyak menghasilkan karya
sastra, selain memang profesinya sebagai pujangga beliau juga memiliki kepandaian
yang lebih. komentar salah satu muridnya yaitu Ki Padmosusastro, tentang
kepujanggan Ranggawarsita. Komentarnya adalah: “Cekakipun guru kulo puniko
paud sanget, kepingin kulo niru iketipun (ukara), nanging setengah pejah”.
Artinya adalah “Pendeknya guru saya itu pandai sekali, saya ingin meniru bagaimana cara menyusun kata, tapi
setengah mati saya tidak berhasil”.[12]
Karena
kepadniannya tersebut, ketika Johanes Portier mendirikan Majalah Jawa
Barmartani dia mengajak Ranggawarsita sebagai redaksi (peneliti naskah).
Bahkan, C.F Winter Pernah menawarinya untuk menjadi guru besar di Blanda namun Ranggawarsita menolaknya.
Beberapa karya Ranggawarsita telah banyak diterbitkan orang.
Sedangkan yang lainnya masih berbentuk manuskrip. Karya-karyanya antara lain:
Ajidarma, Ajidarma-ajinirmala, Ajipamasa, Budayana, Babad iteh, Babon serat
Pustaka raja, Cakrawati, Cemporet, Darmasarana, Dasanamaning Utusan, Hidayat
Jati, Jaka Lodang, Jayengbaya, Jatipsara, Kalitida, Kracik Pawukon Ageng,
Kawi-Javanshe Woordenbooek, Matnyanarparta, Mardalawagu, Pambeganing Nata Binatara,
Panji Jayengtilem, Pamoring Kawulo Gusti, Paramayoga, Partakaraja, Pawarsakan,
Purrusangkara, Purwagnyana, Purwa Wasana, Pakem Pustaka Raja Purwo,
Paramasastra, Patisan Kina ing Kediri, Purwaning Pawukon Ageng, Rerepan Sekar Tengahan,
Sabdajati, Sabda prawana, Sabdatama, Salasilah, Sariwahana, Sidawakya, Sejarah
pari sawuli, Serat Iber-iber, Saloka Akaliyan Paribasan, Saridin, Sidin, Ulam
Kuthuk, Uran-uran Sekar Gambuh Warni Pitu, Waduhaji, Wahanyasampatra, Wirid,
Witaradya, Wedhayatmaka, Wedaraga, Wedyapradana, Wirid Supanalaya, Wedasatya,
Yudayana.[13]
Sedangkan karya orang lain yang disalin (digubah) oleh ki pujangga
adalah, Bratayudha, Jayabaya, Panitisastra yang semua itu merupakan
karya Yosodipuro I. selain karya tersebut masih banyak lagi karya lainnya yang
belum kami ketahui.
C.
Tasawuf Falsafi Ranggawarsita
Tasawuf Falsafi
Raggawarsita secara jelas tertuangkan dalam Wirid Hidayat Jati-nya.
Wirid Hidayat Jati sering disebut-sebut sebagai bentuk kepustakaan Islam
kejawen,[14]
sebuah tradisi pembaharuan antara Islam dengan tradisi jawa. Wirid Hidayt
jati itu sendiri adalah warisan pemikiran Islam kejawen abad ke-19.
Muhammad Rasyidi melihat bahwa masyarakat Jawa sejak dulu masih tetap meyakini
Islam sebagai Agama, sebagaimana raja- raja mereka sebelumnya. Masalahnya,
pengaruh kepercayaan lama tetap melekat dalam pemikiran mereka seperti halnya
masyarakat-masyarakat lain. Sesudah kerajaan-kerajaan Islam berdiri di atas
reruntuhan Hinduisme dan Budhisme, interaksi antara sumber-sumber Islam dan
kepercayaan lokal mutlak terjadi.
Wirid
Hidayat Jati Sebagai bentuk
ajaran union-mistik (faham mistik yang mengajarkan kesatuan antara
manusia dan Tuhan), uraian tentang Tuhan tak dapat dipisahkan dari uraian
tentang manusia. Uraian tentang Tuhan sebagai Zat Mutlak yang tidak dapat
diketahui oleh akal, indra maupun dugaan (Waham), tampak secara tidak
langsung digubah dari konsep Ibnu Arabi yang berfaham Phantheismonis.
Kemungkinan ajaran Ibnu Arabi itu disadap melalui Insan Kamil-nya Abdul
Karim Al-Jalili karena kitab ini sering disebut dalam Hidayat Jati. Atau
mungkin juga digubah dari ajaran Martabat Tujuh, baik melalui
kepustakaan mistik melayu (karya Syamsuddin As-Sumatrani) atau langsung dari
ubahan Tuhfat.
