Senin, 21 November 2011

Maani al-Hadis


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Deskripsi Metodologi
Dalam pemaknaan hadits tentang wanita berjalan didepan mushalin in penulis menggunakan metode maudhu’i (tematik).  Karena itu pada makalah ini akan dipaparkan semua hadits yang berkaitan dengan tema tersebut kemudian membahasnya dengan metode kontekstualisasi. Disamping itu rasa metode analisis deskriptif juga penulis gunakan dengan memaparkan pemahaman yang beragam dari beberapa ulama, agar wacana dalam makalah ini lebih luas.
Secara rinci metode yang penulis tempuh cenderung mengikuti metode yang diterapkan oleh Muhammad Yusuf yaitu :[1]
1.      Menemukan tema tertentu
2.      Menghimpun Hadits-hadits yang shahih dan setidaknya hasan (senada/ sejalan, tidak sejalan, tampak kontradiktif (taaruq/ tanaqud), melalui prosedur takhrij dan tahqiq al-Hadits, dengan melakukan i’tibarat, mutabi’at, dan mencari syawahid.
3.      Jika langkah kedua belum dialakukan maka peneliti harus melakukan tahqiq hadits (verifikasi dan validasi) untuk menentukan kualitas shanadnya.
4.      Melacak asbab al-wurud hadits,
5.      Mengidentifikasi teks (matan) hadits dari aspek kebahasaan.
6.      Melakukan identifikasi kandungan konsep dalam suatu hadits, diharapkan dari identifikasi lafdziyah ini dapat ditemukan ide pokok dan ide-ide sekunder.
7.      Dipahami maksud kandungannya dengan meneliti adalah (vaiabel dan indikasi)
8.      Mencari teks ayat-ayat al-Qur’an secara proposional jika ada, paling tidak memiliki kesamaan pesan (ideal) moral dan arti maknawi (spirit).[2]
9.      Melakukan pendekatan holistk-komprehensif secara multi disipliner (baca integrative- interkonektif[3]).
10.  Mleakukan pengembangan dan “pengembaraan” makna dengan pendekatan kontekstual.[4]
11.  Menarik simpulan dengan argumentasi ilmiyah secara deduktif atau induktif.
Perlu ditegaskan lagi, dalam pemaknaan hadits ini penulis hanya cenderung menggunakan metode diatas. Jadi langkah-langkah diatas tidak semuanya penulis lakukan karena menimbang urgensi dan efisiensi langkah tersebut dilakukan. Seperti halnya dalam penelitian sanad, penulis cukup dengan menganalisa dengan cara biasa aja. Tidak melakukan i’tibar, takhrij, ataupun tahqiq, secara rinci. Sedangkan terkait analisis bahasa dan juga kritik matan penulis meletakkannya pada pendapat para ulama.
Penulis juga tidak sepenuhnya memaparkan makna hadits dari berbagai perspektif (mu lti disipliner) sebagaimana yang terdapat dalam prinsip Integrasi-Interkoneksi. Hal itu lebih dikarenakan keterbatasan waktu penulis yang tidak memungkinkan menyajikan pemaknaan hadits dilihat dari berbagai perspektif. Dalam makalah ini hanya akan menjelaskan pemaknaan hadits dengan menjelaskan makna klasik (pemaknaan ulama-ulama terdahulu) dan makna kontekstual dengan menggunakan perspektif  HAM (Hak Asasi Manusia)[5].

B.     Hadits-Hadits yang Berkaitan dengan Tema[6]
1.      Hadits-hadits yang berindikasi pro dengan pembatalan
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا إسماعيل بن علية ح قال وحدثني زهير بن حرب حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن يونس عن حميد بن هلال عن عبدالله بن الصامت عن أبي ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا قام أحدكم يصلي فإنه يستره إذا كان بين يديه مثل آخرة الرحل فإذا لم يكن بين يديه مثل آخرة الرحل فإنه يقطع صلاته الحمار والمرأة والكلب الأسود قلت يا أبا ذر ما بال الكلب الأسود من الكلب الأحمر من الكلب الأصفر ؟ قال يا ابن أخي سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم كما سألتني فقال الكلب الأسود شيطان.
Apabila salah seorang dari kalian berdiri shalat maka akan menutupinya bila di hadapannya ada semisal mu’khiratur rahl. Namun bila tidak ada di hadapannya semisal mu’khiratur rahl shalatnya akan putus bila lewat di hadapannya keledai, wanita, dan anjing hitam.” Aku berkata (Abdullah ibnu Shamit, rawi yang meriwayatkan dari Abu Dzar), “Wahai Abu Dzar, ada apa dengan anjing hitam bila dibandingkan dengan anjing merah atau anjing kuning?” Abu Dzar menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku pernah menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Saw. sebagaimana engkau menanyakannya kepadaku. Beliau berkata, ‘Anjing hitam itu setan’.” (HR. Muslim)
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْل.

