BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sikap keagamaan
merupakan perwujudan dari pengalaman dan penghayatan seseorang terhadap agama,
dan agama menyangkut persoalan bathin seseorang, karenanya persoalan sikap
keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari kadar ketaatan seseorang terhadap
agamanya.
Sikap keagamaan
merupakan integrasi secara kompleks antara unsure kognisi (pengetahuan), afeksi
(penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama pada diri seseorang,
karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada seseorang.
Sikap keagamaan
sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan berupa fithrah beragama; dimana manusia
punya naluri untuk hidup beragama, dan faktor luar diri individu, berupa
bimbingan dan pengembangan hidup beragama dari lingkungannya.
Kedua faktor
tersebut berefek pada lahirnya pengaruh psikologis pada manusia berupa rasa
takut, rasa ketergantungan, rasa bersalah, dan sebagainya yang menyebabkan
lahirnya keyakinan pada manusia. Selanjutnya
dari keyakinan tersebut, lahirlah pola tingkah laku untuk taat pada norma dan
pranata keagamaan dan bahkan menciptakan norma dan pranata keagamaan tertentu.
Dalam kehidupan
di masyarakat, sering ditemui perilaku/ sikap keagamaan yang menyimpang, maka
dalam makalah ini dengan kajian psikologis, akan dibahas tentang hal tersebut,
berikut dengan penyebabnya, yang diharapkan dari sini dapat digali berbagai
alternatif yang dimungkinkan untuk menghindari penyimpangan tingkah laku
keagamaan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari perilaku keagamaan yang
menyimpang?
2. Apa
landasan teori psikologis mengenai perilaku keagamaan menyimpang?
3. Apa faktor
yang mendorong terjadinya perilaku keagamaan menyimpang?
4. Bagaimana solusinya untuk menghindari perilaku
keagamaan menyimpang?
C. Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diperoleh tujuan sebagai
berikut:
1. Memahami
pengertian serta landasan teori penyimpangan perilaku keagamaan yang menyimpang.
2. Mengetahui beberapa faktor terjadinya perilaku
keagamaan yang menyimpang.
3. Mengetahui alternative untuk menghindari perilaku
keagamaan yang menyimpang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perilaku Menyimpang
Perilaku
menyimpang ialah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut
oleh masyarakat atau kelompok. Perilaku menyimpang disebut nonkonformitas.
Perilaku yang tidak menyimpang disebut konformitas, yaitu bentuk interaksi
seseorang yang berusaha bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang
bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat.[1]
Prof. Dr.
Kasmiran Wuryo M.A. membagi norma sebagai tolok ukur tingkah laku dilihat dari
penduduknya, menjadi beberapa macam, antara lain: norma pribadi, norma grup
(kelompok), norma masyarakat, norma susila, dan sebagainya. Dengan demikian,
norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok ukur
tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan
nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.
Menurut Kasmiran, menurut sifat dan sumbernya norma itu dapat
digolongkan menjadi dua jenis, yaitu:
1.
Tradisional
Tradisi merupakan norma yang proses perkembangannya berlangsung
secara otomatis dan nila-nilai yang membentuknya berasal dari bawah. Karena
proses perkembangannya cukup lama, sehinnga sering tidak diketahui lagi sumber
serta alasan tentang mengapa suatu perbuatan selalu dilakukan pada waktu-waktu
tertentu yang diyakini kebenarannya. Bahkan, terkandung dibela secara fanatik,
sehingga orang menjadi takut jika tidak melakukannya. Norma yang dalam tradisi
semacam ini menurut Kasmiran Wuryo, tidak lagi bersifat rasional melainkan
sudah bersifat tradisional dogmatic dan supernatural.
2.
Formal
Norma ini melalui pembentukan dari atas dan bersumber dari berbagai
ketentuan formal yang berlaku di masyarakat. Sumbernya dapat berupa
undang-undang peraturan ataupun kebijaksanaan formil dari pengusaha masyarakat
yang materinya merupakan norma yang dijadikan tolok ukur salah benarnya tingkah
laku dan kehidupan masyarakat.
Dari pernyataan
di atas terlihat bahwa, baik norma tradisional maupun formal bersumber dari
nilai-nilai luhur yang diperkirakan dapat dijadikan tolok ukur tingkah laku.