Dalam
Tuhfat gubahan Jawa, Tuhan sebagai zat mutlak. Dalam ajaran Martabat
Tujuh-nya syekh ibn Fadullah Al-Burhanpuri, zat Tuhan dalam keadaan mutlak
tidak dapat diketahui dan dibayangkan oleh siapapun, baik oleh para nabi, wali, atau malaikat
sekalipun. Itulah martabat sepi dari sifat, asma, dan af’al
hingga tak dikenal oleh siapapun. Kaitan antara ajaran martabat tujuh yang
bersumber dari Tuhfat sangat jelas. Bahkan, inti ajaran Wirid Hidayat
Jati boleh dikatakan merupakan perpaduan antara ajaran Martabat Tujuh
dari mistik Islam dan penghayatan gaib dari ajaran Dewaruci. Oleh karena
itu, inti ajaran maupun konsep ajaran Martabat Tujuh cukup mewarnai alam
pikiran mistik Ronggo Warsito dalam Wirid Hidayat Jati. Ajaran tentang
penciptaan manusia beserta alam manusia, dalam Wirid Hidayat jati-pun digubah
dari konsep Tajalli Tuhan sebanyak tujuh martabat dari Tuhfat. Konsep
tajalli bersumber dari falsafah monis Ibnu Arabi.
Konsep
Martabat Tujuh yang digubah oleh Ronggo Warsito agak unik karena
memiliki ciri khas tersendiri sebagai hasil dari sinkretis dengan
kebudayaan setempat. Konsep Martabat Tujuh dalam serat yang bernama Wirid
Hidayat Jati ini berisi pandangan hidupnya tentang Tuhan, manusia dan alam
semesta; tiga aspek utama yang terdapat dalam berbagai bentuk kepercayaan.[15]
Sejara
jelas Martabat tujuh yang diubah oleh Ronggowarsito terdapat dalam dua
wejangannya :[16]
a.
Wejangan Pertama: “Disebut pelajaran akan sifat-sifat Allah.
Sebagaimana firman Allah kepada Nabi Muhammad SAW yang bermakna kurang lebih
begini: Sesungguhnya tidak ada apa-apa tatkala sebelum masa penciptaan, yang
ada (paling awal) itu hanya Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku yang Hidup dan
Maha Suci baik asma maupun sifatKu (dzat, sifat, asma, af’al).Yang dimaksud
begini: Yang digambarkan tiada tuhan kecuali aku, hakekat hidup yang suci,
sesungguhnya hidup kita ini adalah melambangkan citra Allah, sedang nama dan
perbuatan kita itu semua berasal dari kemahakuasaan Allah, yang menyatu ibarat matahari dan sinarnya, madu
dengan manisnya, sungguh tiada terpisahkan.
b.
Wejangan yang kedua adalah : (tetang Martabat Tujuh) Pengertian
adanya Allah. Wejangan ini mengajarkan bahwa elemen hidup kita ini berada pada
tujuh keadaan, sebagaimana firman Allah kepada Muhammad SAW yang maknanya
begini: Sesungguhnya Aku adalah Allah, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu
dengan kun fa yakun dari qodrat dan iradatKu, yang
demikian ini menjadi pertanda bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Adapun tujuh keadaan tersebut adalah:
1)
Yang pertama, Aku ada dalam ketiadaan yang tanpa awal serta tanpa
akhir, (Hayyu) itulah alamKu yang Maha Gaib.
2)
Kedua, Aku mengadakan cahaya (Nur Muhammad) sebagai manifestasiKu,
berada dalam kehendakKu.
3)
Ketiga, Aku menciptakan bayang-bayang sebagai pertanda citraKu (sir),
yang berada pada alam kejadian/penciptaan (mula-jadi).
4)
Keempat, Aku mengadakan ruh (Ruh idhofi) sebagai pertanda
hidupku, yang berada pada darah.
5)
Kelima, Aku mengadakan angan-angan (Nafsu) yang juga menjadi
sifatKu, yang berada pada alam yang baru boleh diumpamakan saja
6)
Keenam, Aku mengadakan budi (akal), yang merupakan kenyataan
penjabaran angan- angan yang berada pada alam ruhani.
7)
Ketujuh, aku menggelar warana sebagai sentral/wadah atas semua ciptaanku
(jasad).
Uraian
martabat Tujuh tersebut menggambarkan dzat Tuhan sebagai satu titik pusat, yang
diingkari oleh tujuh lapis lingkaran. Lingkaran terdalam adalah hayu,
yang kedua adalah nur, yang ketiga rasa, keempat roh,
kelima adalah nafsu, ketujuh atau paling luar adalah jasad.[17]
D.
Ramalan Ranggawarsita
Mark R.
Woodward dalam hasil wawancaranya, mendapatkan kesimpulan yang isinya bahwa Masyarakat
jawa kontemporen masih terpengaruh erat dengan hal mistik. Jika ada dua pilihan
informasi yang didapat dari tulisan dengan informasi yang didapat dari semedi,
maka yang dianggap lebih valid adalah informasi yang diperoleh dari semedi,
karena hasil semedi merupakan informasi yang didapatkan langsung dari Tuhan.
Sedangkan informasi tertulis yang merupakan buatan manusia masih dicurigai
kevalidannya, karena manusia bisa saja berbohong.