Ishak bin Ibrahim menceritakan kepada kami, ia berkata: al-makhzumiy menceritakan kepada kami, ia berkata: Abd al-Wahid (Ibn Ziyad) menceritakan kepada kami: ia berkata: ‘Ubaidillah bin Abdillah menceritakan kepada kami dari Abi Hurairah ra berkata: Raulullah Saw bersabda: “Peremppuan , himar, dan anjing dapat memutuskan shalat. Berilah jarak sekedar ukuran unta atau himar dapat lewat”. (HR. Muslim)
حدثنا يحيى بن يحيى قال قرأت على مالك عن زيد بن أسلم عن عبدالرحمن بن أبي سعيد عن أبي سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إذا كان أحدكم يصلى فلا يدع أحدا يمر بين يديه وليدرأه ما استطاع فإن أبى فليقاتله فإنما هو شيطان.

Dari Abd al-Rahman ibn Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Apabila kamu shalat maka jangan biarkan apapun lewat dihadapanmu cegahlah semampumu. Apabila tidak mau dicegah maka bunuhlah , sesungguhnya ia itu adalah setan.” (HR. Muslim)

2.      Hadits-hadits yang kontra dengan pembatalan
حدثنا عمر بن حفص قال حدثنا أبي قال حدثنا الأعمش قال حدثنا إبراهيم عن الأسود عن عائشة . .حقال الأعمش وحدثني مسلم عن مسروق عن عائشة : ذكر عندها ما يقطع الصلاة الكلب والحمار والمرأة فقالت شبهتمونا بالحمر والكلاب والله لقد رأيت النبي صلى الله عليه و سلم يصلي وإني على السرير بينه وبين القبلة مضطجعة فتبدو لي الحاجة فأكره أن أجلس فأوذي النبي صلى الله عليه و سلم فأنسل من عند رجليه.

Amr bin Hafs menceritakan kepada kami, ia berkata: bapakku telah menceritakan kepada kami dari al-Aswad dari Aisyah ra.  tahwil al-shanad  (pindah sanad)-, Ahmas berkata: Muslim telah menceritakan kepada kami dari masyruq dari Aisyah, diceritakan kepadanya bahwa yang dapat memutuskan shalat adalah anjing, himar dan perempuan. Aisyah menjawab: “kalian mempersamakan kami dengan khimar dan anjing?, demi Allah aku pernah melihat Nabi sedang shalat dan aku berbaring dihadapan beliau menghalangi kiblat. Kemudian aku ada keperluan, tapi aku enggan untuk duduk karena akan mengganggu Nabi, maka aku bergerak perlahan-lahan dari sisi kaki beliau” (H.R Bukhori)

حدثنا مسدد قال حدثنا يحيى قال حدثنا هشام قال حدثني أبي عن عائشة قالت : كان النبي صلى الله عليه و سلم يصلي وأنا راقدة معترضة على فراشه فإذا أراد أن يوتر أيقظني فأوترت    .

Dari Aisyah Ra. Berkata: “Rasulullah sedang shalat dan aku tidur melintang di hamparannya, apabila ia akan melakukan salat witir ia membangunkan aku, kemudian aku salat witir”. (H.R Bukhari)

حدثنا إسماعيل بن أبي أويس قال حدثني مالك عن ابن شهاب عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة عن عبد الله بن عباس قال : أقبلت راكبا على حمار أتان وأنا يؤمئذ قد ناهزت الاحتلام ورسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي بمنى إلى غير جدار فمررت بين يدي بعض الصف وأرسلت الأتان ترتع فدخلت في الصف فلم ينكر ذلك علي.

Dari Abdullah bin Abbas berkata: “Aku datang dengan berkendaraan himar perempuan, ketika itu himarku hampir dewasa, Rasulullah saw. Sedang salat di Mina tanpa dinding (sutrah), aku lewat didepan sebagian barisan salat, kemudian aku lepas himarku didaerah yang subur dan aku masuk ke dalam barisan, tidak ada seorangpun yang mencegahku”. (HR. Bukhori)

حدثنا أبو النعمان قال حدثنا عبد الواحد بن زياد قال حدثنا الشيباني سليمان حدثنا عبد الله بن شداد قال سمعت ميمونة تقول كان النبي صلى الله عليه و سلم يصلي وأنا إلى جنبه نائمة فإذا سجد أصابني ثوبه وأنا حائض [7]

Saya mendengar Maimunah berkata: “Bahwa Nabi shalat sedangkan aku berada disampingnya dalam keadaan tidur ketika Nabi sujud, maka pakaannya mengenai diriku padahal aku dalam keadaan haidl.” (HR. Bukhori)

