Minggu, 23 Juli 2017

TEORI SUBJEKTIF DAN OBJEKTIF TENTANG KEINDAHAN


Oleh: Adib Hasani dan Saiful Mustofa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Estetika sebagai kajian filsafat tergolong dalam lingkup aksiologi. Ia berdekatan dengan etika, tetapi berbeda satu sama lain. Etika berkaitan dengan nilai baik dan buruk, sedagkan estetika berbicara masalah nilai indah dan jelek. Sebagaimana yang dikutipkan Mudji Sutrisno dan Crist Verhaak dari Hospers, estetika adalah the branch of philospphy that is concerned with the analysis of concepts and the solution of problems that arise when one contemplates aesthetic objects of aesthetic experience; thus, it is only after aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to delimit the class of aesthetic objects.  (estetika adalah cabang filsafat yang membahas tentang analisis dari konsep-konsep dan solusi atas problem yang muncul ketika seseorang merenungkan objek pengalaman estetik, yang itu (dilakukan) setelah  pengalaman estetik digolongkan secara cukup bahwa seseorang mampu untuk membatasi kelas objek-objek estetik)
Dengan demikian, dalam estetika membahas tentang keindahan-keindahan (kondisi estetis), bahkan di beberapa tempat antara estetik dengan keindahan relatif disamakan. Setidaknya, kami belum menemukan kata estetik disamakan dengan kejelekan--kecuali di dalam bukunya Dharsono saat menerangkan estetika di abad 20 ada yang memasukkan istilah “kejelekan” kedalam estetika. Kemudian keindahan itu muncul sebagai kata sifat yang melekat pada objek dan oleh para filosof estetika difahami sumber keindahan terdapat pada objek-objek. Bersebrangan dengan itu, di kubu lain meyakini bahwa yang lebih tepat sumber keindahan muncul dari dalam subjektifitas seseorang bukan objek. Dua pandangan ini selanjutnya dinamai teori objektif keindahan dan teori subjektif keindahan yang bersifat sama rumitnya karena abstrak dan debatable. Untuk itu, dalam makalah ini kami berusaha memaparkan kedua teori itu agar mendapatkan pemahaman yang lebih jelas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan keindahan?
2. Bagaimana teori subjektif keindahan?
3. Bagaimana teori objektif keindahan?

C. Tujuan pembahasan
1. Memahami keindahan
2. Mengetahui teori objektif keindahan
3. Mengetahui teori subjektif keindahan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Mengenal Keindahan
Sebelum membahas tentang keindahan lebih jauh, kiranya tidaklah salah terlebih dahulu bertanya pada diri sendiri tentang “apa yang disebut dengan indah itu?”. Ketika mendengar kata “indah” tentu yang terbesrit dibenak adalah sesuatu yang menyenangkan atau kesenangan. Seperti halnya ketika melihat sebuah lukisan panorama pegunungan, serasa kesejukan, kedamaian, yang ada di gambar tersebut merambah di hati sehingga menimbulkan kesenangan tersendiri. Namun, benarkah kesenangan adalah hakikat dari indah yang sebenarnya? Bila iya, kira-kira bisakah seseorang merasakan keindahan tetapi tidak merasakan kesenangan, atau sebaliknya, ia merasa senang tetapi tidak merasa indah? Sepertinya sering juga ditemukan seseorang menemukan keindahan, tetapi karena situasi tertentu ia merasa bersedih, atau lebih tepatnya merasa trenyuh. Ada lagi seorang anak yang baru belajar beribadah puasa, saat mendengar adzan magrib ia merasa sangat senang hingga bernafsu untuk makan dan minum sebanyak-banyaknya. Ketika demikian, tentunya ia tidak menemukan keindahan melainkan kesenangan semata. Hal ini mengartikan bahwa antara indah dan senang sebenarnya berbeda meskipun bisa juga saling terkait.