Woodward, juga
mengatakan, teori pengetahuan seperti ini (hasi semedi) menjadi basis
intelektual bagi teori-teori Jawa mengenai ramalan. Ramalan adalah sejarah masa
depan. Ramalan memainkan peran penting dalam histrogrfi, literatur utama, dan
tradisi keagamaan Jawa.[18]
Kepercayaan
masyarakat kepada ramalan tersebut sudah ada sejak zaman Jawa kuno, bahkan
sebelum Ranggawarsita sudah ada peramal besar yaitu Prabu Aji Jayabaya.
Ronggowarsita dalam mendalami ilmunya banyak membaca dari karya-karya
sebelumnya termasuk mempelajari ramalan (Jangka) Jayabaya. Disamping itu Ranggawarsita juga pernah
belajar kepada Ki Ajar Sidaluku tentang ilmu “pengawasan”, yaitu ilmu untuk
mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Sehingga sejarah mencatat selain beliau
mahir dalam sastra jawa juga mampu memprediksi tentang apa yang akan terjadi
dizaman akan datang. Adapun diantara ramalan-ramalan Ranggawarsita adalah:
1.
Ramalan tentang kemerdekaan Indonesia dituliskan dalam Serat
Joko lodang yang berbentuk megatruh bait kedua berbunyi,
“Sangkalane
maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning
madya akir
Wiku Sapta
ngesthi
Ratu Adil
parimarmeng dasih
Ing kono
kersaning Manon”. [19]
Artinya: Jaman
masih sama pada akhir pertengahan jaman. Tahun Jawa 1877 (wiku=7, Sapta=7,
Ngesti=8, Ratu=1). Bertepatan dengan tahun Masehi 1945. Akan ada keadilan
antara sesame manusia. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan.
2.
Tentang adanya tujuh Satrio
Paningit yang akan muncul sebagai tokoh yang mampu memerintah atau memimpin
wilayah bekas kerajaan Majapait, atau Negara Indonesia. Ketujuh ramalan itu
antara lain adalah :[20]
a.
Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, maksudnya pemimpin yang kelak akan berhasil membebaskan bangsa
ini dari keterbelengguan adalah tokoh yang akrab dengan penjara (kinunjoro).
Tokoh itu akan menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo
kuncoro). Para ahli kemudian menafsirkan bahwa tokoh yang disebut
Ronggowarsito adalah Presiden Soekarno.
b.
Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Tipologi pemimpin selanjutnya yang diramalkan Ranggawarsita adalah
seorang tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti), berwibawa dan
ditakuti (wibowo), meskipun demikian tokoh tersebut akan mengalami suatu
keadaan dimana ia akan selalu dipersalahkan, serba buruk, dan jug selalu
dikaitkan dengan segala keburukan dan kesalahan (kesandung kesampar).
Beberapa ahli menafsirkan kalau yang dimaksud kurng lebih adalah Presiden
Soeharto.
c.
Satrio Jinumput Sumela Atur, Tokoh yang diramalkan ini adalah tokoh yang diangkat atau dipungut
(jinumput), akan tetapi hanya ada dalam masa jeda atau masa transisi
untuk sekedar menyelingi keadaan saja (Sumela atur). Para ahli
mengatakan ramalan ini dengan Naiknya BJ. Habibie sebagai presiden,
menggantikan Soeharto yang dilengserkan. BJ. Habibie.
d.
Satrio Lelono Tapa Ngrame, Pemimpin selanjutnya adalah sosok tokoh yang suka mengembara dan
berkeliling dunia (lelono). Akan tetapi, dia juga seorang yang mempunyai
tingkt kejiwaan relijius yang cukup atau seorang ruhaniawan (tapa ngrame).
Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid.
e.
Satrio piningit Hamong
Tuwoh, Ramalan ini dinisbatkan keada Megwati. Menurut Ronggowarsito, tokoh
pemimpin yang akan muncul sesudah fase keempat adalah tokoh yang membawa
charisma keturunan dari moyangnya (Hamung tuwuh). Megawati sebagai
putrid Soekarno sangat tepat untuk menggambarkan ramalan ini.
f.
Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Tokoh pemimpin yang satu ini disebut tokoh yang berpindah tempat (boyong)
dan diyakini akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju
tercapainya zaman keemasan (Pambukaning gapuro). Banyak pihak yang
meyakini kalau tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang
menjadi presiden selama dua periode.
g.
Sartio Panandito Sinisihan Wahyu, Tokoh pemimpin ini diramalkan amat sangat religious sampai-sampai
digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Panandito). Dalam segala tindakannya,
ia berdasarkan hukum Allah Swt. (Sinisihan Wahyu). Fase ketujuh inilah
yang seringkali memunculkan polemic di banyak kalangan.
3.
Ramalan tentang “Zaman Edan”. Kebanyakan masyarakat Jawa meyakini
kalau karya Kala Tida Ronggowarsito yang didalamnya menjelaskan tentang Zaman
Edan merupakan ramalannya untuk zaman akan datang. Bunyi ramalan itu
adalah:
“Amenangi jaman edan, ewuh eya ing
pambudi, Milu edan ora tahan, yen tan melu nglakoni, Boya kaduman melik,
kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, Begja-begjane wongkang lali luwih
begja kang eling lanwaspada.”
