Sabtu, 24 Maret 2012

TOKOH-TOKOH HERMENEUTIKA


A.    Tokoh-tokoh Hermeneutika Klasik[1]
Sebatang pohon besar, berdiri kokoh, dan berdaun rindang dulunya adalah sebutir benih atau tunas kecil dan kemudian tumbuh. Begitulah perumpamaan pertumbuhan Hermeneutika yang dari zaman-kezaman semakin progresif. Zaman hermeneutic kasik adalah zaman dimana pohon hermeneutic masih berbentuk benih belum berdiri kokoh dan masih menantikan para pemikir untuk mengembangkannya. Maka dari itu terminology hermeneutka sekarang tidak bisa mutlak disamakan dengan termenologi hermeneutika klasik.
Sebagaimana filsafat, kemunculan benih-benih hermeneutic klasik juga berkiblat pada tradisi peradaban Yunani kuno. Selain Yunani kuno memiliki tradisi filsafat yang tinggi, alasan lain adalah kata hermeneutic itu sendiri identik dengan kata ermeneutike yang pernah disinggung Plato dan Aristoteles dalam bukunya. 
Untuk menemukan pemikiran hermanautik tokoh klasik Yunani, Jean Grondin merumuskan tiga perspektif yaitu, alegoris, religious dan logis.[2] Adapun tokoh-tokoh Yunani Klasik yang bisa dikaitkan dengan hermeneutika diantaranya adalah:
1.      Hermes (tokoh dalam mitologi Yunani)
Hermes adalah tokoh mitologi yunani kuno yang diyakini sebagai utusan dewa yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa kedalam bahasa manusia manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak Dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Dengan demikian, fungsi Hermes sangat penting sebab bila ia melakukan kesalahan dalam menyampaikan pesan yang dibawanya, akan berakibat sangat fatal bagi seluruh kehidupan manusia. Untuk itu Hermes harus mampu dengan tepat menginterpretasikan pesan Tuhan ke dalam bahasa pendengarnya. Sejak itu Hermes merupakan symbol seorang duta yang dibebani dengan misi khusus. Berhasil tidaknya misi tersebut bergantung pada cara bagaimana Hermes menyampaikan dalam bahasa manusia.[3]
2.      Para Filosof
a.       Sokrates (469-399)
Sokrates sering disebut filosof pertama yang terlahir di Athena. Ia berasal dari keluarga sederhana, ayahnya seorang pemahat patung dan ibunya seorang bidan. Ia juga warga Negara yang sering ikut pertempuran. Dari segi pendidikan ia juga mendapatkan pendidikan yang baik bahkan dengan cepat memberikan pelajaran-pelajaran di mana-mana di kota Athena. Pada tahun 399 Ia dihuku mati karena dianggap mengenakan dewa-dewa baru pada kaum muda.
Dengan perspektif logis Sokrates sebenarnya telah melakukan tindak hermeneutic. Hal ini bisa diketahui dari metode maieutiknya dalam berfilasafat. Metode maieutik[4] adalah metode dimana dalam mencari kebenaran, tidak berfikir sndiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan Tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan kawannya yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa teman dialog itu. Ia tidak mengajarkan melainkan mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa seseorang.[5]
Dengan demikian maksud Sokrates dengan  metode ini adalah agar lawan bicaranya mampu menginterpretasikan asumsi-asumsi yang masih mengendap dalam jiwa nya.  
b.       Plato (427 – 347 SM)
Plato lahir pada tahun 427 dari keluarga bangsawan Athena. Ia adalah murid Sokrates yang setia. Setelah gurunya meninggal, ia masih meneruskan perjuangan gurunya tersebut. Bahkan, dalam mengemukakan pandangannya ia sering menggunakan nama gurunya.[6]
Asumsi pemikiran Plato Tentang hermeneutika sering dikaitkan dengan kata ermeneutike. Kata tersebut terdapat dalam tiga karya plato yaitu pada Definitione, Politicus, dan Epinomis.  Dalam Definitione Plato menggunakan ermeneutka sebagai adjektiva ketika mendefinisikan kata benda. Dari situ terihat bahwa ermeneutike berarti “yang menunjukkan sesuatu” Sedangkan dalam Epinomis dan Politicus menurut Leon Robin sebagaimana yang di kutip Jean Grondin ermeneutike diartikan dengan “interpretasi sabda para dewa(orakel)”.