Dilihat dari jenisnya dapat dibeda-bedakan bahwa hadits-hadits yang berindikasi pro (hadits yang mendukung batalanya shalat dikarenakan wanita, himar dan anjing yang lewat didepannya) adalah hadits-hadits qauliyah. Sedangkan hadits yang kontra (bertentangan) dengan hadits qauliyah tersebut jenisnya adalah hadits fi’liyah dan taqririyah.
Secara historis, hadits riwayat dari Ibnu Abbas merupkan hadits yang muncul lebih ahir daripada hadits lainnya (hadits-hadits qauiyah). Karena hadits tersebut terjadi pada saat haji wada’ jadi dapat dipastikan kalau hadits itu muncul belakangan.
Jika dilihat dari segi redaksi, hadits Aisyah jelas secara waktu pernyataannya datang lebih belakangan daripada hadits-hadits qauliyah. Karena pada redaksi hadits tersebut menyebutkan kritik Aisyah pada pernyataan yang menyatakan batalnya shalat disebabkan ada wanita, himar dan anjing yang lewat didepannya. Pernyataan tersebut tidak mungkin muncul kalau seseorang yang melapor kepada beliau tidak mendengar hadits sebelumnya. Akan tetapi jika dilihat dari peristiwa hadits tersebut terjadi dengan hadits-hadits qauliyah Nabi belum tentu kalau peristiwa itu lebih dulu. At- Thobari (w. 310)berpendapat kalau hadits Aisyah terjadi belakangan, sehingga bisa menaskh hadits sebelumnya. Akan tetapi pendapat ini ditentang olah al-Asqalani (w.852), alasannya karena tidak diketemukannya secara historis yang lebih dulu antara dua hadits tersebut.[8] Begitu juga dengan haditsnya maimunah secara historis tidak ada kejelasan lebih dulu yang mana.