Artinya: Hidup di dalam jaman edan, memang
repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya zaman
tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Namun sudah
menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia
namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.[21]
Akan tetapi
menurut Anjar Ani, Kala Tida bukan ramalan akan tetapi suatu kritik atau
sindiran tehadap raja PB IX.[22] Karena
pada waktu itu terjadi permasalahan antara Ranggawarsita dengan PB IX.
4.
Ramalan tentang kematiannya sendiri. Ramalan ini tertuiskan dalam Serat
Sabda Jati. Dalam ramalannya itu Raggawarsita mengatakan dalam bahasa Jawa
yang artinya, “Penglihatan Ki Pujangga dalam meninjau (Meramal) masa-masa
mendatang belum tuntas, panjangnya bagaikan benang yang ditarik. Namun karena
umur sudah mendekati ajal kembali keasal mulanya. Hanya kurang delapan hari
lagi datangnya kematian yang smpurna lokil mahpul sudah tampak (sudah
tampak di lauhil mahfudz) yaitu diwaktu hari Rebo Pon. Tanggal 5 di saat
luhur, bulan Sela tahun Jimakir, Wuku Tolu, nama waktu yang lain Janggur.
Windunya Sengsara disebut windu kematian berkumpul jadi satu”.[23]
Selain
Ramalan-ramalan diatas masih banyak ramalan-ramalan lain seperti ramalan yang
dilakukan untuk ujian kepujanggaan. Ramalan tentag kematian anaknya, istrinya
dan ibunya, dan yang lainnya.
E.
Pembacaan Kontemporer Terhadap Karya Ranggawarsita
Beberapa pembaca karya Ranggawarsita akhir-akhir ini berusaha
meneliti terhadap karya-karya besar Ranggawarsita. Dua pembaca yang akan
dibahas disini adalah Dian Widianarco dan Rudianto. Kedua pembaca ini berusaha
mengomparasikan karya-karya Ranggawarsita dengan konteks keilmuan Kontemporer.
1.
Pembacaan Dian Widianarco
Dian
Widianarco dengan tulisannya berusaha membuktikan adanya unsur filsafat sejarah
pada karya-karya Ronggowarsito khususnya pada serat Paramayoga.
Serat paramayoga adalah
buku yang diterbitkan oleh Kolf Bunning, di Yogyakarta pada tahun 1885. Buku
ini merupakan karya Ranggawarsita dalam bentuk prosa. Termasuk nonfiksi dan
fiksi, berupa cerita sejarah dan biografi, isinya menceritakan tentang
asal-usul tanah Jawa beserta surya. [24]
Dalam Paramayoga terlihat adanya sinkretisme antara
ajaranHindu-Budha, Islam, dan kepercayaan Jawa, yang dikemas sedemikian rupa
oleh Ronggowarsito sehingga menjadi sebuah naskah kesejarahan yang
memberikan informasi mengenai asal-usul manusia Jawa. Mengenai
sinkretisme tersebut Otto Sukatno Cr. mengatakan sebagai berikut:[25]
“Hemat saya, buku Paramayoga mencerminkan sebuah model dari
adanya bentuk sinkretisme yang paling pas dan harmonis antara ajaran teologi
Islam, Hindu Budha, dan Jawa. Karena sebagaimana yang diperkirakan oleh prof.
Dr. Ng. Poerbatjaraka, Sang Hyang At-Hama untuk sebutan Nabi Adam, sangat dekat
atau diperkirakan sebagai usaha pendekatan penulisannya terhadap konsepsi Atman
dalam teologi Hindu, yang merupakan intisari eksistensi kemanusiaan, yang
membedakannya dengan Brahman (Ketuhanan)”.
Di sinilah peranan Ranggawarsita sebagai filsuf sejarah nampak
dengan jelas. Ia merumuskan sejarah berdasarkan apa yang ada di dalam alam
pikirannya, yang memang terbangun oleh sinkretisme tersebut. Langkah
Ranggawarsita dalam menyusun sejarah ini sejalan dengan pendapat
R.G.Collingwood, bahwa kita bisa menghadirkan kembali sejarah atau masa lalu di
alam pikiran atau batin kita (re-enactment of the past).
Ranggawarsita mempersepsikan asal-usul manusia Jawa berdasarkan
otoritas pengetahuan yang saat itu sedang berlaku yang penuh dengan sinkretisme.
Lalu Ranggawarsita menyusun kembali persepsinya tentang masa lalu tersebut ke
dalam Serat Paramayoga berdasarkan memorinya, maka jadilah Paramayoga
yang merupakan upaya re-enactment of the past yang dilakukan
Ranggawarsita. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan, Collingwood bahwa pemikiran sejarah tidak diragukan lagi
sejalan atau sama dengan persepsi.
