Rabu, 18 Februari 2015

PSIKOLOGI AGAMA: Perilaku Keagamaan yang Menyimpang



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sikap keagamaan merupakan perwujudan dari pengalaman dan penghayatan seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan bathin seseorang, karenanya persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari kadar ketaatan seseorang terhadap agamanya.
Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsure kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama pada diri seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada seseorang.
Sikap keagamaan sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan berupa fithrah beragama; dimana manusia punya naluri untuk hidup beragama, dan faktor luar diri individu, berupa bimbingan dan pengembangan hidup beragama dari lingkungannya.
Kedua faktor tersebut berefek pada lahirnya pengaruh psikologis pada manusia berupa rasa takut, rasa ketergantungan, rasa bersalah, dan sebagainya yang menyebabkan lahirnya keyakinan pada manusia. Selanjutnya dari keyakinan tersebut, lahirlah pola tingkah laku untuk taat pada norma dan pranata keagamaan dan bahkan menciptakan norma dan pranata keagamaan tertentu.
Dalam kehidupan di masyarakat, sering ditemui perilaku/ sikap keagamaan yang menyimpang, maka dalam makalah ini dengan kajian psikologis, akan dibahas tentang hal tersebut, berikut dengan penyebabnya, yang diharapkan dari sini dapat digali berbagai alternatif yang dimungkinkan untuk menghindari penyimpangan tingkah laku keagamaan tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dari perilaku keagamaan yang menyimpang?
2.    Apa landasan teori psikologis mengenai perilaku keagamaan  menyimpang?
3.    Apa faktor yang mendorong terjadinya perilaku keagamaan menyimpang?
4.    Bagaimana solusinya untuk menghindari perilaku keagamaan menyimpang?

C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diperoleh tujuan sebagai berikut:
1.    Memahami pengertian serta landasan teori penyimpangan perilaku keagamaan yang menyimpang.
2.    Mengetahui beberapa faktor terjadinya perilaku keagamaan yang menyimpang.
3.    Mengetahui alternative untuk menghindari perilaku keagamaan yang menyimpang.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang ialah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat atau kelompok. Perilaku menyimpang disebut nonkonformitas. Perilaku yang tidak menyimpang disebut konformitas, yaitu bentuk interaksi seseorang yang berusaha bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.[1]
Prof. Dr. Kasmiran Wuryo M.A. membagi norma sebagai tolok ukur tingkah laku dilihat dari penduduknya, menjadi beberapa macam, antara lain: norma pribadi, norma grup (kelompok), norma masyarakat, norma susila, dan sebagainya. Dengan demikian, norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.
Menurut Kasmiran, menurut sifat dan sumbernya norma itu dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Tradisional
Tradisi merupakan norma yang proses perkembangannya berlangsung secara otomatis dan nila-nilai yang membentuknya berasal dari bawah. Karena proses perkembangannya cukup lama, sehinnga sering tidak diketahui lagi sumber serta alasan tentang mengapa suatu perbuatan selalu dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang diyakini kebenarannya. Bahkan, terkandung dibela secara fanatik, sehingga orang menjadi takut jika tidak melakukannya. Norma yang dalam tradisi semacam ini menurut Kasmiran Wuryo, tidak lagi bersifat rasional melainkan sudah bersifat tradisional dogmatic dan supernatural.