Menemukan hakikat keindahan memang lah sulit, begitu juga dengan mendefinisikannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Louis O. Katsof, mendefinisikan keindahan sama halnya dengan menutup-nutupi sejumlah kesulitan.  Sehingga rumusan yang muncul terkait keindahan tidak selalu baku, selalu saja mengalami perubahan-perubahan. Nampaknya, yang lebih tepat dalam rangka mengenal keindahan adalah dengana menggunakan metode dialektika Sokrates, yaitu mengungkapkan pendapat para tokoh maupun filosof tentang dari berbagai masa.
1. Plato  (428 SM-348 SM),
Menurut Jaeni B. Wastap, Plato merupakan filsuf  pertama  di  dunia  Barat  yang  di dalam  seluruh karyanya  mengemukakan  pandangan  yang meliputi  hampir  semua  pokok  estetika. Pandangan itu secara umum dapat dibagi menjadi dua. Pertama, Pandangan  yang mengatakan bahwa  yang indah  itu  adalah  benda  material,  umpamanya tubuh  manusia.  Selanjutnya dengan perenungan terhadap pengetahuan tubuh lama-kelamaan, manusia merasa  diajak  untuk  ingat  pada  yang  lebih indah  daripada  tubuh  manusia,  yaitu  jiwa. Setelah itu meningkat lagi kepada pengetahuan tentang idea yang indah. Itulah yang  paling  indah,  sumber  segala  keindahan. Pandangan  kedua plato  menyatakan  bahwa  yang  indah  dan  sumber segala  keindahan  adalah  yang  paling sederhana. Hal ini memang sejalan dengan pandangannya tentang perlunya pengendalian hawa nafsu yang sejatinya merupakan sumber dari ketidakbahagiaan.
2. Aristoteles  (384 SM-322 SM)
Aristoteles merupakan salah seorang murid  Plato. Pandangannya tentang keindahan mirip dengan gurunya, meski dari sudut pandang yang sangat berbeda. Keindahan,  baginnya  menyangkut  keseimbangan  dan keteraturan  ukuran,  yakni  ukuran  material. Aristoteles menolak pandangan Plato  yang  menyatakan  bahwa  karya  seni  hanya sekadar “tiruan belaka”, yang maksudnya ditujukan pada  seni  pertunjukan  drama  dan  musik  atau  tari.
3. Aliran  Stoa  dan Epikurisme
Dalam lingkungan  Stoa,  terutama  menyoroti  seni  sastra; syair dan sajak. Seni yang dihargai adalah seni yang memiliki keteraturan, simetris karena hal itu mendukung dan menimbulkan ketentraman jiwa  (apatheia).  Sedangkan isi  keindahan menurut  mazhab  Epikurisme  bersifat  material yang antara lain demi pendidikan dan penghargaannya lebih pada kenikmatan material.
4. Plotinus (205 M-270 M)
Plotinus adalah seorang pendiri ajaran neoplatonisme. Pendapatnya tentang keindahan  berkaitan dengan konsep emanasi  (pengaliran) yang diusungnya.  Emanasi merupakan  pandangan  bahwa  semua  hal  dari Yang Maha Esa dan akan kembali semuanya kepada-Nya.  Melalui  emanasi,  Plotinus  mengatakan  bahwa  keindahan yang didapat seseorang dalam kenyataan duniawi dipertanyakan oleh seseorang tersebut sumber  kehadirannya.  Setelah  pengalaman keindahan  itu  didapat,  Plotinus  menolak  pandangan  Stoa  yang  simetris  dan  menganggap tidak  perlu  serta  tidak  memadai.  Yang  membuat  indah  baginya  bukan  warna,  nada,  atau suatu bentuk yang homogen. Baginya, pengalaman  akan  keindahan  justru  terbentuk  dari adanya  persatuan antara  pelbagai bagian  yang berbeda  satu  sama  lain.  Persatuan  itu  terjadi jika  ada  heterogenitas  bukan  homogenitas. Keindahan   terjadi  jika  sesuatu  mendekati Yang  Esa  sebagai  sumber  dan  tujuan  segalagalanya  dan  ikut  ambil  bagian  di  dalamnya, maka semakin indahlah sesuatu itu.