C.    Analisis Makna Hadits
1.      Makna Hadits Paradigma Ulama Klasik
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama klasik, antara yang berpendapat tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat seseorang bila lewat di hadapannya, dengan pendapat yang menyatakan wanita, keledai, dan anjing hitam dapat membatalkan shalat seseorang.
a.       Ulama yang berpendapat tidak membatalkan
Jumhur ulama –termasuk di dalamnya imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah– berpendapat bahwa wanita dan keledai lewat di depan orang yang shalat tidaklah membatalkan shalat.[9]Adapun terkait anjing hitam Imam Ahmad berpendapat membatalkan sedangkan yang Imam-imam lainnya tetap tidak.
Dalam masalah ini, sebenarnya didapatkan dua riwayat dari Imam Ahmad. Kedua riwayat tersebut bersepakat bahwa anjing hitam dapat memutuskan shalat seseorang, namun kedua riwayat ini berselisih dalam masalah wanita dan keledai. Dalam satu riwayat beliau memastikan bahwa wanita dan keledai tidak memutus shalat. Dalam riwayat lain, beliau ragu.
Riwayat yang pertama yaitu riwayat putra beliau bernama Abdullah dalam Masa`il-nya (1/340). Abdullah berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayahku, ‘Apa saja yang dapat memutus shalat?’ Jawab beliau, ‘Anjing hitam, Anas ra, telah meriwayatkan bahwa yang dapat memutus shalat adalah anjing, wanita, dan keledai. Adapun tentang wanita, maka aku berpendapat dengan hadits ‘Aisyah ra:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ص م يُصَلِّي وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيِهِ
“Rasulullah Saw mengerjakan shalat sementara aku tidur melintang di hadapannya.”
Sedangkan keledai dengan hadits Ibnu ‘Abbas ra:
مَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ ص م وَأَنَا عَلى أَتَانٍ
“Aku lewat di hadapan Rasulullah Saw. sementara aku sedang menunggang seekor keledai betina.”
Aku juga bertanya, “Apabila lewat seekor anjing hitam di hadapan orang yang shalat, apakah shalatnya batal?” Beliau menjawab, “Iya.” Aku bertanya lagi, “Berarti ia harus mengulang shalatnya?” Jawab beliau “Iya, bila anjingnya berwarna hitam.”
Demikian pula Ibnu Hani meriwayatkan dari Imam Ahmad di dalam Masa`il-nya (1/65-67).
Riwayat kedua, merupakan riwayat Ishaq bin Manshur al-Marwazi dalam Masa`il-nya (hal. 381) dari Imam Ahmad dan Ishaq. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Al-Imam Ahmad, ‘Apa yang dapat membatalkan shalat?’ ‘Tidak ada yang dapat membatalkannya kecuali anjing hitam, yang aku tidak meragukannya. Adapun untuk keledai dan wanita dalam hatiku ada suatu keraguan’, jawab beliau. Ishaq berkata, ‘Tidak ada yang dapat memutus shalat kecuali anjing hitam.’
Ahmad berkata, “Di antara manusia ada yang menyatakan ucapan Aisyah ra. : ‘Aku tidur di hadapan Nabi Saw. (yang sedang shalat)’ bukanlah hujjah untuk membantah hadits tentang tiga perkara yang dapat membatalkan shalat. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa wanita, keledai, dan anjing hitam dapat memutus shalat. Alasannya, karena orang yang tidur tidaklah sama dengan orang yang lewat. Adapun ucapan Ibnu ‘Abbas ra. tentang keledai yang ditungganginya melewati sebagian shaf makmum yang shalat di belakang Rasulullah Saw, juga bukan hujjah, karena sutrah imam merupakan sutrah orang yang shalat di belakangnya. (Tanqihut Tahqiq, 3/208-209, Al-Masa`ilul Fiqhiyah allati lam Yakhtalif fiha Qaulul Imam Ahmad, 1/240)
Adapun Imam Syafi’i[10] dalam pembolehan wanita dan keledai alasannya sama dengan pendapat Imam Ahmad (murid beliau) fersi yang pertama yaitu bertentangan dengan hadits Aisyah dan juga Hadits Ibnu Abbas. Selain itu beliau memandang hadits pembatalan tersebut bertentangan dengan QS. al-An’am’ [6]: 164 :
4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé&
Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain[11]
Sedangkan tentang argumentasi  tidak membatalkannya anjing, Abu Ishaq Muslim mengatakan bahwa Para Imam tiga (Hanafi, Malik, Syafi’i) berdalil dengan riwayat Abu Dawud (no. 719) dari hadits Abu Sa’id ra, Nabi Saw. bersabda:
لاَ يَقْطَعُ الصَّلاَةَ شَيْءٌ، وَادْرَؤُوْا مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
Tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat dan tolaklah orang yang ingin lewat di hadapan kalian semampu kalian, karena dia (yang memaksa untuk lewat di depan orang shalat) adalah setan.” (HR. Abu Dawud)
Namun sanad hadits ini dhaif karena ada Mujalid bin Sa’id yang didhaifkan oleh Jumhur Ahlu al-Hadits, al-Hafizh  dalam Taqrib (hal. 453) berkata tentangnya: “Ia bukan dari kalangan orang yang kokoh, dan di pengujung usianya hafalannya berubah (kacau).”
Al-Imam Ibnul Jauzi  dalam At-Tahqiq berkata, “Semua hadits yang menyebutkan tentang tidak terputusnya shalat dengan sesuatu pun adalah dhaif. Adapun riwayat Abu Sa’id dalam sanadnya ada Mujalid. Dia ini didhaifkan oleh Yahya bin Ma’in, an-Nasa’i, ad-Daraquthni. Ahmad berkata, “Laisa bi syai`in (tidak dianggap periwayatannya).” al-Imam adz-Dzahabi  berkata, “Mujalid layyin (lemah).” (Tanqihut Tahqiq, 3/213, al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/717). Demikan juga yang dikatakan al-Imam Ibnu Hazm  dalam al-Muhalla (2/326).
Hadits lain yang dijadikan dalil adalah hadits tentang lewatnya Zainab binti Abi Salamah ra. di hadapan Nabi Saw.  namun tidak membatalkan shalat beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (6/294) dan yang lainnya, namun pada sanad hadits ini juga ada kelemahan. Ibn al-Qaththan mendhaifkannya, sebagaimana ucapannya disebutkan oleh az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah (2/85).
Mereka yang berpendapat tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat ini membawa makna hadits:
فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ
Maka sesungguhnya, keledai, wanita dan anjing hitam memutuskan shalatnya.
Kepada pengertian kurang shalatnya (pahalanya) karena tersibukkannya hati dengan perkara-perkara tersebut, bukan pengertian batalnya shalat yang sedang ditunaikan. (Al-Minhaj 4/450-451, Subulus Salam, 1/228) [12]
b.      Ulama’ yang berpendapat membatalkan