Ranggawarsita sendiri dalam pembukaan Paramayoga menjelaskan
bahwa Paramayoga dirujuk dari beberapa sumber sejarah atau kitab-kitab
yang sudah ada sebelumnya. Penjelasan Ranggawarsita tentang itu sebagai
berikut:
“Adapun rujukan cerita dalam naskah ini diambil dari kisah yang
dimuat dalam Serat Jitapsara karya Begawan Palasara di tanah
Hastinapura—yang dinukil dari isi serat Pustaka Darya di mana induknya
berada di tanah Hindustan (India). Kisah ini kemudian dipertemukan dengan isi
kitab Miladuniren yang induknya berada di Najran (Turki?) serta kitab Salsilatulquyub
yang induknya berada di Selan (Srilangka) dan kitab Musarar serta
kitab Jus al-Gubet yang induknya berada di Rum (Romawi). Tetapi isi
kitab-kitab tersebut hanya dinukil sepanjang ada hubungannya dengan Serat
Paramayoga semata. Selain itu, dinukil juga berbagai hikayat dan riwayat
yang sudah tersebar di masyarakat luas. kemudian diturunkan dengan hitungan
tahun Matahari dan tahun Bulan”.[26]
Penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa Ranggawarsita berusaha
membuat karya sejarah dengan merekonstruksi dan mengkomparasikan karya karya
atau literatur sejarah yang telah ada. Ia juga sengaja mengumpulkan literatur
sejarah dari seluruh belahan dunia untuk memperkuat karyanya tersebut, atau itu
dilakukannya agar konsep sejarahnya bersifat universal. Dari itu semua sudahlah
jelas unsure-unsur Filsafat sejarah memang terdapat pada Serat Paramayoga.
Dalam berbicara mengenai sejarah,
Ronggowarsito juga membagi periode zaman atau kala menjadi beberapa
bagian berdasarkan sifat-sifatnya, misalnya kalabendhu, kalasuba,
juga kalatidha. Kalatidha juga menjadi nama salah satu karya
besarnya yang terkenal karena konsep atau ramalannya tentang datangnya Zaman
Edan, yang terletak pada bait ke-7 buku tersebut.
Periodisasi menurut Huizinga juga harus luwes, jangan kaku atau
dogmatis30. Demikian pula yang dilakukan oleh Ronggowarsito, ia juga membuat
periodisasi dengan menggunakan istilah istilahnya sendiri seperti Kalatidha atau
Zaman Cacat, Kalasuba atau Zaman Indah/baik, Kalabendhu atau
Zaman Kemarahan, Zaman Edan, dan lain sebagainnya, yang ia golongkan
berdasarkan keadaan atau suasana zaman tersebut.
Seperti yang telah disinggung di muka, semua karya Ranggawarsita
tersebut memang sangat kental unsur filsafat sejarahnya termasuk periodisasi
yang dilakukan Ronggowarsito dengan zaman-zaman atau kala-kala-nya
tersebut.[27]
2.
Pembacaan Rudianto
Rudianto dalam
skripsinya berusaha meneliti salah satu karya Ranggawarsita yaitu Serat
Cemporet. Ia menjadikan Serat Cemporet sebagai objek penelitian,
karena dalam karya sastra tersebut, banyak mengandung nilai-nilai pendidikan
yang masih relevan dengan kehidupan masyarakat sekarang. Dengan kata lain,
nilai- nilai pendidikan yang di dalamnya merupakan nasehat dan anjuran yang
dapat diambil dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Khususnya bagi para
generasi muda yang sedang mengalami masa peralihan ke arah kedewasaan.
Serat cemporet
ini berupa buku, diterbitkan oleh Albert Rusche, di Surakarta pada tahun 1896.
Buku ini merupakan karya Ronggowarsito berbentuk puisi. Jenis termasuk fiksi,
berupa pendidikan moral, isinya menceritakan Raden Mas Jaka Pramono, seorang
putra Pagelan, menikah dengan dengan Rara Kemenyar, eorng anak angkat Kibuyut
Kemenyar.[28]
Rudianto
menyebutkan ada empat nilai pendidikan dalam Serat Cemporet:
a.
Nilai pendidikan agama meliputi:
1)
Percaya akan takdir. Hal ini terlihat pada bait-bait yang berarti:
a)
“Diri
saya boleh diibaratkan seperti batu yang terbenam ke dalam air, mustahil
rasanya akan dapat timbul kembali. Sudah merugi ternyata tak ada manfaatnya,
malahan semakin terlanjur-lanjur susah.” Menco menanggapinya dengan suara
lembut, “Jika sudah menjadi kehendak dewata, (pupuh IX, bait 39)
b)
Pasti
tidak dapat disingkiri. Tinggi-rendah dapat saja terlaksana, dan sudah banyak
contohnya, para raja di jaman kuno, banyak yang mengambil keturunan orang
kebanyakan, yang akhirnya menjadi tinggi juga, karena keberuntungan itu
jatuhnya tidak memiliki tempat. (pupuh IX, bait 40)
c)
Siapa yang dapat menentukan datangnya keberuntungan, mala-petaka
dan datangnya maut, serta datangnya sakit. Semua itu merupakan gaibnya Yang
Maha Kuasa. Manusia hanya berlindung dan berserah kepada kehendak Tuhan.”