Dalam cara penyampaian pemikirannya Plato sebenarnya lebih memilih menggunakan dialog daripada tulisan.[7] Hal ini sering dinilai karena kesetiaannya pada gurunya yang dulu sering menggunakan dialog dalam berfilsafat.[8] Akan tetapi abih dari itu, Jean Gordin menjeaskan bahwa ketika Plato membahas wacana tertulis dalam Phaedrus, dia menegaskan bahwa wacana tertulis yang paling baik sekalipun tetap saja berfungsi sebagai “re-memorasi”.  Artinya kata tertulis hanya dapat digunakan untuk membantu kita mengingat kesertamertaan dan kepenuhan makna yang jadi milik wacana lisan yang pada gilirannya menggemakan kembali wacana tulis dalam jiwa.
Pemikiran hermeneutis dari Pato yang khas adalah bahwa tidak ada jaminan tulisan akan bisa dipahami dengan tepat oleh pembaca.[9]
c.       Aristoteles (384 – 322 SM)
Aristoteles lahir pada tahun 384 di Sageria, suatu kota di yunani Utara. Bapaknya bernama Nicomachus, salah seorng dokter pribadi di Amytas II, raja Macedonia. Aristoteles belajar di Akademia Plato di Athena lebih dari 20 tahun.  Lima tahun sesudah kematian Plato, pada tahun 342, ia dipanggil oleh Philippos, raja Macedonia untuk mengajar anaknya, yaitu Alexander. Tidak lama setelah Alexander menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena dan mendirika sekolah yang namanya lykon. Sesudah kematian Alexander Agung, ia harus melarikan diri dari Athena, karena dituduh menyebarkan paham Atheisme. Ia meninggal tahun 322 di Khakes.[10]
Sebagaimana Plato, Aristoteles juga menggunakan kata-kata yang di indikasikan sebagai akar kata hermeneutika. Kata tersebut digunakan pada judul karyanya yaitu Peri Hermenies. Kata tersebut oleh orang latin diartikan dengan De elocutione (Tentang Gaya). Kemudian karena “gaya” adalah cara memaksudkan, mengungkapkan dan menyampaikan sesuatu kepada orang lain, sehingga bahasa itu sendiri merupakan “gaya”sebab bahasa adalah sarana mengungkapkan sesuatu sekaligus sebagai sesuatu yang akan dipahami orang lain.
Orang-orang yunani juga menggunakan kata (ermenia) untuk mendeskripsikan dengan apa yang kita sebut dengan penafsiran.[11]
Menurut Miftahudin Dalam Peri Hermeneias tersebut Aristoteles memandang kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. [12] Aristoteles mengasumsikan bahwa tidak ada yang benar-benar hilang dalam rangkaian transmisi dari jiwa (pengalaman mental) ke pengucapan dan dari pengucapan ke penulisan. Tanda tertulis berfungsi sebagai “tanda (mark)” yang dengan persis mewakii suara dan kesan-kesan jiwa.[13] Inilah yang jelas membedakan pendapat Aristoteles dengan pendapat plato di atas.
d.       Tokoh Stoicisme (300 SM)
Stoisisme adalah semacam madzhab flsafat yang didirikan di Athena oleh Zeno (340-264) dari Kition tahun 300 SM.
Stoicisme (dalam kaitannya dengan kehermeneutkaan) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and outer word).[14]
B.     Tokoh-tokoh Hermeneutika Bibel
Diantara tokoh-tokoh hermeneutika Bibel adalah:
1.      Philo of Alexandria (20 SM-50 M),
seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode alegoris (kiasan). Metode yang juga disebut typology itu intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu diluar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan kedalam pemikiran teologi Kristen.
2.      Origen (sekitar 185-254 M)
Origen telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode alegoris. Origen melakukan sistematisasi terhadap prinsip-prinsip hermeneutika alegoris ini. Meunrutnya, ada tiga kategori makna dalam teks Bible, yaitu literal, moral, dan alegoris. Yang terakhir itulah yang tertinggi tingkatannya. Origen mengembangkan teorinya dari filsafat Paulus dan Yunani, bahwa tubuh manusia terdiri atas “body”, “soul” dan “spirit”. Sebagaimana teks Bible juga mempunyai pengertian “literal”, “moral”, dan “spiritual”.[15]
Sehingga Ia membagi tingkatan pembaca Bibel menjadi tiga:
a. Mereka yang hanya membaca makna luar teks.
b. Mereka yang mampu mencapai ruh Bibel.
c. Mereka yang mampu membaca secara sempurna dengan kekuatan   spiritual.