Sebagian ulama berpandangan bahwa, shalat seseorang bisa batal dengan tiga perkara tersebut sebagaimana dzahir hadits Abu Dzar ra. Menurut mereka membawa makna hadits tersebut kepada makna kurang shalatnya (pahalanya) karena tersibukkannya hati dengan perkara-perkara tersebut atau hilang kekhusyukan shalatnya, merupakan pemaknaan yang tidak tepat. Karena pemaknaan seperti ini akan mengantarkan kepada pembatalan manthuq hadits, di mana perkara yang memutus kekhusyukan hanya dibatasi dengan bilangan tiga yang disebutkan. Sementara kalau kita memerhatikan makna yang disebutkan oleh jumhur, justru pembatasan bukanlah hal yang diinginkan, karena tidak ada bedanya yang lewat itu laki-laki ataupun perempuan. Tidak ada bedanya antara yang lewat itu wanita yang sudah haid ataupun belum. Demikian pula apakah yang lewat itu keledai, atau kuda, unta dan seterusnya. Sebagaimana tidak ada bedanya yang lewat itu anjing hitam atau anjing merah. Sementara dalam hadits ini, penetap syariat membedakannya. Dengan demikian, pendapat yang benar menurut kelompok ulama ini adalah bahwa wanita yang sudah haid, keledai, dan anjing hitam membatalkan shalat, bukan sekadar menghilangkan kekhusyukan. (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/139-140)
Imam Asy-Syaukani  berkata, “Hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa anjing, wanita, dan keledai dapat memutus shalat, dan yang dimaksud memutus shalat adalah membatalkannya. Sekelompok sahabat berpendapat demikian. Di antaranya Abu Hurairah, Anas, dan Ibnu ‘Abbas ra. dalam satu riwayat darinya. Dihikayatkan pula dari Abu Dzar dan Ibnu ‘Umar ra. Telah datang kabar dari Ibnu ‘Umar  bahwa ia berpendapat demikian pada anjing. Sementara al-Hakam bin ‘Amr al-Ghifari berpendapat demikian pada keledai. Di antara tabi’in yang berpendapat bahwa tiga perkara yang disebutkan dalam hadits dapat memutuskan shalat adalah Al-Hasan Al-Bashri dan Abul Ahwash rahimahumallah, murid Ibnu Mas`ud ra. Sedangkan dari kalangan Imam adalah Ahmad bin Hambal dengan menggunakan fersi argument keduanya.[13]
2.      Makna Hadits Paradigma Kontekstual
Dewasa ini dunia Islam dihadapkan pada kondisi zaman yang sangat berbeda dengan zaman Rasulullah. Zaman semakin berkembang, kemajuan terjadi di segala bidang. Namun satu yang seolah-olah disayangkan dari kalangan umat muslim adalah kepenguasaan kemajuan terletak pada barat yang basisnya bukan Islam. Memandang hal ini, para ulama’ muslim mulai mawas diri dan meneliti apa penyebab kekalahan/ kemunduran umat Islam tersebut. Mereka banyak berkesimpulan hingga menemukan satu titik simpul besar yang sama. Yaitu karena selama ini Umat muslim kurang aktif dalam keilmuan dan sain. Sampai saat ini umat muslim masih banyak yang bersifat konserfatif terhadap sesuatu yang seharusnya berkembang atau dikembangkan. Agar Islam kembali bangkit mengisi Peradaban besar dunia sebagaimana zaman Nabi sampai pada zaman para khalifah, para Ulama gencar menyerukan supaya melakukan pemaknaan dan penafsiran baru terhadap teks-teks sacral yang selama ini menjadi pedomannya.
Pada era kontemporer ini, para intelektual Muslim banyak memunculkan teori-teori baru tentang penafsiran teks. Kebanyakan mereka menyuarakan metodologi berbasis kontekstualisasi[14]. Hal ini dilakukan tujuannya agar teks selalu sesuai dengan zaman, Selain itu agar ruh ajaran (ideal moral) dari teks tersebut tetap hidup, bukannya mati tertinggal pada zaman dulu, sehingga yang berlaku tinggal jasadnya (legal spesifik) yang terkadang malah bertentangan dengan ajaran sesungguhnya.[15]
a.       Konteks sosio-historis hadits
Dalam penelitian ini penulis tidak menemukan asbab  al-wurud khusus (mikro) tentang hadits tersebut. Hal ini wajar, karena tidak semua hadits ada keterangan asbabul wurud-nya. Akan tetapi dalam kontekstualisasi Hadits sudah mnjadi tradisi sebagian besar ulama’ kontemporer bahwa hadits bisa ditinjau dari asbab al-wurud al-ammah (makro). Alasannya adalah karena tidak mungkin Nabi Muhammad Saw. berbicara dalam kondisi masyarakat yang fakum cultural, melainkan pasti ada konteks kesejarahan, kutur dan kondisi tertentu yang melingkupinya. Inilah pentingnya membaca hadits dengan menggunakan teori hermeneutika yaitu dengan mengaitkan The World of Text, The World of author dan The World of Reader.[16]
Secara historis hadits ini muncul pada zaman dimana wanita barusaja mendapatkan kebebasan dari segala kekangan dan pemarjinalan. Sebelum Islam datang, masyarakan Jahiliyah Arab memperlakukan wanita secara tidak wajar. Mereka memperlakukanya seperti budak bahkan jika ada kelahiran anak perempuan mereka memandang bahwa itu merupakan aib sehingga banyak dari keluarga yang membunuh anak perempuannya hidup-hidup. Mereka berpendangan seperti itu alasannya karena wanita dipandang lemah dalam berbagai hal.[17] Sehingga pendangan sepert itu secara psikoogis menjadikan kaum wanita Arab dalam kulturnya derajatnya dibawah derajat laki-laki. sehingga sistem Patriaki masyarakat Arab pada waktu itu sangat kuat.[18]
Setelah terutusnya Muhammad menjadi Rasul dan keberhasilannya dalam melakukan revolusi umat yang dahulunya jahiliyah menjadi umat Islam, derajat wanita terangkat jauh lebih baik daripada sebelumnya.[19] Bahkan bisa dikatakan memiliki derajat sama dengan laki-laki.[20] meskipun demikian secara natural psikologis pada zaman Rasul kebanyakan perempuan tetap berada pada posisi kedua setelah laki-laki. Sehingga budaya patriaki tetap mewarnai masyarakat Arab pada masa itu, bahkan sampai sekarang. Hal inilah yang menyebabkan Rasul Saw memunculkan beberapa hadits yang bernada misoginis seperti hadits-hadits tersebut diatas. Karena memang nilai-nilai cultural dan moral pada masa itu menuntut hal yang seperti itu.
Meskipun demikian, Menurut Khalid M. Abou el-Fadl, Pada kenyataannya riwayat-riwayat yang mencatatkan penyingkiran wanita dari kehidupan publik (misoginis) relatif lebih sedikit dibanding riwayat yang menceritakan kebalikannya. Contohnya adalah adanya lomba lari antara Nabi dan isterinya, tentang Aisyah dengan prempuan lainnya yang menonton pertandingan di madinah, Adanya  perempuan yang ikut perang, ada laki-laki dan perempuan saling mengunjungi dan bertukar hadiah, beberaa riwayat lain mengatakan bahwa ada perempuan menghampiri Nabi, memegang tangan beliau dan terus mengajak beliau duduk bersama berdiskusi tentang permasalahannya.[21]