2.      Formal
Norma ini melalui pembentukan dari atas dan bersumber dari berbagai ketentuan formal yang berlaku di masyarakat. Sumbernya dapat berupa undang-undang peraturan ataupun kebijaksanaan formil dari pengusaha masyarakat yang materinya merupakan norma yang dijadikan tolok ukur salah benarnya tingkah laku dan kehidupan masyarakat.
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa, baik norma tradisional maupun formal bersumber dari nilai-nilai luhur yang diperkirakan dapat dijadikan tolok ukur tingkah laku. Dalam masyarakat beragama, walaupun secara tegas sulit untuk diteliti, namun diyakini norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tak mungkin lepas dari nilai-nilai luhur agama yang mereka anut. Karena itu, dalam kondisi yang bagaimanapun, bentuk tingkah laku yang menyimpang masih dapat diketahui dan dibedakan dari norma-norma yang berlaku.[2]
Norma dan nilai bersifat relatif dan mengalami perubahan dan pergeseran. Suatu tindakan di masa lampau dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sekarang hal itu dianggap biasa. Contoh, dahulu seorang anak apabila diberi nasihat oleh orang tuanya, hanya menunduk saja. Akan tetapi, anak sekarang ketika berinteraksi dengan orang tuanya bisa mengemukakan pendapatnya. Begitu pula ketentuan-ketentuan sosial di dalam suatu masyarakat berbeda, dengan ketentuan-ketentuan sosial di dalam masyarakat lain. Akibatnya, tindakan yang bagi suatu masyarakat merupakan penyelewengan, bagi masyarakat merupakan suatu tindakan yang biasa. Umpamanya: Masyarakat patrilineal tidak membolehkan perkawinan yang masih bersaudara, tetapi dalam masyarakat lainnya bisa dilaksanakan. Hal itu berarti bahwa norma dan nilai bersifat relatif.
Perilaku menyimpang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dalam masyarakat. Pada masyarakat tradisional, proses penyesuaian sangat kuat. Dalam masyarakat pedesaan, tradisi dipelihara dan dipertahankan. Warga desa cenderung tidak mempunyai pemikiran lain, kecuali menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku, yaitu berdasarkan ukuran yang telah dijalankan oleh nenek moyangnya.
Masyarakat perkotaan mempunyai kecenderungan berupa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada. Dengan globalisasi, komunikasi, informasi, dan teknologi, masyarakat kota dimungkinkan melakukan penyimpangan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat desa. Hal ini terjadi karena setiap individu kurang saling mengenal dan kurang adanya interaksi, sehingga mereka tidak tahu urusan orang lain. Kontrol sosial dalam masyarakat pedesaan tidak dapat diterapkan di masyarakat perkotaan.[3]
B.  Pembentukan dan Penyimpangan Sikap Keagamaan
Dr. Mar’at mengemukakan ada 13 pengertian sikap, yang dirangkum menjadi 4 rumusan berikut:
Pertama sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide, sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
Kedua, Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan memiliki kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok.
Ketiga, sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu, karena ia merupakan bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu.
Keempat sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai.
Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara komplek. Komponen kognisi akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek.
Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah motif, yang berdasarkan kajian psikologis dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif yang terkandung dari sebuah sikap. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert behavior).
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek tertentu. Karena Sikap dipandang sebagai perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu.
Pemberian dasar jiwa keagamaan pada anak, tidaklah dapat dilepaskan dari peran orang tua sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga. Pengenalan agama sejak usia dini, akan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan kesadaran dan pengalaman beragama pada anak tersebut. Karenanya adalah sangat tepat, Rasul SAW menempatkan orang tua sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku keagamaan seorang anak, sebagaimana sabdanya : “setiap anak dilahirkan atas fithrah, dan tanggung jawab kedua orang tuannyalah untuk menjadikan anak itu nashrani, Yahudi atau Majusi. Dimana fithrah yang dapat diartikan sebagai potensi untuk bertauhid (dapat disebut sebagai jiwa keagamaan), merupakan potensi physikis pada manusia, yang diakui adanya oleh para ahli psikologi transpersonal. Aliran psikologi ini juga mencoba melakukan kajian ilmiah terhadap demensi yang selama ini merupakan kajian dari kaum kebathinan, rohaniawan, agamawan dan mistikus. Jadi, keluarga sebagai lingkungan yang pertama ditemui anak, sangat berperan dalam pembentukan pola perilaku/ sikap anak. Adanya perbedaan individu, pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing.
Karena itu, pembinaan dan pengembangan fithrah sebagai potensi psikis manusia, untuk melahirkan sikap dan pola tingkah laku keagamaan, dapat dibentuk dengan mengkondisikan lingkungan sesuai dengan ketentuan norma-norma agama. Dan norma-norma tersebut akhirnya terintegrasi dalam kepribadian individu yang bersangkutan.