5. Agustinus  (353 M- 430 M)
Agustinus sebenarnya termasuk pengikut neoplatonisme. Menurutnya sesuatu  dikatakan  indah  melalui  pengamatan yang sesuai dengan apa yang seharusnya ada di dalamnya sebagai suatu keteraturan. Sebaliknya,  sesuatu  dikatakan  jelek  jika  di dalamnya  berupa  ketidakteraturan.  Agar  kita mampu  mengamati  kedua-duanya,  kita memerlukan  idea  tentang  ”keteraturan  ideal” yang  hanya  kita  terima  lewat  terang  illahi  (divina  iluminatio)
6. Thomas Aquinas (1225 -1274)
Aquinas berpendapat,  keindahan  berkaitan dengan  pengetahuan seseorang menyebut  sesuatu indah  jika  sesuatu  itu  menyenangkan  mata sang  pengamat.  Keindahan  terjadi  jika pengarahan  si  subjek  muncul  lewat kontemplasi  atau  pengetahuan  inderawi terutama  indera  visual  dan  pendengaran.  Keindahan harus  mencakup  tiga  kualitas yaitu,  integritas (kelengkapan),  proporsi  (keselarasan  yang benar), dan kecerlangan”.
Selama zaman Yunani klasik hingga zaman Thomas Aquinas (abad pertengahan) corak filsafat idealisme mendominasi bahkan menjadi kekuasaannya pada masa itu. Meskipun sebenarnya tidak sedikit juga tokoh yang lebih pada pola pikir realisme sebagaimana yang  diajarkan Aristoteles. Dua model filsafat inilah yang kemudian memandang sumber keindahan berbeda. Sebagaimana telah disinggung di atas, sedikitnya ada dua pendapat mendasar tentang keindahan, yaitu keindahan yang berpusat pada jiwa atau subjektifitas manusia dan keindahan yang perpusat pada objek-objek indra.
Berkaitan dengan definisi keindahan itu sendiri dari beberapa tokoh di atas sepertinya tidak bis dirumuskan secara universal dan terperinci. Lagi pula apabila memaksakan diri untuk merumuskan definisi dari apa yang diungkapkan para tokoh di atas, malah akan mendistorsi keindahan itu sendiri. Sejauh ini keindahan masih misterius. Menurut penulis, lebih tepat bersikap seperti Mohammad Hatta, yang—sebgaimana dikutip Dedi Supriyadi-- mengatakan bahwa dalam belajar filsafat lebih baik tidak mendefinisikannya terlebih dahulu, apabila sudah banyak membaca nanti dengan sendirinya akan menangkap definisi itu.

B. Teori Subjektif Keindahan
Berbicara tentang subjektif-objektif ini terkadang memang dapat memunculkan salah pemahaman. Setidaknya ada dua model pemahaman yang muncul dari istilah objektif dan subjektif. Pertama objektif yang didefinisikan sebagai sifat kenetralan seseorang dalam memandang sesuatu (sesuai dengan realitas objeknya), sedangkan subjektif adalah keterpengaruhan pandangan seseorang dengan ideologi, nilai-nilai, maupun kepentingan dirinya sendiri dalam menginterpretasikan sesuatu. Kedua,  objektif dimaksudkan sebagai pemahaman akan objek itu bereksistensi dan dia memiliki kualitas-kualitas, sedangkan subjektif merupakan pemahaman akan diri yang memiliki potensi-potensi dan dengannya ia memahami objek-objek. Keduanya seolah memang tidak berbeda, akan tetapi bila dipahami sebenarnya ada perbedaan jelas, subjektif-objektif yang pertama sebagai sudut pandang sedangkan subjektif-objektif yang kedua sebagai objek kajian. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan subjektif-objektif menggunakan terminologi yang kedua.