Lebih jauh lagi Abou el-Fadl memberikan catatan bahwa mayoritas hadits tentang fitnah[22] (terkait hubungan antara laki-laki dan perempuan) tidak menggambarkan praktik historis. Hadits-hadits tersebut hanya menyajikan penegasan, harapan, klaim, dan aturan normative. Jika hadits-hadits tersebut kita yakini keautentisitasnya, maka terdapat banyak sekali kesenjangan normative Nabi dengan praktek historis  yang terjadi dimadinah.
Hemat penulis, patut juga mempertimbangkan tanggapan/kritikan Aisyah ra. terhadap hadits-hadits pembatalan shalat diatas. Adanya kritik matan Aisyah tesebut menandakan bahwa kondisi wanita pada masa itu dalam pandangan Aisyah sudah merdeka. Maka dari itu beliau tidak percaya dan tidak terima kalau ada hadits yang menyamakan wanita dengan anjing dan keledai. Hal ini karena Anjing adalah symbol kehinaan sedangkan keledai adalah symbol ke bodohan. Dari itu sebenarnya kritikan Aisyah teersebut ingin mengatakan bahwa “Wanita bukanlah manusia yang hina dan bodoh” sehingga tidak bisa disamakan derajatnya dengan anjing dan keledai jikalau lewatnya kedua binatang tersebut bisa membatalkan shalat.
b.      Ma’na Hadits Normatif atau Empiris
Abou el-Fadl berpendapat bahwa dalam hadits ada dua bentuk klaim, yang pertama adalah klaim normatif, sedang yang kedua adalah klaim empiris. Klaim normative terdapat pada hadits (dalil) yang maknanya menjadi dasar bagi persoalan keimanan dan keyakinan. Klaim empiris terdapat pada hadits yang berdasar pada pengalaman manusia. Hadits yang normative cenderung bersifat universal[23], sedangkan hadits yang empiris cenderung particular, transisional, dan kontekstual.
Sebagaimana yang terbaca pada konteks historis hadits-hadits misoginis diatas, dapat diambil pemahaman bahwa hadits-hadits tentang batalnya orang sholat karena adanya wanita lewat didepannya tersebut sangat terpengaruh dengan kondisi sosial-budaya masa itu. kondisi dimana secara psikis dan intelektual kebanyakan wanita masih lemah, sehingga sistem patriaki sangat berperan pada masyarakat.
Disamping itu factor libido kaum laki-laki Arab yang tinggi menimbulkan pandangan yang eksklusif ketika mereka melihat perempuan. Sehinnga sangat logis kalau lewatnya perempuan tersebut membuat laki-laki kehilangan kekhusyu’an dalam shalatnya. Dan logis juga pendapat Jumhur ulama’ klasik yang memaknai hadits dengan terputus pahala shalatnya bukan batal shalatnya dengan alasan ilat mengganggu kekhusyukan sebagamana pembahasan  diatas.[24]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, hadits-hadits tentang wanita, anjing dan keledai yang memutuskan sholat bersifat empiris. Sehingga hadits tersebut bisa dikontekstualisasikan.
c.       Makna Hadits Persepsi HAM
Sebagaimana disebutkan diatas, antara zaman nabi dengan zaman sekarang terjadi perbedaan yang signifikan. Perbedaan yang paling jelas saat ini adalah munculnya zaman global ditandai dengan kemanjuan ilmu pengetahuan, sain, teknologi , komunikasi dan sebagainya. Manusia yang dulu bersifat local sekarang bersifat global dan liberal. Seiring dengan itu semua norma-norma humanitas juga mengalami perubahan. Sehingga muncullah HAM[25] menjadi standart norma hubungan antar manusia didunia.
Terkait HAM[26] dan syari’at Islam An-Naim berkomentar bahwa, selama masa-masa pembentukan syariah (dan paling tidak selama seribu tahun), konsepsi hak-hak asasi manusia universal belumlah dikenal. Sesuai dengan konteks historis tersebut, adanya perbudakan adalah sah menurut hukum. Selain itu, sampai abad ke-20, adalah normal di seluruh dunia untuk menentukan status dan hak-hak seseorang berdasarkan agama. Sejalan dengan itu, sampai abad ke-20 pun perempuan secara normal tidak diakui sebagai pribadi yang mampu menggunakan hak-hak dan kapasitas hukum yang sebanding dengan yang dinikmati oleh laki-laki. Dilihat dari konteks historis, pandangan hukum Islam yang membatasi hak-hak asasi manusia universal dengan demikian dapat dibenarkan. Sesuai dengan konteks historis pula, maka hukum Islam sebagai sistem hukum yang praktis tidak dapat mengesampingkan konsepsi hak-hak asasi manusia universal jika harus diterapkan pada masa sekarang.[27]
Dengan demikian, untuk mengkontekstualisasikan Hadits-hadits diatas perlulah kacamata HAM memandang hadits-hadits tersebut agar sesuai dengan masa sekarang sebagaimana hadits-hadits tersebut sesuai dengan masa Rasulullah.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 1, secara umum dijelaskan, Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. Selain itu dalam pasal 3 dituliskan, Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu. Sedangkan dalam Deklarasi HAM kairo yang dilakukan oleh umat Islam sendiri pada pasal 1 dijeaskan tentang hak persamaan, pasal 2 hak hidup, dan lebih rinci lagi pada pasal 6 tentang hak wanita sederajat dengan priya.[28]
Dari itu semua nampaklah dari kacamata HAM hadits-hadits tentang batalnya orang shalat karena adanya wanita melintas didepannya sudah tidak relefan lagi untuk diterapkan karena bertentangan dengan hak persamaan dan juga hak kesederajatan antara wanita dengan priya.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Makalah Maani al-Hadits ini menggunakan metode Maudhu’i, dan pemaparannya tahlili. Sedang dalam langkah-langkah pemaknaannya cenderung mnggunakan metodenya Muhammad Yusuf.
2.      Terkait dengan judul, ditemukan hadits-hadits yang bernada pro dan kontra. Hadits yang pro qauliyah, sedangkan yang kontra taqrriyah, dan fi’liyah. Hadits Ibnu Abbas yang kontra datangnya lebih akhir sedangkan hadits Aisyah terjadi erbedaan pandangan ulama. Ada yang berpendapat lebih terahir dan ada yang meragukan pndapat tersebut.
3.       Pemaknaan hadits
a.       Ada dua pendapat terkait wanita, anjing, dan keledai yang berjaan didepan orang sholat, jumhur ulama berpandangan bahwa itu tidak membatalkan. Karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Ibnu Abbas. Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat membatalkan karena pertimbangannya lebh memberatkan hadits yang mmbatalkan daripada yang tidak.
b.      Adapun tentang makna kontekstualisasi Hadits-hadits tersebut dalam kacamata HAM sudah tidak relefan lagi. Karena bertentangan dengan pasal-pasal ham tentang hak persamaan antara laki-laki dan perempuan.