(pupuh IX, bait 41)[29]
2)
Memanjatkan rasa sukur, terlihat pada bait-bait yang berrti:
a)
Dengan
tersenyum manis jamang turut berbicara, katanya, “Ayah, dengan demikian
sekarang anda kedatangan dan menerima keluarga bertumpuk-tumpuk, yang harus
anda gendong.” (pupuh XIII bait 44)
b)
Ki Buyut
menjawab lembut, “Tak lain aku hanya menerima, Anakku. Dan turut serta menjaga
Gusti atas kehendak Dewa Agung, karena adanya lakon yang ajaib.” (pupuh XIII
bait 45)
c)
Jamang berkata lagi, “Jika demikian beribu-ribu Syukur, karena dewa
bersifat pemurah dan pengasih. Terimalah dengan sabar dan tawakal bayangan
keselamatan ini. (pupuh XIII bait 46)
3)
Sikap pasrah. Terlihat dari bait-bait yang berarti:
a)
Sehingga
tak ubahnya dengan manusia. “Jamang menyambung, ujarnya, “Cunduk, engkau
sungguh beruntung, mendapat amanat dari Gusti. (pupuh XII, bait 5)
b)
Resapkanlah sampai ke hati dengan baik, jangan was-was. Kematian
suamimu itu terimalah dengan sabar dan tabah.”(pupuh XII, bait 6)[30]
b.
Nilai pendidikan etika meliputi:
1)
Tutur kata. Terlihat pada bait-bait yang berarti:
a)
Setibanya
di desa Cengkarsari, Kyai Buyut suami istri benar-benar tak segan-segan lagi
menganggap banteng dan burung sebagai anak-anaknya. Jika bercakap-cakap. (pupuh
V bait 1)
b)
Kyai Buyut menggunakan bahasa ngoko, sedangkan banteng dan burung
menggunakan bahasa krama. Mereka masih terus berbuat kebaikan dan membantu
bekerja. Ki buyut masih tetap menjual barang-barang yang ditemukan (pupuh V
bait 2)
2)
Sopan-santun atau tatakrama.
Terlihat pada bait-bait yang berarti:
a)
Anda
termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini,
didekati juga jinak serta tahu tata karma dan sopan santun. Baru kali inilah
saya bertemu.” (pupuh IV, bait 48)
b)
Banteng menyahut, “Kyai, kuminta anda memaklumi. Karena saya ini
binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku lakukan hanya
mendekam saja. Itu pun sudah ku anggap baik.” (pupuh IV, bait 49).[31]
c.
Nilai pendidikan social meliputi:
1)
Tolong menolong, terlihat pada bait –bait yang berarti:
a)
Dalam keadaan seperti itu, bantenglah yang menolong mambawakan
sampai kemanapun juga. Demikianlah selalu pekerjaannya, sehingga banyak
sahabatnya. Tak terhitung banyaknya para saudagar, (pupuh XIII, bait 17)
b)
Dan barang siapa sudah kenal baik, benar-benar merasa berhutang
budi, lalu ingin memberi hadiah ala kadarnya, akan tetapi bingung tentang
caranya yang sekiranya sesuai. ((pupuh XIII, bait 18)
2)
Kasih saying terlihat pada
bait-bait yang berarti:
a)
“Hai
banteng. Apa sebabnya, kata-katamu belum selesai tiba-tiba air matamu
bercucuran. Siapakah sebenarnya engkau ini? Engkau binatang hutan, akan tetapi
dapat bercakap-cakap seperti manusia. (pupuh XXIII bait 15)
b)
Banteng menjawab dengan suara perlahan, “Dulu saya mempunyai
saudara, yang rupanya seperti itu. Mengapa saya teringat kepadanya, karena
sekarang ini ada berita bahwasanya mereka pergi dengan diam-diam di waktu
malam, hilang tak tentu rimbanya.” (pupuh XXIII bait 16)
3)
Kesetiaan, terlihat pada bait yang berarti:
“Setelah hari pagi datang kembali,
si menco segera diperintahkan supaya kembali ke Cengkarsasari, membawa sebuah
sarana rahasia, yang akan dipakai sebagai sarana pembuktian. Sebuah wasiat
pemberian ibunya berbentuk cincin dengan permata yang bercahaya-cahaya, bernama
cincin Manik Adiwarna, itulah yang dijadikan sarana.” (pupuh VIII bait 66)
4)
Kesetiakawanan, terlihat pada bait yang berarti:
“Banteng yang mendengar ujar
orang-orang yang ditolongnya lalu menjawab dengan bahasa manusia, bahwa balas
jasa itu sebenarnya tidak ada manfaatnya. Yang penting ialah, agar tetap ingat,
dan tak lupa mengakui sebagai teman baik lahir maupun batin”. (pupuh XIII bait
19).[32]
d.