Teori subjektif merupakan kelanjutan dari pemikiran idealisme Plato. Menurut Jakob Sumardjo, ini lebih tampak jelas terjadi semenjak zaman reneisance (abad 16).  Sebagaimana sejarahnya, pada zaman ini ada usaha untuk kembali kepada sepirit filsafat Yunani klasik, sehingga pada saat itu ada pembacaan dan pengkajian kembali terhadap pemikiran-pemikiran para filosof. Dua filosof yang sangat berpengaruh adalah Plato dan Aristoteles.
Pandangan plato yang mengatakan bahwa keindahan adalah ketika jiwa bertemu kembali dengan alam idea, diikuti oleh beberapa tokoh seperti Marcilio Ficino, Picodella Mirandola, Michelangelo, dan lain-lain. Ficino berpandangan bahwa sifat karakteristik seni adalah berkaitan dengan kemampuan melepaskan diri dari hal-hal kebendaan, dengan cara kontemplasi. Dalam kontemplasi, jiwa meninggalkan hal-hal badani, sehingga menyatu dengan bentuk idea, saat itulah terjadi pengalaman keindahan. Disamping intu, dengan formula lain Michelangelo bersaha menjelaskan keindahan dengan lebih rasional, menurutnya keindahan terletak pada kecermatan observasi berdasarkan hitungan aritmatika tertentu.
Aliran idealisme memang memiliki pengaruh luas dalam meletakkan sumber keindahan pada subjektifitas. Boleh dikata terhitung semenjak Plato hingga kini aliran ini banyak dipercaya menempatkan keindahan pada tempatnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri terjadi perbedaan-perbedaan dalam pengkajiannya. Misalnya saja, idealisme zaman reneisance berbeda dengan idealisme zaman pencerahan. Zaman reneisance dengan semangat rasionalisme-nya berusaha memahami keindahan dengan rasional, meskipun pada akhirnya berujung pada kegagalan. Mereka (khususnya para pengikut Descartes 1596-1650), merasakan kesulitan menerapkan prinsip clear and distinct pada keindahan, hingga mereka memunculkan istilah clear and confused. Kemudian di era Imanuel Kant (Pencerahan), ada semangat emansipasi yang kuat antara subjektifitas dengan objektifitas. Selain meyakini bahwa sumber keindahan dari das Ding a¬n sich (benda pada dirinya sendiri), ia juga berusaha untuk memeriksa sarat-syarat manakah kiranya yang perlu dipenuhi supaya manusia dapat mengucapkan suatu putusan tentang keindahan.
Apa yang telah diusahakan Kant tersebut, kemudian diteruskan oleh Hegel (1770-1831) dengan penyikapan baru terhadap apa yang disebut kant das Ding a¬n sich. Istilah itu awalnya dianggap sebagai kenyataan tetapi tidak dapat dikenal, kemudian oleh Hegel dipahami sebagai hasil buah perkembangan idea semata-mata. Sebagaimana dijelaskan oleh Fx. Mudji sutrisno dan Christ Verhaak, Hegel menjelaskan tentang keindahan sebagaimana berikut:
Suatu idea adalah moment (unsur dialektis) dalam perkembangan roh (“Geist”, “spirit”) menuju kesempurnaan. Momen itu dapat ditemukan dalam pengalaman manusia kedudukannya diambang antara yang jasmani dan rohani (materi menunjukkan roh, roh menjelma dalam materi, tepat pada saat peralihan yang bermakna ganda itu dialami), dan bukan itu saja, karena sekaligus momen atau saat kebenaran (pengertian) dan kebaikan (penghendakan) bersentuhan satu sama lain, (maka tidak wajar masalah arti atau ‘nilai etis’ dikemukakan dalam konteks kesenian). Momen itu tidak pernah diami atau ditunjukkan dalam bentuk yang “sempurna” hanya dalam bentuk “penyimpangan-penyimpangan indah” dari momen keseimbangan penyentuhan atau peralihan itu. dengan demikian, muncullah kategori-kategori estetis, seperti “yang sublim” (roh menang atas materi), “yang tragis” (roh kalah terhadap materi), “yang lucu” (arti menang atas nilai), “yang jelita” (nilai mengalahkan arti), tentu saja semua itu dalam batas keindahan itu sendiri, malah yang sublim memiliki unsur tragisnya dan sebaliknya. Pun pula yang lucu dan yang jelita (yang pertama dilihat juga sebagai yang mewakili kepriaan, sedangkan yang kedua kewanitaan).