3.      Johannes Cassianus (360-430 M).
Cassianus menambahkan rumusan tiga makna yang dicetuskan oleh Origen menjadi  empat lapis makna yaitu: literal atau historis, alegoris, moral, dan anagogis (spiritual). Anagogical interpretation juga dikenal sebagai “mystical  interpretation”. Model ini dipengaruhi oleh tradisi mistik Yahudi (Kabbala) yang diantaranya mencoba mencari makna-makna mistis dari angka-angka dan huruf-huruf Hebrew. Contoh dari interpretasi empat tingkat adalah kata ‘jerusalem’. Pada level  literal, Jerusalem adalah nama kota yang ada di bumi. Pada makna alegoris, Jerusalem diartikan sebagai “gereja Kristen”. Menurut makna moral, Jerusalem berarti jiwa (soul). Dan pada level anagogis (escatbological), Jerusalem adalah “kota Tuhan di masa depan”[16]
4.      St.Augustine of Hippo (354-430 M)
St. Augustin of Hippo dalam metode exegesisnya mengambil jalan tengah. Selanjutnya Ia memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu simplistik. Ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis yang telah tersurat dalam teks Bible sendiri.[17]
5.      Thomas Aquinas (1225-1274).
Thomas Aquinas (1225, Aquino, Italia – Fossanova, Italia, 7 Maret 1274), kadangkala juga disebut Thomas dari Aquino (bahasa Italia: Tommaso d’Aquino) adalah seorang filsuf dan ahli teologi ternama dari Italia. Ia terutama menjadi terkenal karena dapat membuat sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen. Sintesisnya ini termuat dalam karya utamanya: Summa Theologiae (1273). Ia disebut sebagai "Ahli teologi utama orang Kristen." Bahkan ia dianggap sebagai orang suci oleh Gereja Katholik dan memiliki gelar santo.
Dalam karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya adalah untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris.
Gabungan filsafat Aristotle dan doktrin-doktrin Kristiani  merupakan sumbangan Thomas yang berharga bagi pemikiran filsafat gereja Katholik. Namun, negatifnya ia diklaim sebagai representasi kitab yang sakral (sacra scriptura) dan bahkan ajaran yang sakral (sacra doctrina). Padahal teks-teks Bible itu dieksploitir untuk menjustifikasi premis-premis teologi mereka yang telah banyak dipengaruhi pemikiran spekulatif filsafat. Itulah sebabnya Werner menganggap hermeneutika dalam pengertian Thomas itu sebagai the emerging humanist interpretation theory. Hal ini tidak lepas dari milieu pendidikan humanism yang mulai berkembang di tengah masyarakat Barat dan yang diterima oleh para pendeta waktu itu.
Pemikiran para teolog Kristen yang diwarnai teori interpretasi humanistis itu, sebenarnya bertentangan dengan realitas spiritual yang dianut gereja. Sebab ketika Thomas Aquinas muncul milieu pemikiran teologi dan filosof Barat tidak lagi menjadikan masalah Tuhan sebagai sentral pembahasan mereka. Jikapun ada pembahasan masalah Tuhan maka ia dibahas dengan pendekatan yang seperti itu. Yang jelas tren interpretasi humanistis ini berlaku hingga akhir abad ke lima belas dan awal abad ke enam belas. Pengaruhnya ini terhadap gerakan reformasi dalam intepretasi Bible cukup kuat.[18]

6.      Martin Luther (1483-1456)
Martin Luther, seorang tokoh reformis pada abad ke-16,[19] menyatakan, bahwa “kata-kata Tuhan harus diartikan secara jelas (simplest meaning) selama masih memungkinkan. Kata-kata Tuhan itu, katanya, harus dipahami sesuai arti tata bahasa dan makna literalnya. Jika metode literal tidak digunakan, menurut Luther, maka akan memberikan kesempatan kepada musuh untuk melakukan penghinaan kepada Bible. Para reformis Kristen ini menekankan model literal dengan tujuan untuk mengalihkan otoritas interpretasi Bible dari Gereja, konsili-konsili, dan Paus, ke teks Bible itu sendiri.[20]
Dengan kata lain, hermeneutika yang diyakini Protestan, khususnya Luther adalah bahwa pemahaman yang benar terhadap kata-kata dalam teks itu sendirilah sebenarnya yang membuat jiwa Kitab itu tumbuh dan bukan diluar dari teks Kitab. Dictumnya sui ipsius interperes (self interpreting) berarti bahwa kehadiran Tuhan dalam setiap kata tergantung kepada pengamalan yang dimanifestasikan melalui pemahaman yang disertai keimanan. Motto kaum Protestan ini dikenal dengan Sola Scriptura, yaitu meyakini bahwa Bible saja telah merupakan petunjuk yang cukup jelas untuk memahami Tuhan.