Nilai pendidikan moral meliputi:
1)
Sikap sabar, terlihat pada bait-bait yang berarti:
a)
Sehingga
tak ubahnya dengan manusia. “Jamang menyambung, ujarnya, “Cunduk, engkau
sungguh beruntung, mendapat amanat dari gusti. (pupuh XII bait 5)
b)
Resapkanlah sampai ke hati dengan baik, jangan was-was. Kematian
suamimu itu terimalah dengan sabar dan tabah.”(pupuh XII, bait 6)
2)
Menepati janji, terlihat ada bait-bait uyang berarti:
“Si burung menjawab dengan suara
lembut, ujarnya, “Memang benar, sebagai burung menco saya biasa mengoceh. Akan
tetapi tak mempunyai watak pembohong dalam segala ucapannya. Takut ingkar
janji. Saya datang agak terlambat, karena lama minta penjelasan akan segala
pesan.” (pupuh IX bait 7)
3)
Rela berkorban, terlihat pada bait-bait yang berarti:
a)
Maksudnya
hendak menangkap panah itu. Akan tetapi karena tangkapannya meleset, yang kena malahan
badannya sendiri. Akibatnya kedua burung menco itu terkena senjata, langsung
jatuh, dan mati, bangkainya hilang. (pupuh XIX bait 40)
b)
Menco cunduk tetap mati, karena sudah manunggal lagi dengan sumping
di alam baka. Sedangkan tubuh menco jamang kembali menjadi manusia seperti
keadaannya di masa lampau, ialah rajaputra Prambanan. (pupuh XIX bait 41)
4)
Rendah hati, terlihat pada bait-bait yang berarti:
a)
Si
burung menjawab lembut, ujarnya, “Benar, sayalah yang tadi berkidung, namun
sesungguhnya belun mahir atau ahli dalam hal kakawin, dan hanya sekedar
merangkai kata, itupun masih kaku. Dalam mempertautkan kata-kata yang baik,
sering kali masih kurang tepat. (pupuh VI bait 23)
b)
Meskipun demikian memberanikan diri dengan pengetahuan yang
sedikit. Lumayan untuk bekal mempelajari kata-kata kawi, dan untuk
mengembangkan kemampuan bernyanyi, agar supaya tidak bodoh. (pupuh VI bait 24)
5)
Tidak mudah putus asa, terlihat pada bait-bait yang berarti:
a)
Bayi itu
dipungut oleh randa dadapan, diberi nama Rara Nawangsih. Tersebutlah raden Jaya
Sandika yang masih tetap mencari Rara Jonggrang, terlunta-lunta tak karuan.
Menurut cerita kuno, ia terkena oleh kutukan Raden Bandung, (pupuh XVII bait
38)
b)
Sehingga menjadi anjing, namun masih tetap mencari tunangannya,
karena tidak tahu bahwa yang dicarinya sudah tidak ada. Ia berusaha sangat
keras supaya berhasil, sekaligus mohon kepada dewata, agar terbebas dari
ujudnya yang salah. (pupuh XVII bait 39).[33]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Ranggawarsita III merupakan pujangga besar yang berasal dari
Surakarta. Pada awalnya ia adalah seorang yang Bengal akan tetapi setelah
mendapatkan nasihat dari Kiyai Kasan Besari dan pengasuhnya Ki Tanujoyo, ia
insaf dan menjadi santri yang taat, giat belajar dan pekerja keras sehingga
dalam karirnya ia berhasil menjadi seorang pujangga kerajaan yang memiliki
banyak karya. Ranggawarsita III wafat pada tahun Ranggawarsita wafat pada
tahun1873 M, tepatnya pada tanggal 24 Desember, dalam usia 71 tahun, dan
dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten.
2.
Karya Rangga warsita banyak sekali, namun yang sering menjadi
rujukan bagi penganut Islam kejawen adalah: Serat Pustaka Raja, Wirid
Hidayat Jati, Serat Aji Dharma, Serat Cemporet, Serat Joko Lodhang, Serat
Jayeng Baya, Serat Kalatida, dan Serat Paramayoga,
3.
Pemikiran Ranggawarsita, besar pengaruhnya bagi masyarakat Jawa,
Baik dari ajaran mistiknya, etikanya, dan ramalan-ramalannya. Hingga beberapa
pembaca Karyanya mengatakan bahwa beliau
merupakan filosof sejarah dan juga Pendidikan.
B.
Saran
Dengan adanya
makalah ini kami berharap pada pembaca:
1.
Berkenan membaca makalah ini dengan seksama.
2.
Berkenan mengomentari isi dari makalah ini.
3.
Berkenan untuk mengkaji
lebih mendalam tentang pembahasan ini.
4.
Berkenan untuk berdiskusi bersama tentang masalah-masalah yang
muncul.
DAFTAR PUSTAKA
Any,
Anjar. 1989. Raden Ngabehi Ronggowarsito. Semarang: Aneka ilmu
Hariwijaya,
M. 2006. Islam kejawen. Yogyakarta: Gelombang pasang
Solikin, M. 2001. Sejarah dan Pemikiran
Tashawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
Umamah
el-Azizi, Zahrotul. 2011. Rahasia-rahasi Otak Orang Yahudi, Cina, dan Jawa. Jogjakarta:
Flash Books
Woodward,
Mark R. 2008. Islam Jawa. Jogjakarta: Lkis
Website:
Dian
Widiyanarko. Unusur-unsur Filsafat Sejarah dalam Pemikiran R.Ng.