Di abad 20 ada tokoh yang berusaha menjelaskan asal usul keindahan secara lebih jelas. Dia juga merupakan seorang idealis yaitu Benedetto Croce (1866-1952). Seperti kaum idealis lainnya, Croce mengutamakan jiwa serta kegiatan-kegiatannya sebagai dasar dari kenyataan. Ia memiliki karya yang berjudul Aisthetics, yang berpengaruh dalam wacana estetika modern. Ia menganalisis berbagai kegiatan kejiwaan hingga akhirnya memunculkan kesimpulan, “Seni adalah kegiatan kejiwaan”.
Apabila seni adalah kegiatan kejiwaan, tentunya, seni bukanlah stik yang memukul snare drum, mulut yang meniup seruling , ataupun syair sebagai tulisan, karena semua itu bersifat fisik. Sebagaimana dijelaskan oleh Katsoff, Croce berargumentasi bahwa apabila seni dijadikan objek fisik, maka seni akan kehilangan nilai estetiknya. Misalkan, ketika menemukan satu bait puisi tanpa mendalami maknanya, hanya diteliti bentuknya atau jumlah barisnya, maka tentu tidak akan ditemukan unsur seni pada puisi itu.
Bagi Croce, intuisi tidak berusaha mendapatkan pengetahuan akali. Perhatian intuisi hanyalah menyangkut citra sebagai citra. Dengan kata lain, ini merupakan bentuk dari pengetahuan terhadap diri sendiri. Artiya, seni merupakan hasil kegiatan intuisi yang menyangkut pula perasaan. Seni bukanlah  sekadar kegiatan menghasilkan citra melainkan suatu kesatuan yang dihayati oleh perasaan.
Berkaitan dengan keindahan, Croce sebagaimana dijelaskan oleh Kattsoff mengajukan teori sebagai berikut:
“Manakala kita menangkap citra yang murni satu demi satu, tanpa memikirkan alasan pembenarannya atau tanpa menilainya, bahkan tanpa mempersoalkan apakah sesuai dengan kenyataan atau tidak, maka menurut Croce, kita telah mangungkapkan kepada diri kita sendiri atau mengetahui secara intuitif keadaan jiwa kita sendiri dan telah mengalami keindahan.”
Dengan demikian, sumber keindahan menurut teori Croce murni dari jiwa atau subjektifitas setiap orang.
Teori Croce tersebut kemudian dikoreksi oleh George Santayana yang berusaha menemukan kaitan antara subjektifitas, objek dan keindahan. Secara mendasar, Santayana memiliki pemahaman sama dengan Croce bahwa keindahan dan seni sebagai hal yang berhubungan secara intrinsik dengan manusia. Akan tetapi, dengan jalan analisis yang  lain,  memunculkan pandangan yang berbeda.
Pendekatan yang digunakan Santayana sebenarnya lebih pada empirisme. Ia berpendapat bahwa keindahan sangat bergantung pada pencerapan indera, maka dari itu keindahan mensyaratkan adanya objek. Misalnya pada ungkapan-ungkapan, “pantai itu indah”, “musik itu indah”, “bunga itu indah”, selalu memerlukan objek agar terungkap keindahan. Meskipun demikian, keindahan bukanlah kualitas objek, ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya hanyalah penyedarhanaan saja. Ketika mengatakan “Bunga itu indah”, sebenarnya gejala yang muncul pada indra bukanlah indah yang melekat pada bunga itu, akan tetapi hanya kualitas-kualitas yang melekat padanya seperti warna yang kuat, pola lekukan yang teratur, kesegaran, baru setelah subjek melihat hal itu menambahkan satu kualitas lagi, “indah”. Sehingga, seperti Croce keindahan tetap bersumber pada subjek bukan objek.