Dalam masyarakat beragama, walaupun secara tegas sulit untuk diteliti, namun
diyakini norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tak mungkin lepas dari
nilai-nilai luhur agama yang mereka anut. Karena itu, dalam kondisi yang bagaimanapun, bentuk
tingkah laku yang menyimpang masih dapat diketahui dan dibedakan dari
norma-norma yang berlaku.[2]
Norma dan nilai
bersifat relatif dan mengalami perubahan dan pergeseran. Suatu tindakan di masa
lampau dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sekarang hal itu dianggap biasa.
Contoh, dahulu seorang anak apabila diberi nasihat oleh orang tuanya, hanya
menunduk saja. Akan tetapi, anak sekarang ketika berinteraksi dengan orang
tuanya bisa mengemukakan pendapatnya. Begitu pula ketentuan-ketentuan sosial di
dalam suatu masyarakat berbeda, dengan ketentuan-ketentuan sosial di dalam
masyarakat lain. Akibatnya, tindakan yang bagi suatu masyarakat merupakan
penyelewengan, bagi masyarakat merupakan suatu tindakan yang biasa. Umpamanya:
Masyarakat patrilineal tidak membolehkan perkawinan yang masih bersaudara,
tetapi dalam masyarakat lainnya bisa dilaksanakan. Hal itu berarti bahwa norma
dan nilai bersifat relatif.
Perilaku
menyimpang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dalam
masyarakat. Pada masyarakat tradisional, proses penyesuaian sangat kuat. Dalam
masyarakat pedesaan, tradisi dipelihara dan dipertahankan. Warga desa cenderung
tidak mempunyai pemikiran lain, kecuali menyesuaikan diri dengan norma-norma
yang berlaku, yaitu berdasarkan ukuran yang telah dijalankan oleh nenek
moyangnya.
Masyarakat
perkotaan mempunyai kecenderungan berupa menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang ada. Dengan globalisasi, komunikasi, informasi, dan
teknologi, masyarakat kota dimungkinkan melakukan penyimpangan yang lebih besar
dibandingkan dengan masyarakat desa. Hal ini terjadi karena setiap individu
kurang saling mengenal dan kurang adanya interaksi, sehingga mereka tidak tahu
urusan orang lain. Kontrol sosial dalam masyarakat pedesaan tidak dapat
diterapkan di masyarakat perkotaan.[3]
B.
Pembentukan dan Penyimpangan Sikap Keagamaan
Dr. Mar’at mengemukakan ada 13 pengertian sikap, yang dirangkum menjadi 4
rumusan berikut:
Pertama sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan
interaksi yang terus menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan
senantiasa berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun
ide, sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu
terhadap obyek.
Kedua, Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang
tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan
memiliki kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu,
tergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu
mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok.
Ketiga, sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu,
karena ia merupakan bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu.
Keempat sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai
konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap
merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang
sempurna, atau bahkan tidak memadai.
Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan
predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu
yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap
merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara komplek. Komponen kognisi akan menjawab apa yang dipikirkan atau
dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang
dirasakan terhadap obyek. Komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau
kesiapan untuk bertindak terhadap obyek.
Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah
motif, yang berdasarkan kajian psikologis dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif
yang terkandung dari sebuah sikap. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt
behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert behavior).
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari
proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi
terhadap sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan
pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta
tergantung kepada obyek tertentu. Karena Sikap dipandang
sebagai perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan
hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu.
Pemberian dasar jiwa keagamaan pada anak, tidaklah dapat dilepaskan dari
peran orang tua sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga. Pengenalan agama
sejak usia dini, akan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan kesadaran dan
pengalaman beragama pada anak tersebut. Karenanya adalah sangat tepat, Rasul
SAW menempatkan orang tua sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola
tingkah laku keagamaan seorang anak, sebagaimana sabdanya : “setiap anak
dilahirkan atas fithrah, dan tanggung jawab kedua orang tuannyalah untuk
menjadikan anak itu nashrani, Yahudi atau Majusi. Dimana
fithrah yang dapat diartikan sebagai potensi untuk bertauhid (dapat disebut
sebagai jiwa keagamaan), merupakan potensi physikis pada manusia, yang diakui
adanya oleh para ahli psikologi transpersonal. Aliran psikologi ini juga
mencoba melakukan kajian ilmiah terhadap demensi yang selama ini merupakan kajian
dari kaum kebathinan, rohaniawan, agamawan dan mistikus.