Walau norma-norma agama telah menjadi bagian dari kepribadian seseorang, pada kenyataannya sering ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan, yang disebabkan oleh sikap yang bersangkutan (baik perseorangan atau kelompok) terhadap keyakinan agamanya mengalami perubahan.
Penyimpangan sikap keagamaan dapat menimbulkan tindakan yang negatif, apalagi penyimpangan itu dalam bentuk kelompok. Memang, penyimpangan dalam bentuk kelompok ini, sering diawali oleh penyimpangan individual, tapi individual tersebut mempunyai pengaruh besar. Seseorang yang mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari tingkat pikir transenden. Akan sangat berpengaruh terhadap penyimpangan kelompok.
Sikap keagamaan sangat erat hubungannya dengan keyakinan/ kepercayaan. Dan keyakinan merupakan hal yang abstrak dan susah dibuktikan secara empirik, karenanya pengaruh yang ditimbulkannya pun lebih bersifat pengaruh psikologis.
Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses berfikir manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurna proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan yang terdapat di luar jangkauan fikir manusia. Karenanya penyimpangan sikap keagamaan cenderung di dasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat dan menonjol ketimbang aspek rasional.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang (tingkat fikir materialistik dan tingkat fikir transendental relegius), sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok). Jika keyakinan itu bertentangan atau tidak sejalan dengan keyakinan ajaran agama tertentu, maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang.
Penyimpangan sikap keagamaan ini, disamping menimbulkan masalah pada agama tersebut, juga sering mendatangkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat.[4]
C.  Teori-teori Penyimpangan
Teori Differential Association (pergaulan yang berbeda) dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland. Ia berpendapat bahwa penyimpangan bersumber dari pergaulan yang berbeda. Penyimpangan itu terjadi melalui proses alih budaya, yaitu proses mempelajari budaya yang menyimpang. Contoh: proses perilaku homoseksual. Teori lain mengenai penyebab perilaku menyimpang dikemukakan oleh Edwin M. Lemert dengan teori Labeling. Seseorang yang baru melakukan penyimpangan pada tahap pertama oleh masyarakat sudah diberi cap; sebagai penyimpang, misalnya disebut penipu, pencuri, wanita nakal, dan orang gila. Dengan demikian, pelaku akan terdorong untuk melakukan penyimpangan tahap berikutnya dan akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan.
Robert K. Merton mengemukan teori yang menjelaskan bahwa perilaku menyimpang merupakan penyimpangan melalui struktur sosial. Dalam struktur sosial dijumpai tujuan atau kepentingan. Tujuan tersebut adalah hal-hal yang pantas dan baik. Cara-cara buruk seperti menipu tidak dibenarkan. Perilaku menyimpang terjadi kalau ada ketimpangan antara tujuan yang ditetapkan dan cara atau sarana untuk mencapai tujuan. Teori Merton adalah struktur sosial yang menghasilkan tekanan ke arah memudamya kaidah (anomie) dan perilaku menyimpang. Keadaan yang tanpa kaidah dapat menimbulkan sikap mental yang negatif. Sikap mental itu misalnya usaha mencapai tujuan secepatnya tanpa menurut kaidah yang ditentukan. Sikap itu disebut menerobos atau potong kompas. Misalnya berusaha menjadi orang kaya mendadak dengan cara mencuri.
Merton mendefinisikan lima tipe adaptasi terhadap situasi, sebagai bserikut:
1.    Konfonnitas (conforinity), adalah perilaku yang mengikuti tujuan dan mengikuti cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan (cara konvensional dan melembaga).
2.    Inovasi (Innovation), adalah perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat dan memakai cara yang dilarang oleh masyarakat, termasuk tindakan kriminal.
3.    Ritualisme (ritualism), adalah perilaku seseorang yang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi masih berpegang pada cara-cara yang telah digariskan masyarakat, misalnya upacara dan perayaan masih diselenggarakan, tetapi makna dan fungsinya telah hilang.
4.    Pengunduran diri (retreatism), adalah meninggalkan baik tujuan konvensional maupun cara pencapaian yang konvensional, sebagaimana yang dilakukan oleh para pecandu obat bius, pemabuk, gelandangan, dan orang-orang gagal lainnya.
5.    Pemberontakan (rebellion), adalah penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru, misalnya para reformis agama.
D.  Faktor-faktor Tingkah Laku Keagamaan yang Menyimpang
Dalam kehidupan sosial dikenal bentuk tata aturan yang di sebut norma. Norma dalam kehidupan sosial merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi tolak ukur tingkah laku sosial. Jika tingkah laku yang di perlihatkan sesuai dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima, sebaliknya, jika tingkah laku tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku tersebut dinilai buruk dan ditolak. Tingkah laku yang menyalahi norma yang berlaku ini disebut dengan tingkah laku yang menyimpang.[5]
Penyimpangan tingkah laku ini dalam kehidupan banyak terjadi, sehingga sering menimbulkan keresahan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat beragama penyimpangan yang demikian itu sering terlihat dalam bentuk tingkah laku aliran keagamaan yang menyimpang dari ajaran induknya. Adanya perilaku menyimpang terhadap suatu agama tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yang secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, di antaranya:
1.    Kepribadian, secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang.
2.    faktor pembawaan, ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi penyimpangan agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan keduanya sering mengalami stress jiwa. Kondisi ini juga mempengaruhi terjadinya penyimpangan agama.
Faktor ekstern, di antaranya :
1.    Faktor keluarga, keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat, dan lainnya.
2.    Lingkungan tempat tinggal, orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatangkara.
3.    Perubahan status, terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya penyimpangan agama. Misalnya, perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan perubahan pekerjaan, dan sebagainya.
4.    Kemiskinan, masyarakat yang awam dan miskin cenderung untuk memeluk agama yang menjanjikan kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik dengan cara instant
Pendapat lain mengatakan bahwa perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit. Karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1.    Adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah sikap baru.
2.    Terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang di lakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.
3.    Penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya.
4.    Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar), ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap sebelumnya.[6]
E.  Beberapa Solusi Alternatif
Sikap keagamaan akan tidak mengalami distorsi, manakala norma/nilai yang melandasi keyakinan yang melahirkan sikap itu mampu menjawab berbagai hal yang menyebabkan terjadinya perubahan/ pergeseran sikap tadi.
Suatu sikap akan tidak bergeser, walau adanya lingkungan merekayasa obyek, untuk menarik perhatian, kalau norma/ nilai yang mendasari keyakinan untuk lahirnya sebuah sikap keagamaan, dapat menampilkan daya tarik lebih besar dari apa yang ditampilkan oleh lingkungan.
Kemampuan penyampai informasi dan komunikator nilai/ norma agama untuk meyakinkan kebenaran agama, dengan dapatnya teruji pada kehidupan, akan menghindarkan terjadinya proses konversi agama pada seseorang.
Pentingnya memperhatikan masalah status sosial dalam kehidupan beragama, adalah hal yang mutlak dilakukan, jika tidak diinginkan adanya mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya. Hal ini juga telah disampaikan Rasul SAW., bahwa ‘kefakiran dekat dengan kekufuran’ (al Hadits). Dan kekufuran berarti penyimpangan dari sikap sebelumnya. Karenanyanya, juga kehidupan keagamaan juga harus mengedepankan kemaslahatan kehidupan masyarakat,[7]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Perilaku keagamaan yang menyimpang ialah suatu bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma agama yang dianut oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat. Norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.
2.      Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang , sehingga akan mendatangkan kepercayaan atau keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok).
3.      Diantara penyebab terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, antara lain :
a.       Adanya kemampuan lingkungan menarik perhatian
b.      Terjadinya konversi agama
c.       Karena pengaruh status sosial
d.      Hal-hal yang dinilai sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat
4.      Untuk menghindari terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, ada beberapa solusi alternatif, antara lain :
a.       Menyajikan agama dengan performa yang senantiasa menarik.
b.      Menyajikan agama dalam bentuk sesuatu kebenaran yang tidak pernah bergeser dan senantiasa teruji dan dapat diuji.
c.       Mengupayakan pengangkatan status social pengikut suatu agama.
d.      Menampilkan nilai/ norma agama dengan mengedepankan apa yang dinilai sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat.
B.     Saran
Masalah perilaku menyimpang merupakan sebagian masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat dan sudah lama menjadi bahan pemikiran. Maka penanggulangan masalah perilaku menyimpang ini perlu ditekankan bahwa segala usaha harus ditunjukan kearah tercapainya kepribadian yang mantap, serasi dan dewasa. Remaja diharapkan menjadi orang dewasa yang berkepribadian kuat, sehat jasmani, rohani, kuat iman sebagai anggota masyarakat, bangsa dan tanah air.
Dari sekian banyaknya contoh-contoh dari perilaku menyimpang di kehidupan sekitar. Kita sebagai manusia yang memiliki akal harus bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak. Perlu pembekalan mental yang kuat bagi individu terutama para remaja agar tidak terjerumus dalam penyimpangan tersebut. Dengan mental yg kuat individu tidak akan mudah terjerumus dalam penyimpangan tersebut tidak terjerumus dalam penyimpangan tersebut. Dengan mental yg kuat individu tidak akan mudah terjerumus dalam penyimpangan tersebut.

 
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Harold.Tingkah Laku Keagamaan Yang Menyimpang; Psikologi Agama. http://krewengcool.blogspot.com/2011/05/tingkah-laku-keagamaan-yang-menyimpang.html diakses hari sabtu 3 juni 2011.

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.



[2]Jalaluddin, Psiklogi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 259-260.
[5]Jalaluddin, Psiklogi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 259-260.
[7]Ibid.