Meskipun dalam bidang hermeneutika gerakan Kristen Protestan masih berpegang bacaan Bible yang telah dikembangkan oleh teolog pendahulu mereka, namun perubahan sikap terhadap Bible dan otoritas gereja cukup berarti bagi perubahan makna hermeneutika. Sikap ini  secara umum dapat difahami sebagai penolakan mereka terhadap hermeneutika model intepretasi alegoris dan justifikasi terhadap hermeneutika model interpretasi literalis (sensus literalis), seperti yang dilakukan Aquinas.[21]

C.    Tokoh Hermeneutika Modern[22]
Dalam filsafat periode modern ditandai dengan munculnya dua aliran besaryaitu Rasonalisme dan Emirisme (abad 17). Selanjutnya di dalam eriode modern ada istilah Zaman Aufklaerung (enlightment) yaitu zaman dimana muncul pencerahan pada tradsi pemikiran Barat. Tokoh besar filsafat pada zaman ini adalah Imanuel Kant (1724-1804). Pemikiran filsafatnya berusaha mengkompromikan antara Rasionalisme dengan empirisme. Dengan demikian Kant berusaha melakukan kritik terhadap kedua aliran filsafat yang berkembang pada masa itu yaitu, rasionalisme dogmatic dan empirisme dogmatic.
Pemutlakan kebenaran masing-masing kedua aliran filsafat tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri. Karena diantara mereka saling menyerang satu sama lain. dengan adanya kritik dari imanuel kant memunculkan pencerahan dan pemahaman baru terhadap polemic yang terjadi.
Dalam logika transendentalnya kant merumuskan konsep judgement dan kategori. Judgement (penilaian) adalah pernyataan kita tentang suatu objek (fenomena), kita bisa menilai sesuatu tentunya kita memahami objek (fenomena) tersebut. Mengapa kita bisa memahami objek tersebut ? untuk menjawab ini Kant menjawab karena kita sudah memiliki criteria-kriteria universal dan a priori, sehingga objek (fenomena) bisa dipahami. Akan tetapi criteria-kriteria tersebut hanya bisa diterapkan pada apa yang diberikan dalam  ruang dan waktu (bersifat empiris). Sehingga untuk memahami benda itu sendiri secara utuh dan transcendental (noumena) criteria-kriteria tersebut tidak mampu. Dengan demikian jelaslah penolakan Katn pada rasionalisme dogmatic dan empirisme dogmatic.
Kant menawarkan pemahaman yang bersifat plural dan relative. Karena kant berpandangan pengetahuan yang sebenarnya diperoleh hanyalah sekedar sintesis dari kesan-kesn indrawi yang bisa kita tangkap dan yang jumlahnya boleh dibilang yang tak terbatas itu.[23]
Dari pemikiran-pemikiran Kant tersebut secara significant berpengaruh dan menguatkan bangunan hermeneutika modern.

D.    Tokoh-tokoh Hermeneutika Kontemporer
1.      Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834)
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher dilahirkan di Breslau pada tanggal 21 November 1968 dari keluarga yang sangat teaat dalam agama protestan. Pada tahun 1783 ia mengikuti pendidikan menengah di sekolah Moravian di Niesky. Ia adalah murid dari Friedriech Ast (1778-1841).[24]
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher meninggal dunia pada hari rabu tanggal 12 Februari 1934 karena radang paru-paru..[25]
Schleiermacher[26] adalah seorang ahli teologi dan penganut idealisme. Ia berpendapat bahwa semua karya, baik berupa dokumen hukum, kitab suci, atau karya sastra pada hakikatnya sama, yaitu pemahaman merupakan masalah pokok semua bacaan. Semua teks tertulis termanifestasikan melalui bahasa, oleh karena itu bilamana prinsip-prinsip pemahaman melaui bahasa dapat dirumuskan, maka terwujudlah hermeneutika umum.[27]
Hermeneutika sebagai seni memahami diungkapkan olehnya sebagai berikut “semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu dengan yang lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berfikir, dan hermeneutik adalah merupakan bagian dari seni berfikir itu sehingga bersifat filosofis.[28] 