Ronggowarsito. http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&q=filsafaat+sejarah+ronggo+warsito&meta=&btnG=Penelusuran+Google
Indonesia
File. Serat Wirid Hidayat Jati Raden Ngabehi Ronggowarsito. http://indonesiafile.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=307
Basuki Suhadirman. Ramalan Ronggowarsito http://www.mailarchive.com/itb75@itb.ac.id/msg01582.html
20 maret 2011,
Rudianto. Nilai-Nilai
Pendidikan Dalam Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita . http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH36ba.dir/doc.pdf
[1]Anjar
Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito, (Semarang: Aneka ilmu, 1989), h. 74
[2]M.Hariwijaya,
Islam kejawen, (Yogyakarta: Gelombang pasang, 2006), h. 308
[3]Gantang
merupakan julukan kepada R.Ng. Sudirodirjo II yang merupakan seorang ahli
gending di Negara Surakarta yang kondang. Sudirodirjo Gantang ini pada
waktu-waktu tertentu dikerek (dinaikkan seperti burung perkutut) di dalam satu
sangkar besar di sebuah pohon jambu yang terletak di sebelah utara pendapa
Agung. Memang pada waktu itu belum ada pengeras suara, dan R.Ng. Sudirodirjo
ini setelah “dikerek” di atas pohon, kemudian beliau diperintahkan untuk
menyanyikan tembang-tembang Jawa sebagai penghibur sang Prabu. Suaranya
menggema (Gemantang=Gantang) sampai jauh.
[4]Anjar
Any, Raden Ngabehi Ronggo Warsito, h. 14
[5]M.Hariwijaya,
Islam kejawen.., h. 309
[6] M.Hariwijaya, Islam kejawen.., h. 310
[8]Anjar
Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito.., h. 40
[10]Anjar
Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito.., h. 49
[11]Dian Widiyanarko. Unusur-unsur Filsafat
Sejarah dalam Pemikiran R.Ng. Ronggowarsito. http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&q=filsafaat+sejarah+ronggo+warsito&meta=&btnG=Penelusuran+Google, h. 3, diakes pada Tgl. 19 Maret 2011, Jam
22.32
[13]
Anjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito.., h. 117-118.
[14]Kejawen
yang dikenal di Indonesia adalah sebagai golongan kebatinan yang memiliki arah
dan pemikiran yang sangat bervariasi sesuai dengan kecenderungan masing-masing.
Para peneliti berbeda pendapat dalam memberikan definisi terhadap aliran ini,
karena jumlahnya yang banyak dan
perbedaan yang sangat bervariasi menyusul agama-agama di Indonesia: Islam,
Kristen, Hindu, budha, dan kepercayaan-kepercayaan lokal (Animisme dan
dinamisme). Lihat, M. Sholihin, M.Ag., Melacak pemikiran Tasawuf di
Nusantara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), h. 142
[15] M. Solikin. Sejarah dan Pemikiran Tashawuf di Indonesia.(Bandung:
Pustaka Setia, 2001), h. 99
[16]Indonesia
File. Serat Wirid Hidayat Jati Raden Ngabehi Ronggowarsito. http://indonesiafile.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=307
diakses pada tgl 18 Maret 2011 jam 21;31
[17]
M.Hariwijaya, Islam kejawen, (Yogyakarta: Gelombang pasang, 2006), h.
316
[18]Mark
R. Woodward. Islam Jawa. (Jogjakarta: Lkis, 2008), h. 56
[19]Basuki Suhadirman. Ramalan Ronggowarsito http://www.mailarchive.com/itb75@itb.ac.id/msg01582.html
20 maret 2011,
Diakses pada tgl. 20 maret 2011 jam 11;54
[20]
Zahrotul Umamah el-Azizi. Rahasia-rahasi Otak Orang Yahudi, Cina, dan Jawa. (Jogjakarta:
Flash Books, 2011), h. 169
[21]
Serat Kalatida. http://archive.kaskus.us/thread/1097173/0/karya2-ronggowarsito Diakses pada Tgl. 18 maret 2011 jam 21;31
[22]Anjar
Any, Raden Ngabehi Ronggo Warsito.., h. 63
[23]Anjar
Any, Raden Ngabehi Ronggo Warsito.., h. 71
[25]Din Widianarko, Unsur-Unsur Filsafat Sejarah Dalam Pemikiran,
R.Ng. Ronggowarsito. http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&q=filsafaat+sejarah+ronggo+warsito&meta=&btnG=Penelusuran+Google, h. 36, Diakses pada 19 Maret 2011, Jam 22.32
[26]Din
Widianarko, Unsur-Unsur Filsafat Sejarah Dalam Pemikiran, R.Ng.
Ronggowarsito.., h. 37
[28]M.Hariwijaya.
Islam Kejawen… h. 318
[29]Rudianto. Nilai-Nilai
Pendidikan Dalam Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita . h. 16. http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH36ba.dir/doc.pdf
Diakses pada Tgl. 18 Maret 2011, Jam 23;13
[30]Rudianto.
Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita ..,
h. 98
[32]Rudianto.
Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita ..,
h. 108
[33]Rudianto.
Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita ..,
h. 116
Langganan:
Postingan (Atom)