Hal yang membedakan antara Santayana dan Croce adalah pada pembatasan lingkup indah hanya pada segala sesuatu yang dapat dicerap indra. Teori Santayana selanjutnya adalah indah berkaitan dengan rasa nikmat. Artinya, segala sesuatu yang indah pasti memiliki kenikmatan di dalamnya, tetapi ini tidak bisa dibalik menjadi segala sesuatu yang nikmat pasti memiliki keindahan. Hal ini karena Santayana sudah membatasi bahwa keindahan hanya berkaitan dengan objek, sehingga baginya,  “keindahan merupakan rasa nikmat yang dianggap sebagai kualitas barang sesuatu” .

C. Teori Objektif Keindahan
Sebanernya usaha emansipasi dari subjek dan objek yang dilakukan oleh beberapa kaum idealisme seperti Kant, Hegel, dan juga Santayana tersebut di atas memberikan afirmasi bahwa objek juga memiliki kualitas sehingga bisa disebut indah. Hanya saja, mereka tetap berpendirian bahwa sumber dari keindahan itu sendiri subjektif. Perhatian terhadap objek ini lebih mendalam dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memang meyakini bahwa sumber keindahan berasal dari objek atau sering disebut dengan teori objektif tentang keindahan. Teori objektif keindahan berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kualita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan terlepas dari orang yang mengamatinya.
Di abad reneisance, teori ini muncul dari kalangan Aristotelian. Mereka menekankan keindahan pada hal-hal yang jasmani. Salah satu tokoh utamanya adalah Alberti (1409-1472), menyatakan bahwa seni (keindahan) adalah harmoni antara unsur-unsurnya, dan setiap perubahan dalam unsur terkecil dapat merusak seni tersebut. Ia melahirkan persoalan sense of beauty, sebagai kemampuan seseorang untuk dapat menikmati benda.  Artinya, benda merupakan sumber keindahan sedangkan manusia hanya memiliki perasaan untuk menangkap keindahan tersebut.
Ada pendapat muncul dari seorang rasionalis, Maritain. Pandangannya cukup unik, karena ia berusaha mendekati keindahan dengan menggunakan akal. Tanpa mengingkari peran dar indera, ia berpendapat bahwa “keindahan merupakan sesuatu di dalam objek yang dapat menimbulkan kesenangan pada akal, yang semata-mata karena keadaannya sebagai objek tangkapan akali. Objek bisa menimbulkan kesenangan terhadap akal ketika objek tersebut memiliki kesempurnaan tertentu seperti yang dimiliki akal. “Akal merasa senang dengan sesuatu yang indah karena di dalam sesuatu yang indah ia menemukan dirinya, mengenal dirinya kembali dan dan berhubungan dengan pancarannya sendiri”.
Ia juga merumuskan tentang syarat-syarat suatu objek agar dikatakan indah oleh akal. Dalam hal ini, objek harus menyuguhkan apa yang menjadi selera akal. Pertama,  Keutuhan atau kesempurnaan, ini berdasarkan alasan bahwa akal selalu merasa gelisah apabila ia tidak sempurna. Kedua, salah satu pekerjaan akal adalah selalu berusaha menertibkan segala sesuatu menjadi suatu kesatuan, maka dari itu ketertiban dan ketunggalan juga menjadi syarat. Ketiga, hal yang menjadikan akal penasaran adalah segala sesuatu yang kabur, maka dari itu ia suka dengan kejelasan.
Selanjutnya, sebagaimana diungkapkan Kattsoff, Maritain berpendapat bahwa keindahan itu terletak pada bentuk suatu objek. Sebagaimana yang sudah diketahui, objek selalu memiliki materi dan bentuk dan pada bentuk inilah akal budi memahami objek. Terutama objek yang indah yang memiliki bentuk dalam sifat utuh atau sempurna, tertib, dan jelas.