Jadi, keluarga sebagai lingkungan yang pertama ditemui anak, sangat berperan
dalam pembentukan pola perilaku/ sikap anak. Adanya perbedaan individu, pada
dasarnya disebabkan oleh perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi oleh
masing-masing.
Karena itu, pembinaan dan pengembangan fithrah sebagai potensi psikis
manusia, untuk melahirkan sikap dan pola tingkah laku keagamaan, dapat dibentuk
dengan mengkondisikan lingkungan sesuai dengan ketentuan norma-norma agama. Dan
norma-norma tersebut akhirnya terintegrasi dalam kepribadian individu yang
bersangkutan.
Walau norma-norma agama telah menjadi bagian dari kepribadian seseorang,
pada kenyataannya sering ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan, yang
disebabkan oleh sikap yang bersangkutan (baik perseorangan atau kelompok)
terhadap keyakinan agamanya mengalami perubahan.
Penyimpangan sikap keagamaan dapat menimbulkan tindakan yang negatif,
apalagi penyimpangan itu dalam bentuk kelompok. Memang, penyimpangan dalam
bentuk kelompok ini, sering diawali oleh penyimpangan individual, tapi
individual tersebut mempunyai pengaruh besar. Seseorang yang mempunyai pengaruh
terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari tingkat
pikir transenden. Akan sangat berpengaruh terhadap
penyimpangan kelompok.
Sikap keagamaan sangat erat hubungannya dengan keyakinan/ kepercayaan. Dan
keyakinan merupakan hal yang abstrak dan susah dibuktikan secara empirik,
karenanya pengaruh yang ditimbulkannya pun lebih bersifat pengaruh psikologis.
Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses
berfikir manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama
sebagai penyempurna proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan yang terdapat
di luar jangkauan fikir manusia. Karenanya penyimpangan
sikap keagamaan cenderung di dasarkan pada motif yang bersifat emosional yang
lebih kuat dan menonjol ketimbang aspek rasional.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada
tingkat fikir seseorang (tingkat fikir materialistik dan tingkat fikir
transendental relegius), sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru
kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok). Jika keyakinan itu
bertentangan atau tidak sejalan dengan keyakinan ajaran agama tertentu, maka
akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang.
Penyimpangan sikap keagamaan ini, disamping menimbulkan masalah pada agama
tersebut, juga sering mendatangkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat.[4]
C.
Teori-teori Penyimpangan
Teori
Differential Association (pergaulan yang berbeda) dikemukakan oleh Edwin H.
Sutherland. Ia berpendapat bahwa penyimpangan bersumber dari pergaulan yang
berbeda. Penyimpangan itu terjadi melalui proses alih budaya, yaitu proses
mempelajari budaya yang menyimpang. Contoh: proses perilaku homoseksual. Teori
lain mengenai penyebab perilaku menyimpang dikemukakan oleh Edwin M. Lemert
dengan teori Labeling. Seseorang yang baru melakukan penyimpangan pada tahap
pertama oleh masyarakat sudah diberi cap; sebagai penyimpang, misalnya disebut
penipu, pencuri, wanita nakal, dan orang gila. Dengan demikian, pelaku akan
terdorong untuk melakukan penyimpangan tahap berikutnya dan akhirnya akan
menjadi suatu kebiasaan.
Robert K. Merton
mengemukan teori yang menjelaskan bahwa perilaku menyimpang merupakan
penyimpangan melalui struktur sosial. Dalam struktur sosial dijumpai tujuan
atau kepentingan. Tujuan tersebut adalah hal-hal yang pantas dan baik.
Cara-cara buruk seperti menipu tidak dibenarkan. Perilaku menyimpang terjadi
kalau ada ketimpangan antara tujuan yang ditetapkan dan cara atau sarana untuk
mencapai tujuan. Teori Merton adalah struktur sosial yang menghasilkan tekanan
ke arah memudamya kaidah (anomie) dan perilaku menyimpang. Keadaan yang tanpa
kaidah dapat menimbulkan sikap mental yang negatif. Sikap mental itu misalnya
usaha mencapai tujuan secepatnya tanpa menurut kaidah yang ditentukan. Sikap
itu disebut menerobos atau potong kompas. Misalnya berusaha menjadi orang kaya
mendadak dengan cara mencuri.
Merton mendefinisikan lima tipe adaptasi terhadap situasi, sebagai
bserikut:
1.
Konfonnitas (conforinity), adalah perilaku yang mengikuti tujuan
dan mengikuti cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan (cara
konvensional dan melembaga).
2.