Menurut Schleiermacher, ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berfikir setiap orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap ‘setitik cahaya’ pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya sebaik memahami kejiwaanya. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas suatu bahasa dan psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilanya dalam bidang seni interpretasi. Schleiermacher menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah “memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri”[29]
Ada beberapa taraf memahami, demikian juga dengan interpretasi. Taraf pertama ialah interpretasi dan pemahaman mekanis: pemahaman dan interpretasi dalam kehidupan kita sehari-hari, di jalan-jalan, bahkan di pasar, atau di mana saja orang berkumpul bersama untuk berbincang-bincang tentang topik umum. Taraf kedua ialah taraf ilmiah dilakukan di universitas-universitas, dimana diharapkanadanya taraf pemahaman dan interpretasi yang lebih tinggi. Taraf keduanya ini dasarnya adalah kekayaan pengalaman dan observasi. Taraf ketiga ilalah taraf seni; disini tidak ada aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi. Bila kita mengerti, kita tidak menyadari pada taraf mana pengertian atau pemahan kita. Jika kita membuat interpretasi terhadap ayat-ayat kitab suci, suatu dokumen historis, kita sangat sering mencacaukan penggunaan ketiga taraf interpretasi tersebut diatas.[30]
2.      Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm Dilthey lahir tanggal 19 November 1833 di Bieberich. Ayahnya seorang pendeta protestan. Setelah tamat pendidikan, tahun 1852 ia pergi ke Heidelberg untuk bekajar teologi, karena orang tuanya pendeta, maka ia dikehendaki untuk memperdalam teologi. Dilthey sangat gemar belajar teologi, namun berangsur-angsur kesenangan itu mulai luntur, ia gagal menjadi petugas gereja, dan beralih profesi menjadi wartawan dan penulis artikel. Ia banting setir mendalami ilmu pengetahuan.[31]
Menurut Dilthey[32] tugas hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan-pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat dimulai, maka dituntut adanya suatu latar belakang pengetahuan. Pengetahuan tersebut harus bersifat gramatikal kebahasaan serta bersifat sejarah. Maksudnya agar kita mempunyai alat dalam mempertimbangkan karya yang ada mengenai lingkungan munculnya karya dan bahasa yang dipakai dalam karya tersebut. Dengan pengetahuan tersebut kita mendekati tugas interpretasi. Interpretasi nampaknbya niscaya berupa suatu proses yang melingkar, yaitu setiap bagian dan suatu karya sastra misalnya dapat ditangkap lewat keseluruhannya. Kemudian sebaliknya keseluruhannya dapat ditangkap lewat bagian-bagiannya. Setiap bagian suatu karya sastra dapat mempunyai arti yang tidak terbatas. Setiap kata selain istilah-istilah teknik tertentu, senantiasa lebih dari satu. Ekuivokasi kata atau arti bermacam ragam yang ditimbulkan kata dapat memberi berbagai macam kemungkinan.
Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika menurut Dilthey bahwasanya bahasa memiliki peranan sentral, karena proses dan dimensi hidup manusia tercover oleh bahasa. Kompleksitas kehidupan manusia dapat dipahami dan diintrepretasi melalui kacamata bahasa, yang diungkapkan oleh Dilthey bahwa keseluruhan dapat dipahami melalui bagian-bagiannya, sedangkan bagian-bagiannya dapat dipahami melalui keseluruhannya.[33]
3.      Martin Heideger (1889-1976)
Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman.. Heidegger dilahirkan di sebuah keluarga desa di Meßkirch, Jerman, dan diharapkan kelak menjadi seorang pendeta.
Heideger adalah murid dari Edmund Huserl.[34]  Sehingga nuansa filsafat fenomenologis meliputi pemikirannya.
4.      Hans -Georg Gadamer (1900 -2002)
5.      Jurgen Habermas (1929-)
Herbermas lahir di Gumersbach 1929, selain seorang filosof ia juga menekuni bidang politik dan banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang ‘Persenjataan Kembali’ (reamament) di Jerman.
Meski gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik namun gagasan-gagasannya banyak mendukung pustaka hermeneutik. Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan dalam tulisannya ‘Knowledge and Human Interest’.         
Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang bersifat lebih, yang tidaka dapat dijangkau interpretasi, yaitu yang terdapat di dalam hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’. ‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan diluar pikiran kita. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman[35] menjadi subjektifnya. Pemahaman hermenutik lebih diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas membicarakan tentang ‘pemahaman monologis tentang makna’, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa ‘murni’, seperti misalnya bahasa simbol.  Pemahaman hermeneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan yaitu lingusitik, tindakan dan pengalaman. Dalam hermeneutik, penafsir mengalami dilema antara tetap objektif dan bersifat subjektif atau antara tetap subjektif dan harus menjadi objektif. Dilema ini merupakan pertanyaan ‘eksklusif linguistik atau analisis empiris’. Menurut Habermas, objektivasi pemahaman hanya mungkin bila interpreter menjadi partner dalam dialog komunikatif. Ini berarti interpreter harus mengadakan interaksi, sebagaimana terjadi dialog atau dialektika antara yang umum dan yang individual. Bahasa dan pengalaman, dalam logika Habermas, harus masuk ke dalam dialektik dengan tindakan.[36]
Minat diterjemahkan oleh Habermas sebagai orientasi dasar yang berakar dalam kondisi fundamental khusus dari reproduksi yang mungkin dan kelangsungan hidup spesies manusia yaitu ‘kerja’ atau karya dan ‘interaksi’. Alasan Habermas memasukan minat dalam hermeneutik adalah karena menurutnya pengetahuan dan minat pada dasarnya satu. Ia menyebut pengetahuan tentang manusia dengan istilah ersatz. Berdasarkan perbandingan dan kritiknya terhadap Karl Marx dan Dilthey, Habermas mengatakan bahwa ‘membuka rahasia interpretasi terhadap diri sendiri adalah tugas hermeneutik’. Habermas lebih lanjut mengatakan bahwa minat mendahului refleksi diri sesaat sesudah minat menyadari dirinya sendiri dalam daya atau kekuatan emansipasinya (pembebasan). Habermas mencemooh model hermeneutik dari ilmu-ilmu kemanusian karena dianggapnya tidak dapat bekerja untuk interpretasi psikoanalitik. Hermeneutik memperoleh fungsinya dalam proses genesus kesadaran diri. Habermas sebenarnya ingin berada di antara dua kutub metodologis yaitu di antara hermeneutik yang subjektif dan hukum-hukum sains yang objektif, untuk selanjutnya ia ingin menggabungkan kedua hal tersebut dan menerapkannya pada sains.[37]
6.    Paul Ricoeur (1913-
Paul Ricoeur lahir di Perancis  tahun 1913, ia belajar filsafat untuk pertama kali di Lycee dan berkat jasa R. Dalbiez seorang filsuf berhaluan thomisme, Ricoeur menjadi populer. Pada tahun 1933 ia meraih ‘licence de philosopie’. Pada tahun 1948 ia menggantikan Jean Hyppolite sebagai profesor filsafat di Universitas Stasbourg. Bahkan pada tahun 1950, ia meraih gelar ‘docteur es letters’ dengan karyanya yang berjudul ‘Philosopie de la Volonte’ (filsafat kehendak). Pada tahun 1956 ia diangkat sebagai profesor filsafat di Universitas Sorbonne. Di Paris ia menjadi direktur Center d’etudes Phenomenologiques et Hermeneutiques (Pusat Studi tentang Fenomenologi dan Hermeneutika).[38]
Menurut Ricoeur[39], salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutika adalah suatu “perjuangan melawan distansi kultural” yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Kita baru bisa mengkritik jika kita membuat suatu jarak dengan obyek yang dikritik. Namun demikian, kritik yang kita lakukan itu akan membawa juga struktur-struktur yang sudah jadi dan gagasan-gagasan kita. bahasa yang diungkapkan dalam struktur itu juga sudah diberi warna. Oleh karena itu setiap orang yang melakukan suatu kritik sebenarnya sudah menbawa anggapan-anggapan, yang oleh Gadamer dikatakan tidak sepenuhnya kabur atau bahkan menipu. Sebab bila mana seorang penafsir mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan tangan yang sebelumnya kosong. Ia membawa sesuatu yang oleh Heidegger disebut ‘Vorhabe’ (apa yang ia miliki), ‘Vorsicht’ (apa yang ia lihat), dan ‘Vorgriff’ (apa yang menjadi konsep kemudian). Hal ini menandakan bahwa kita tidak dapat sama sekali menghindarkan diri dari suatu prasangka.
Mengenai tugas hermeneutika Ricoeur menyatakan bahwa tugas pertama hermeneutika adalah di satu fihak mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna teks itu muncul ke permukaan. Pengertian hermeneutika menurut Ricoeur adalah ‘suatu teori pengoprasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap suatu teks. Apa yang kita ucapkan atau yang kita tulis mempunyai makna lebih dari satu bila mana kita hubungkan dengan konteks yang berbeda.
Dengan demikian tugas hermeneutika menjadi sangat berat sebab interpreter harus membaca ‘dari dalam’ teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, maka distansi yang asing harus disingkirkan harus dapat mengatasi situasi dikotomis serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif dan obyektif.