B.     Saran
Dengan dituliskannya makalah ini penulis berharap:
1.      Pembaca membaca dan memahami makalah ini.
2.      Pembaca meneliti makalah ini
3.      Pembaca mengkritik makalah ini jika ditemukan kesalahan
4.      Pembaca memberika solusi terkait kesalahan-kesalahan yang ada pdada malkalah ini.
5.      Pembaca berkenan berdiskusi bersama guna menindak lanjuti materi yang telah terpaparkan.



DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Yusuf. 2009. Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadits. Yogyakarta: Teras
Adang Djumhur Salikin. 2004. Reformasi Syari’ah dan HAM Dalam Islam. Yogyakarta: Gama Media
Ahmad Fudaili. 2005. Perempuan di Lembaran Suci. Yogyakarta: Pilar Media
Muhammad bin Abdurrahman. 2004. Fiqh Empar Madzhab. Penerjemah Abdullah Zaki Alkaf. Bandung: Hasyimi
Ibnu Rajab, Fath al-Barry, juz 3, Maktabah Syamillah.
Fahrudin Faiz. 2011. Hermeneutika al-Qur’an. Yogyakarta: Elsaq
Kurdi,DKK. 2010. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits. Yogyakarta: Elsaq
Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu ma’anil Hadits.Yogyakarta: Idea Press
Nassaruddin Umar. 2001.  Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Paramadina
Khaled M. abou el-Fadl. 2004. Atas Nama Tuhan. Jakarta: serambi
Abdullahi Ahmed An-Naim. 2001. “Syariah dan Isu-isu HAM”, dalam Charles Kurzman (ed.). Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum. Jakarta: Paramadina




[1] Muhammad Yusuf, metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 27-29.
[2]Untuk mengetahui ayat mana yang ditindak lanjuti oleh hadits. mengingat hadits tidak ada kontradiksi dengan al-Qur’an. jika ada kontradiksi, maka bisa jadi periwayatannya yang keliru atau bi-alwahn, dan harus didahulukan al-Qur’an dan wajib ma’mul bih.
[3] Analisa matan hadits dengan menggunakan ilmu lain seperti ilmu bahasa, sejarah, sosiologi, tafsir dan sebagainya.
[4] Langkah ini dalam rangka melihat konteks historis maupun antropologis pada saat hadits itu muncul.
[5] HAM, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun1999 tentang HAM, adalahseperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagaimakhluk Tuhan yang maha Esadan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. (lihat, Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syari’ah dan HAM Dalam Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 142
[6] Hadits-hadits yang penulis cantumkan pada bab ini adalah hadits-hadits yang shahih versi penulis kitab hadits masing-masing. Sebagian hadits tersebut terdapat pada Shahih Bukhari, sebagian lagi ada pada shahih Muslim, dan ada juga yang terdapat pada kedua kitab tersbut. Adapun terkait kritik matan akan termasuk pada analisis makna Hadits.  
[7] وزاد مسدد عن خالد قال حدثنا سليمان الشيباني وأنا حائض
[8]  Ahmad Fudaili, Perempuan di Lembaran Suci. (yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 171
[9] Muhammad bin Abdurrahman, Fiqh Empar Madzhab, Penerjemah Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2004), h. 70
[10] Dalam kitabnya Almukhtalif al-Hadits beliau berpendapat bahwa hadits yang terkait wanita, keledai, dan anjing ini statusnya adalah Ghairu Mhfudz (tidak terjaga). (lihat Ibnu Rajab, Fath al-Barry, juz 3, Maktabah Syamillah..h 350)
[11] Ibid.., h 350
[13] Ibid..,
[14] Teori ini muncul dari pengaruh hermeneutika yang  memiliki langkah kerja teks, konteks (zaman autor), kontekstualisasi (zaman reader).(lihat Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: Elsaq, 2011)).., h.10
[15] Mengenai Istilah ideal Moral dan legal spesifik, Lihat (Kurdi,DKK. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: elsaq, 2010)).., h. 73
[16] Abdul Mustaqim, Ilmu ma’anil Hadits, (Yogyakarta: Idea Press, 2008), h. 165
[17] Menurut Ruben Levy, ada tiga pokok alasan utama anak perempuan tidak dihargai, pertama, karena factor ekonomi, kedua, Sebagai persembahan atas nama Tuhan, ketigia, mencegah terjadinya aib. (lihat: Nassaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Ibid.., h.9)
[18] Sistem patriaki ini muncul pada masyarakat yang terdapat banyak ancaman militer. Sedangkan dalam situasi tidak terdapat banyak ancaman Militer dan persenjataan tidak berkembang, menurut Collins, laki-laki tidak menonjol sebagai komunitas milter, sehingga pola gender pada masyarakat yang seperti inicenderung bersifat egaliter. (lihat: Nassaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender) ibid.., h. 139
[19] Hal ini ditandai dengan larangan membunuh anakperempuan disebabkan factor ekonomi pada QS, al-Isra’ 17:31 juga pada Qs. an-Nahl 15:58
[20] Sebagaimana yang tertera pada QS, al-Taubah 9: 17.
[21] Khaled M. abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, (Jakarta: serambi, 2004), h. 347
[22]Fitnah mengandung sebuah gagasan bahwa hal atau perilaku tertentu menghasilkan sejenis dorongan seksual yang berpotensi menimbulkan dosa. (Khaled M. abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan. Ibid h. 343)
[23] Secara umum ajaran Islam dapat dibagi menjadi ajaran yang bersifat universal dan ajaran yang bersifat particular (furu’). Dimaksud universal adalah, ajaran yang berlaku kapanpun dan dimanapun, sedang particular adalah ajaran yang bersifat temporal, local sehingga tidak harus berlaku kapanpun dan dimanapun. Hal in menunjukkan bahwa dalil (hadits) yang bersifat particular dengan alasan adanya hadits yang lebih universal, disertai faktor perbedaan sosial-budaya, atau bisa juga pertimbangan Naskh dan mansukh, bisa tidak diberlakukan dalalahnya.
[24]Ulama  klasik yang menolak pembatalan shalat dengan merubah makna, dalam pemaknaannya haditsnya  cenderung bersifat empiris, sedangkan yang meyakini batalanya shalat bersifat normative.
[25]Deklarasi Universal HAM Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)
[26]Terkait HAM Rasulullah Saw jauh sebelumnya, bersabda: “sesungguhnya darahmu (hidupmu/life), hartamu (property), serta kehormatanmu (dignity) itu suci, seperti sucinya harimu ini, di bulanmu ini, dan di negerimu ini, sampai kamu bertemu dengan Tuhanmu dihari kamat” Sabda belaiu lagi : “wahai manusia, ! ingatlah Allah,! Ingatlah Allah!, ingatlah Allah! Berkenaan dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah! Berkenan dengan orang yang kamu kuasai ditangan kananmu (budak buruh dll.). berikan mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah pakaian seperti yang kamu kenakan! Janganlah kamu bebani dengan beban yang mereka tidak mampu memikulanya, sebab mereka adalah daging, darah dan makhluq seerti kamu! Ketahuilah, bahwa orang yang bertindak zalim kepada mereka, maka akulah musuh orang itu dihari kiamat, dan Alah adalah hakim mereka.” (al-Khatib, 1373 H: 313) (Lihat: Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syari’ah dan HAM Dalam Islam,)
[27]Menurut An-Naim, pendekatan yang efektif untuk mencapai pembaruan hukum Islam yang memadai dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia universal adalah dengan mengidentifikasi teks-teks al-Quran dan Sunnah yang tidak sesuai dengan hak-hak asasi manusia universal dan kemudian menjelaskannya dalam konteks historis. Pada saat yang bersamaan dicari pula teks-teks yang mendukung hak-hak asasi manusia universal sebagai basis prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum Islam yang secara sah dapat diterapkan sekarang. (Lihat: Abdullahi Ahmed An-Naim, “Syariah dan Isu-isu HAM”, dalam Charles Kurzman (ed.). Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum. (Jakarta: Paramadina, 2001),). hlm.  381.
[28] Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syari’ah dan HAM Dalam Islam.Ibid.., h.