Inovasi (Innovation), adalah perilaku mengikuti tujuan yang
ditentukan masyarakat dan memakai cara yang dilarang oleh masyarakat, termasuk
tindakan kriminal.
3.
Ritualisme (ritualism), adalah perilaku seseorang yang telah
meninggalkan tujuan budaya, tetapi
masih berpegang pada cara-cara yang telah digariskan masyarakat, misalnya
upacara dan perayaan masih diselenggarakan, tetapi makna dan fungsinya telah
hilang.
4.
Pengunduran diri (retreatism), adalah meninggalkan baik tujuan
konvensional maupun cara pencapaian yang konvensional, sebagaimana yang
dilakukan oleh para pecandu obat bius, pemabuk, gelandangan, dan orang-orang
gagal lainnya.
5.
Pemberontakan (rebellion), adalah penarikan diri dari tujuan dan
cara-cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan
cara baru, misalnya para reformis agama.
D.
Faktor-faktor Tingkah Laku Keagamaan yang Menyimpang
Dalam kehidupan
sosial dikenal bentuk tata aturan yang di sebut norma. Norma dalam kehidupan
sosial merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi tolak ukur tingkah laku sosial.
Jika tingkah laku yang di perlihatkan sesuai dengan norma yang berlaku, maka
tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima, sebaliknya, jika tingkah laku
tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah
laku tersebut dinilai buruk dan ditolak. Tingkah laku yang menyalahi norma yang
berlaku ini disebut dengan tingkah laku yang menyimpang.[5]
Penyimpangan
tingkah laku ini dalam kehidupan banyak terjadi, sehingga sering menimbulkan
keresahan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat beragama penyimpangan yang
demikian itu sering terlihat dalam bentuk tingkah laku aliran keagamaan yang
menyimpang dari ajaran induknya. Adanya perilaku menyimpang terhadap suatu
agama tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yang secara garis besar
dibagi menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, di
antaranya:
1.
Kepribadian, secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan
mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang.
2.
faktor pembawaan, ada semacam kecenderungan urutan kelahiran
mempengaruhi penyimpangan agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak
mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan
keduanya sering mengalami stress jiwa. Kondisi ini juga mempengaruhi terjadinya
penyimpangan agama.
Faktor ekstern,
di antaranya :
1.
Faktor keluarga, keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan
agama, kesepian, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat, dan lainnya.
2.
Lingkungan tempat tinggal, orang yang merasa terlempar dari
lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa
dirinya hidup sebatangkara.
3.
Perubahan status, terutama yang berlangsung secara mendadak akan
banyak mempengaruhi terjadinya penyimpangan agama. Misalnya, perceraian, keluar
dari sekolah atau perkumpulan perubahan pekerjaan, dan sebagainya.
4.
Kemiskinan, masyarakat yang awam dan miskin cenderung untuk memeluk
agama yang menjanjikan kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik dengan cara
instant
Pendapat lain mengatakan bahwa perubahan sikap
keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada
seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil
belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit. Karenanya
perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1.
Adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek,
sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan
dijadikan sebagai sebuah sikap baru.
2. Terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang di lakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan
mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru.
Dan ini memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap
keagamaan sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.
3. Penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status
sosial, dimana mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari
nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status
sosialnya.
4. Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap
yang menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh
besar), ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan
kehidupan masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk
menampilkan sikap yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang
menyimpang dari sikap sebelumnya.[6]
E. Beberapa Solusi Alternatif
Sikap keagamaan akan tidak mengalami distorsi, manakala norma/nilai yang
melandasi keyakinan yang melahirkan sikap itu mampu menjawab berbagai hal yang
menyebabkan terjadinya perubahan/ pergeseran sikap tadi.
Suatu sikap akan tidak bergeser, walau adanya lingkungan merekayasa obyek,
untuk menarik perhatian, kalau norma/ nilai yang mendasari keyakinan untuk
lahirnya sebuah sikap keagamaan, dapat menampilkan daya tarik lebih besar dari
apa yang ditampilkan oleh lingkungan.
Kemampuan penyampai informasi dan komunikator nilai/ norma agama untuk
meyakinkan kebenaran agama, dengan dapatnya teruji pada kehidupan, akan
menghindarkan terjadinya proses konversi agama pada seseorang.
Pentingnya memperhatikan masalah status sosial dalam kehidupan beragama, adalah hal yang mutlak dilakukan, jika tidak
diinginkan adanya mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari
nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status
sosialnya. Hal ini juga
telah disampaikan Rasul SAW., bahwa ‘kefakiran dekat dengan kekufuran’ (al
Hadits). Dan kekufuran berarti penyimpangan dari sikap sebelumnya.
Karenanyanya, juga kehidupan keagamaan juga harus mengedepankan kemaslahatan
kehidupan masyarakat,[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perilaku keagamaan yang menyimpang ialah suatu
bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma agama yang dianut oleh
seseorang, kelompok, atau masyarakat. Norma keagamaan merupakan salah satu
bentuk norma yang menjadi tolok ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok
atau masyarakat yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.
2. Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada
tingkat fikir seseorang , sehingga akan mendatangkan kepercayaan atau keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual
maupun kelompok).
3.
Diantara penyebab terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, antara
lain :
a.
Adanya kemampuan lingkungan menarik perhatian
b.
Terjadinya konversi agama
c.
Karena pengaruh status sosial
d.
Hal-hal yang dinilai sangat positif bagi
kemaslahatan kehidupan masyarakat
4.
Untuk menghindari terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, ada
beberapa solusi alternatif, antara lain :
a.
Menyajikan agama dengan performa yang
senantiasa menarik.
b.
Menyajikan agama dalam bentuk sesuatu
kebenaran yang tidak pernah bergeser dan senantiasa teruji dan dapat diuji.
c.
Mengupayakan pengangkatan status social
pengikut suatu agama.
d.
Menampilkan nilai/ norma agama dengan mengedepankan apa yang
dinilai sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat.
B.
Saran
Masalah perilaku menyimpang merupakan sebagian
masalah-masalah sosial yang
dihadapi masyarakat dan sudah lama menjadi bahan pemikiran. Maka penanggulangan
masalah perilaku menyimpang ini perlu ditekankan bahwa segala usaha harus
ditunjukan kearah tercapainya kepribadian yang mantap, serasi dan dewasa. Remaja
diharapkan menjadi orang dewasa yang berkepribadian kuat, sehat jasmani,
rohani, kuat iman sebagai anggota masyarakat, bangsa dan tanah air.
Dari sekian banyaknya contoh-contoh dari
perilaku menyimpang di kehidupan sekitar. Kita sebagai manusia yang memiliki
akal harus bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak. Perlu
pembekalan mental yang kuat bagi individu terutama para remaja agar tidak terjerumus
dalam penyimpangan tersebut. Dengan mental yg kuat individu tidak akan mudah
terjerumus dalam penyimpangan tersebut tidak terjerumus dalam penyimpangan
tersebut. Dengan mental yg kuat individu tidak akan mudah terjerumus dalam
penyimpangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Harold. “Tingkah Laku Keagamaan Yang Menyimpang; Psikologi Agama”. http://krewengcool.blogspot.com/2011/05/tingkah-laku-keagamaan-yang-menyimpang.html diakses hari sabtu 3 juni 2011.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
“Penyimpangan Sikap (Perilaku) Keagamaan”. http://alkhafy.blogspot.com/2008/02/ penyimpangan-sikap-perilaku-keagamaan.html
diakses hari jum’at 22-4-2011.
[1]Harold Ahmad, “Tingkah Laku Keagamaan Yang Menyimpang; Psikologi Agama”, http://krewengcool.blogspot.com/2011/05/tingkah-laku-keagamaan-yang-menyimpang.html diakses hari sabtu 3 juni 2011 jam 19.59 WIB.
[2]Jalaluddin,
Psiklogi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 259-260.
[3]Harold Ahmad, “Tingkah Laku Keagamaan Yang Menyimpang; Psikologi Agama”, http://krewengcool.blogspot.com/2011/05/tingkah-laku-keagamaan-yang-menyimpang.html diakses hari sabtu 3 juni 2011 jam 19.59 WIB.
[4]“Penyimpangan Sikap (Perilaku) Keagamaan”, http://alkhafy.blogspot.com/2008/02/ penyimpangan-sikap-perilaku-keagamaan.html
diakses hari jum’at 22-4-2011 jam10.00
[5]Jalaluddin,
Psiklogi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 259-260.
[6]“Penyimpangan Sikap (Perilaku) Keagamaan” http://alkhafy.blogspot.com/2008/02 /penyimpangan-sikap-perilaku-keagamaan.html
diakses hari jum’at 22-4-2011 jam10.00 WIB.
[7]Ibid.