Ricoeur mengatakan, hubungan dengan dunia teks terletak di dalam hubungan dengan subjektivitas pengarangnya dan pada saat yang sama persoalan subjektivitas pembaca harus ditinggalkan. Subuah teks harus kita tafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah diwarnai denga situaasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus. Untuk memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri kedalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya, (Sumaryono, 1933; 102) dengan demikian berarti kita mengizinkan teks untuk memberikan kepercayaan kepada diri kita untuk menginterpretasinya dengan cara yang obyektif.[40]


[1] Pada Zaman Yunani kasik sampai abad-17 memang belum muncul Istilah hermeneutika. Akan tetapi akar kata tersebut diindikasikan dari kata ermeneutike yang pernah disingung para filosof yunani yaitu plato dan Aristoteles.
[2] Perspektif alegoris maksudnya, menelusuri asumsi  tentang hermeneutika dengan tradisi alegoris yunani, persektif  teologis maksudnya menelusuri asumsi tentang hermeneutka dengan tradisi interpretasi dan ramalan dalam agama Yunani kuno, dan perspektif logis maksudnya adalah mencari hal ihwal  yang bisa dianggap sebagai hermeneutikadalam teks-teks klasik.(Lihat: Jean Grodin, Sejarah Hermeneutik, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 48)
[3] Sebagaimana pernyataan Ebling yang dikutip oleh Mudjia Raharjo bahwa ada tiga hal mendasar dalam hermanautika klasik berdasarkan apa yang dilakikan Hermes, a) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pemikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian, b) menjeaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti, c) menerjemahkan bahasa yang asing kedalam bahasa lainyang lebih dikuasai pemirsa.(Lihat: Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika, Ibid, h. 28)
[4] Metode ini juga sering disebut dengan metode dialektik yang selanjutnya dikembangkan oleh murid Sokrates, yaitu  Plato.
[5] Sejauh data yang kami dapat memang tujuan  dari metode maietik Sokrates  tersebut bukanlah tertuju untuk interpretasi (menafsirkan) melainkan  untk mengajari lawan bicaranya berpikiran kritis.Teguh, Filsafat Umum, (Surabaya: elKAF, 2005), h. 37-38
[6] Teguh, Pengantar Filsafat Umum, Ibid.., h. 30
[7] Dalam tulisanpun, plato meniai tulisan yang  menggunakan bahasa dialog itu lebih baik.
[8] Dengan dialektika ala Sokrates ini, dimaksudkan Plato bisa memahami pemahaman banyak orang tentang suatu perkara.
[9] Jean Grondin, Sejarah Hermanautika.., Ibid.., h. 62-63
[10] Teguh, Pengantar Filsafat Umum, Ibid.., h.42-43
[11] Jean Grondin, Sejarah Hermanautika.., Ibid.., h.56
[13] Jean Grondin, Sejarah Hermanautika.., Ibid.., h. 63
[14] Hamid Fahmi Zarkasy, Hermeneutika, http://luznadamai.wordpress.com/2010/03/22/sejarah-hermeneutika/ diakses pada tanggal 28 Nopember 20011 pukul 10:58 WIB
[15] Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Problem Teks Bible Dan Hermeneutika, http://www.dewandakwah.com/content/view/117/47/,  diakses pada tanggal 28 november 2011, pukul 10;52 WIB
[16] Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Problem Teks Bible Dan Hermeneutika, http://, Ibid..,
[17]Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika, http://, Ibid..,
[18] Ibid..,
[19] Pada 31 Oktober 1517, ia mulai melawankekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (ninety-five Theses) di pintu  gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremsi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat  penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran tersendiri  terlepas dari kekuasaan Paus.