Diantara Aristotelian juga ada yang bersifat moderat menyikapi antara keindahan objektif dan subjektif. Ada satu persoalan ketika sumber keindahan terletak pada objek, misalnya, seseorang bisa saja berpendapat kucing itu makhluk yang indah, kemudian orang lain  bisa jadi malah merasa geli terhap kucing. Mengenai hal ini, Campamela berkomentar bahwa materi seni atau hal-hal eksternal seni itu netral tidak dengan sendirinya indah atau tidak indah. Ia menekankan pentingnya suatu analisis untuk merebut keindahan pada suatu objek. Maksudnya, suatu objek akan ditemukan keindahannya apabila dianalisis sedemikian rupa. Salah santu contohnya adalah urin merupakan sesuatu yang tidak indah bagi kebanyaan orang, akan tetapi, bagi seorang dokter yang sering memeriksa dan menemukan gambaran kesehatan dari urin akan menemukan keindahannya.
Kemudian, lebih mantab lagi, Clive Bell Sebagaimana dikutib olah Mudji Sutrisno dan Chris Verhaak merumuskan dictum estetiknya sebagai berikut:
“Keindahan (apa itu keindahan) hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan.”

Dalam hal ini, pengalaman atas wujud sekaligus makna dari suatu objek sangat mempengaruhi keindahan bagi seseorang. Pemikiran ini mirip dengan pendapat John Dewey yang  memahami bahwa keindahan merupakan kualitas dari pengalaman. Sedangkan pengalaman Menurut Dewey seperti yang diungkapkan Kattsof adalah  adalah, “akibat, tanda, dan imbalan yang terjadi karena adanya keadaan saling mempengaruhi antara organisme dengan alam lingkungan.  Apabila keadaan tersebut terjelma secara penuh, hal ini merupakan suatu penyelidikan bentuk dari keadaan saling mempengaruhi menjadi keikut sertaan dan keguyuban.” Berpijak pada definisi pengalaman ini, Dewey menjelaskan bahwa asal-usul  keindahan dari kualitas pengalaman yang itu didapatkan dari hubungan-hubungan yang terjadi di anrara organisme dengan objek-objek yang terdapat pada alam lingkungan secara teratur.  Pada titik ini, sebenarnya Dewey sudah berada di pihak tengah di antara penganut teori subjektif dan teori objektif.

BAB III
KESIMPULAN

Seperti cabang-cabang filsafat yang lain, estetika dalam perkembangannya juga sangat dipengaruhi dua filosof besar Yunani, Plato dan Aristoteles. Plato yang dengan filsafata idealisme-nya menetapkan ontologi bahwa alama idea adalah alam yang sebenarnya, sehingga keindahan yang sebenarnya juga berada pada alam itu. Idealisme lebih mengutamakan jiwa sebagai esensi yang berpengaruh pada diri setiap orang. Pemahaman ini kemudian menjadi landasan para pemikir teori subjektif keindahan. Di abad 20 muncullah tokoh estetika Benedetto Croce dan juga George Santayana, keduanya berpendirian teguh bahwa sumber keindahan ada pada subjektifitas manusia. Meskipun sebenarnya Santayana juga mengamini adanya pengeruh kualitas objek yang dicerap seseorang terlebih dahulu, akan tetapi sumber keindahan baginya tetap muncul dari diri orang tersebut.
Pandangan bersebrangan kebanyakan muncul dari kelompok Aristotelian yang meyakini bahwa sumber dari keindahan adalah objek itu sendiri. Objek memang memiliki kualitas-kualitas keindahan sedangkan subjek tinggal menangkapnya saja. Keindahan objek disini dapat diidentifikasi, diukur, dan ditetapkan pola-pola tertentu sehingga bisa dimunculkan keindahan yang bersifat lebih universal.

DAFTAR PUSTAKA

Darsono, Estetika, Bandung: Rekayasa Sains, 2007.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, trj. Soejono Soemargono, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarnnya, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sutrisno, Mudji, Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1993.
Wastap, Jaeni B., Dari Filsafat Keindahan Menuju Komunikasi Seni Pertunjukan, Acta diurnA│Vol 6 No 1 │2010.