[20] Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Problem Teks Bible Dan Hermeneutika, http://, Ibid..,
[21] Hamid Fahmi Zarkasy, Hermeneutika, http://, Ibid..,
[22] Sebelum zaman ini ada zaman reneisance. Pada zaman tersebut dunia filsafat berusaha mengembalikan tradisi berfikir rasional sebagaimana zaman Yunani kuno. Sehingga tradisi berfikir yang terpaku pada teks-sakral berubah menjadi rasional. Begitu juga hermeneutika juga ikut dalam perubahan tersebut. diantara tokoh-tokohnya pada zaman ini adalah: Benedictus de Spinoza (1632-1677)  dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus theologico-politicus (Risalah tentang politik teologi) menyatakan bahwa “standar eksegesis untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua” Dan juga J.C.Dannheucer pada tahun 1654, mengeluarkan buku yang berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the Method of Explanation of Sacred Literature), Disitu hermeneutika sudah mulai dibedakan dari exegesis sebagai metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya diperluas kepada non-Biblical literature. Dannheucer ini dipandang pencetus kata Latin Hermeneutika dengan terminology yang jelas.(lihat: Hamid Fahmi Zarkasy, Hermeneutika,Ibid.., )
[23] Alim Roswantoro, dalam Zubaidi DKK, Filsafat Barat,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 52
[24] Friedriech Ast (1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements of Grammar, Hermeneutic and Criticism) Ast membagi pemahaman terhadap teks menjadi 3 tingkatan: 1) pemahaman historis, yakni pemahaman berdasarkan pada perbandingan teks dengan teks yang lain. 2) pemahaman ketata-bahasaan, yaitu merujuk kepada pemahaman makna kata pada teks; dan 3) pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk kepada semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis.
[25] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) h. 35-37
[26] Yang menjadi latar belakang pemikiran hermeneutika Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher adalah bahwa ia memahami ada jurang pemisah antara berbicara atau berfikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Menurutnya Kita harus berpikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Kita harus mampu mengdaptasi buah pikiran ke dalam kekhasan lagak ragam dan tata bahasa. Menurut Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher pemahaman hanya terdapat di dalam kedua momen yang saling berpautan satu sama lain. Baik bahasa maupun pembicaranya harus dipahami sebagaimana seharusnya.(Lihat: Ibid., h.38-39)
[27] Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika,(Yogyakarta: Paradigma)  2009, h. 266
[28] Ibid.
[29] E. Sumaryono, Hermeneutika…, h. 41.
[30] Ibid., h.43
[31] Pada tahun 1864 ia memperoleh gelar doktor dan mengajar di Berli. Tahun 1868 ia menjadi profesor di universitas Keil. Dilthey meninggal pada tanggal 30 September 1911 di Seis. (Lihat: Ibid., h.45-46)
[32]Latar belakang emikiran hermeneutika Dilthey adalah rambisinya untuk menyusun sebuah dasar epistimologis baru tentang pertimbangan sejarah. Proyek ini berkisar pada agagasan tentang komperehensi atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah, yaitu wajah dalam (interior) dan wajah luar (eksterior). Pandangannya ini mirip dengan teori dualisme yang diususng oleh Descrates tentang badan dan jiwa, yaitu spiritualisme sebagai bagian interior dan realisme sebagai interior.Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu, secara interior peristiwa dilihat dari keadaan sadar. Kedua dimensi ini tidak bernilai sama. Bahkan dapat dikatakanbahwa kedua dimensi ini saling melengkapi.
[33] Ibid, h. 270-272.
[34] Edmund Husserl (1889 -1938), tokoh hermeneutika feno -menologis, menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias -bias subjek penafs ir danmembiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
[35] Habermas mengartikan pemahaman adalah ‘suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu’.
[36] Habermas membagi tindakan menjadi empat jenis:            a) Tindakan teleologis – aktor mempertahankan tujuan khusus dan unutk mencapainya dibutuhkan sarana yang tepat dan          sesuai, yaitu keputusan. b) Tindakan normatif – yang terutama tidak diarahkan pada tingkah laku aktor soliter, tetapi pada anggota-anggota kelompok sosial. Konsep pokoknya adalah pemenuhan terhadap norma. c) Tindakan dramaturgik – konsep pokoknya adalah penampilan diri di hadapan umum atau masyarakat.                d) Tindakan komunikatif – yang menunjukan kepada interaksi, dimana konsep pokoknya adalah interpretasi.      
[37] Miftahudin, Tokoh-Tokoh Hermeneutik…
[38] Ibid, h.307
[39] Paul Ricoeur adalah seorang filsuf yang lebih menekankan pada pandangan Katolik. Persektif pemikirannya adalah kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial menjadi analisis eidetik (pengamatan yang sangat mendetail), lalu berubah ke fenomenologis, historis, hermeneutik dan akhirnya semantik. Dia juga menegaskan bahwa pada dasarnya filsafat adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Interpertasi adalah usaha untuk membongkar makna tersebut yang masih terselubung. Kata-kata adalah simbol-simbol juga, karena menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak langsung”, tidak begitu penting serta figuratif (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Jadi simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam kata atu simbol.E. Sumaryono, Hermeneutika…, h.105
[40] Kaelan, Filsafat…, h.307-310

5 komentar: