BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian tentang hadits dewasa ini masih terus eksis. Pengkajian tersebut tidak hanya dari segi
materi saja akan tetapi juga dari segi metodologi. Kritik-kritik terhadap kedua
fokus kajian tersebut juga masih marak dilakukan. Dikalangan Islam sendiri
kritik terhadap hadits telah dilakukan secara masal pada abad 2 H. Pada waktu itu muncul kebijakan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz agar hadits dikodifikasikan dan dipisah-pisahkan antara yang benar-benar
dari Rasul dan yang bukan.[1]
Pada perkembangan selanjutnya Hadits tidak hanya dikaji dikalangan
intern Islam saja melainkan juga di kalangan extern Islam. Di Barat, hadits
mulai gencar dikaji pada abad 19. Ignaz
Goldziher, Joseph Schacth, G.H.A. Juyinboll adalah nama-nama yang aktif
mengkritik ke autentikan hadits.
Orang-orang barat yang mengkaji ketimuran (termasuk Islam) tersebut
disebut dengan orientalis.[2]Ada
beberapa motif orientalis mengkaji Islam. Diantaranya adalah motif agama,
politik, ekonomi, dan keilmuan. Motif-motif tersebut kemudian mempengaruhi
asumsi mereka ketika mengkaji hadits. Umi Sumbulatin dalam bukunya menuliskan
bahwa Sahiron Syamsudin memetakan asumsi tersebut menjadi tiga, asumsi
sceptic, asumsi non-skeptik, dan asumsi midle ground. Asumsi
sceptik adalah perspektif orientalis yang meragukan otentisitas hadits, asumsi
non-skeptik adalah perspektif orientalis yang tidak meragukan hadits,
adapun asumsi midle ground adalah asumsi yang menengahi dua perspektif
tersebut.[3]
Salah satu orientalis yang mengkaji hadits dengan motif keilmuan
adalah Maurice Bucaille. Bucaile berbeda dengan tokoh-tokoh orientalis lain
yang mnggunakan asumsi skeptik. Ia seringkali mengkritik pandangan orientalis
lain yang berusaha mengkritik Hadits dengan cara yang curang.
Meskipun demikian ia juga melakukan kritik terhadap hadits. Ia
berusaha meneliti kesesuaian hadits dengan sains. Hasil penelitianya menurut
kami patut untuk dikaji. Hal ini penting, karena dari penlitian tersebut
memunculkan kritik yang cukup mengena terhadap hadits.
Bertolak penjelasan di atas kami bermaksud menyusun makalah dengan
judul “Kritik Maurice Bucaille terhadap Hadits”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Maurice Bucaille ?
2.
Bagaimana pandangan Maurice Bucaille terhadap hadits ?
3.
Bagaimana kritik Maurice Bucaille terhadap hadits ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui seting historis Maurice Bucaille.
2.
Mengetahui pandangan Maurice Bucaille terhadap hadits.
3.
Mengetahui kritik Maurice Bucaille terhadap hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Maurice Bucaille
Dr. Maurice Bucaille adalah seorang ahli bedah berkebangsaan Perancis yang lahir di Pont-l'Eveque, 19 Juli 1920 dan meninggal 17 Februari 1998 pada umur 77 tahun.[4] Bucaille memulai kariernya di bidang kedokteran pada 1945 sebagai
ahli gastroenterologi[5]. Bucaille pernah mengepalai klinik bedah di
Universitas Paris. Dan, pada 1973,
ia ditunjuk menjadi dokter keluarga oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Tidak hanya anggota keluarga Raja Faisal yang
menjadi pasiennya. Anggota keluarga Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat,
diketahui juga termasuk dalam daftar pasien yang pernah menggunakan jasanya.[6]
Ketertarikan Bucaille terhadap Islam mulai muncul
ketika secara intens dia mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan
beberapa doktrin agama. Karenanya, ketika datang kesempatan kepada Bucaille
untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Fir’aun, ia mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk menguak misteri di balik penyebab kematian sang raja
Mesir kuno tersebut. Ternyata, hasil akhir yang ia peroleh sangat mengejutkan.
Sisa-sisa garam yang melekat pada tubuh sang mumi adalah bukti terbesar bahwa
dia telah mati karena tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan
kemudian dibalsem untuk segera dijadikan mumi agar awet.
Bucaille lantas menyiapkan laporan akhir
tentang sesuatu yang diyakininya sebagai penemuan baru, yaitu tentang
penyelamatan mayat Fir’aun dari laut dan pengawetannya. Laporan akhirnya ini
dia terbitkan dengan judul Mumi Fir’aun: Sebuah Penelitian Medis Modern,
dengan judul aslinya, Les momies des Pharaons et la midecine. Terkait
dengan laporan akhir yang disusunnya, salah seorang di antara rekannya
membisikkan sesuatu di telinganya seraya berkata: ”Jangan tergesa-gesa
karena sesungguhnya kaum Muslimin telah berbicara tentang tenggelamnya mumi ini”.
Bucaille awalnya mengingkari kabar ini dengan keras sekaligus menganggapnya
mustahil.
Menurutnya, pengungkapan rahasia seperti ini
tidak mungkin diketahui kecuali dengan perkembangan ilmu modern, melalui
peralatan canggih yang mutakhir dan akurat. Hingga salah seorang di antara
mereka berkata bahwa al-Qur’an yang diyakini umat Islam telah meriwayatkan
kisah tenggelamnya Fir’aun dan kemudian diselamatkannya mayatnya. Ungkapan itu
makin membingungkan Bucaille. Lalu, dia mulai berpikir dan bertanya-tanya.
Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bahkan, mumi tersebut baru ditemukan
sekitar tahun 1898 M, sementara Al-Qur’an telah ada ribuan tahun sebelumnya.[7]
Perbedaan antara hasil penelitiannya dengan
apa yang ada di dalam al-Qur’an membuat kegundahan dalam dirinya. Maka dia pun mulai mengumpulkan kitab-kitab suci kaum agamawan,
antara lain kitab Taurat dan berbagai jenis kitab Injil khususnya Bibel. Dengan
secara cermat Bucaille meneliti kitab-kitab kaum agamawan itu, namun yang termaktub
dalamnya, hanyalah keterangan bahwa Allah menenggelamkan Fir’aun bersama
pengikutnya ke dalam laut, dan tidak terdapat keterangan apapun pasca tenggelamnya
Fir’aun.
Kemudian Bucaille pun beralih meneliti
al-Qur’an dengan bimbingan seorang ilmuwan muslim, hingga mendapatkan surat
Yunus ayat 92 yang artinya : Maka pada hari ini, Kami selamatkan (atau Kami
keluarkan dari laut) jasadmu (wahai Fir’aun) supaya (keberadaan)-mu dapat
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya
kebanyakan dari manusia itu lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. Betapa
terkejutnya Bucaille, karena ternyata al-Qur’an telah menerangkan peristiwa Fir’aun
yang berhadapan dengan Nabi Musa itu secara komplit. Padahal peristiwa itu
terjadi ribuan tahun sebelum turunnya al-Qur’an, namun al-Qur’an dapat
menerangkan secara rinci, bahkan menjelaskan kejadian pasca penenggelaman Fir’aun-pun
secara utuh. Terlebih heran
lagi setelah Bucaille mendengar keterangan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang Nabi yang
buta huruf, tidak dapat membaca dan menulis. Maka saat itu Bucaille menyatakan
beriman kepada kebenaran
al-Qur’an.[8]
Diantara karya Bucaille adalah Mumi Fir’aun; Sebuah
Penelitian Medis Modern atau judul aslinya , Les momies des
Pharaons et la médecine. Berkat buku ini, dia menerima penghargaan Le prix Diane-Potier-Boès (penghargaan
dalam sejarah) dari Académie française dan Prix
general (Penghargaan umum) dari Academie nationale de medicine, Perancis. Nama Bucaille mulai terkenal ketika ia menulis buku
tentang Bibel,
Al-Qur’an, dan ilmu pengetahuan modern atau judul aslinya dalam
bahasa Prancis yaitu La Bible, le Coran et la Science di
tahun 1976. Buku
ini menjadi best-seller internasional di
dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa utama umat Muslim
di dunia. Bucaille menjadi ternama dengan karyanya ini. Karyanya ini mencoba
menerangkan bahwa al-Qur’an sangat
konsisten dengan ilmu pengetahuan dan sains, namun Alkitab atau Bibel
tidaklah demikian. Bucaille dalam bukunya mengkritik Bibel yang ia anggap tidak
konsisten dan penurunannya bisa diragukan.[9]
B.
Pandangan Maurice Bucaille Tentang Perbandingan Hadits dengan
al-Qur’an dan Bibel
1.
Perbandingan hadits dengan al-Qur’an
Bucaile percaya akan keautentikan al-Qur’an. sejarah mencatat bahwa
al-Qur’an sudah dituliskan semenjak proses pewahyuan. Disamping itu, semenjak
awal al-Qur’an sudah dihafalkan dari generasi-kegenerasi. Hal in berbeda dengan
hadits. Pengkodifikasian hadits baru dilakukan dua abad setelah wafatnya Rasulullah.
Rentang waktu ini tentu mempengaruhi keotentikan hadits itu sendiri.
Terkait al-Qur’an dan Hadits ini Bucaille mengatakan:
“Kita harus mengetahui bahwa sikap Nabi Muhammad terhadap al-Qur’an
berbeda terhadap ucapan-ucapan beliau pribadi. Al-Qur’an tidak merupakan
fatwa-fatwa beliau. al-Qur’an adalah wahyu Ilahi. Nabi menyusun bagian
al-Qur’an kurang lebih 20 tahun dengan sangat hati-hati seperti yang sudah kita
lihat. Al-Qur’an merupakan hal yang harus ditulis selama nabi Muhammad masih
hidup, dan harus dihafalkan untuk dijadikan bacaan sembahyang. Adapun hadits
dijadikan sebagai hal yang menunjukkan tindakan dan ucapan Nabi, hadits itu
diserahkan kepada pengikutnya untuk dijadikan contoh dalam tindakan mereka dan
untuk ditulis sebagaimana mereka pahami. Ia tidak memberi pengarahan dalam hal
ini.”[10]
2.
Perbandingan hadits dengan Bibel.
Dari
sudut pandang histtorisitas, Bucaille menyimpulkan adanya kesamaan antara
Hadits dengan Bibel. Pertama, baik hadits maupun Injil ditulis oleh
pengarang-pengarang yang tidak merupakan saksi mata dari kejadian yang mereka
laporkan. Kedua, baru ditulis setelah lama kejadian-kejadian tersebut
terjadi.
Selain itu menurut Bucaille, Baik Hadits maupun injil tidak
semuanya dapat diterima sebagai autentik.[11]
Hal yang membedakan hadits dengan Injil adalah Hadits dalam perkembangan
sejarahnya pada suatu waktu masih diuji keautentikannya oleh para pemikir Islam.
sedangkan Injil yang empat itu tidak pernah disangkal oleh umat Kristen.
C.
Kritik Maurice Bucaille terhadap Hadits
Sebelum meneliti Hadits, Bucaille terlebih dahulu meneliti
al-Qur’an dan Bibel. Kedua kitab tersebut diteliti dengan metode komparatif
sains. Sebagaimana yang dikatakan Rasjidi, Bucaille berkesimpulan bahwa dalam Bibel
terdapat kesalahan-kesalahan ilmiah dan sejarah. Hal ini karena Bibel ditulis
oleh manusia dan mengalami perubahan-perubaha oleh tangan manusia. Adapun
tentang al-Qur’an ia berpendapat dengan
keheranan bahwa kitab yang muncul pada empat belas abad lampau, memuat
soal-soal ilmiah yang baru diketahui manusia pada abad ke-20, atau abad ke-19
dan ke-18.[12]
Kritik Bucaille terhadap hadits muncul setelah ia meneliti hadits
dengan metode yang sama terhadap al-Qur’an. Penelitian tersebut difokuskan pada
satu kitab hadits yang dinilai paling shahih yakni kitab “Shahih Bukhari”.
Setelah meneliti hadits-hadits tentang sains, Bucaille berkesimpulan
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara al-Qur’an dan hadits. lebih jelas ia
mengatakan:
“Saya menyelidiki pernyataan-pernyataan hadits dalam hal-hal yang
pernah kita bicarakan tentang al-Qur’an dan sains modern. Hasil penyelidikan
saya sangat jelas. Ada perbedaan yang sangat besar antara pernyataan-pernyataan
Qur’an yang cocok jika dihadapkan dengan sains modern dan pernyataan hadits
dalam bidang sama yang sangat mudah dikritik.”[13]
Pada
penelitian tersebut Bucaille menyimpulkan ada banyak hadits yang tidak sesuai
dengan temuan sains modern. Pada “Shahih Bukhari” kitab Permulaan
Penciptaan: Pasal 54, bab 4, no. 421 ia menemukan hadits,
عَنْ
أَبِى ذَرٍّ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم -
لأَبِى ذَرٍّ حِينَ غَرَبَتِ الشَّمْسُ « اتَدْرِى أَيْنَ تَذْهَبُ » . قُلْتُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . قَالَ « فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ
تَحْتَ الْعَرْشِ ، فَتَسْتَأْذِنَ فَيُؤْذَنَ لَهَا ، وَيُوشِكُ أَنْ تَسْجُدَ
فَلاَ يُقْبَلَ مِنْهَا ، وَتَسْتَأْذِنَ فَلاَ يُؤْذَنَ لَهَا ، يُقَالُ لَهَا
ارْجِعِى مِنْ حَيْثُ جِئْتِ . فَتَطْلُعُ مِنْ مَغْرِبِهَا ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ
تَعَالَى ( وَالشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ
الْعَلِيمِ ) » [14]
Artinya: Diceritakan dari Abu Dzar
radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Abu
Dzar ketika matahari sedang terbenam: "Tahukah kamu kemana matahari itu
pergi?". Aku jawab; "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu".
Beliau berkata: "Sesungguhnya dia akan terus pergi hingga bersujud di
bawah al-'Arsy lalu dia minta izin kemudian diizinkan dan dia minta agar terus
saja bersujud namun tidak diperkenankan dan minta izin namun tidak diizinkan
dan dikatakan kepadanya: "Kembalilah ke tempat asal kamu datang". Maka matahari itu
terbit (keluar) dari tempat terbenamnya tadi". Begitulah sebagaimana
firman Allah QS Yasin ayat 38 yang artinya: (Dan matahari berjalan pada tempat
peredarannya (orbitnya). Demikianlah itu ketetapan Allah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui) ".
Hadits
terebut merupakan tafsiran dari Surat Yaa Siin (36) ayat 38. Tentunya hal itu
tidak sesuai dengan temuan sains modern. Sains modern mengatakan bahwa Matahari
terbenam karena perputaran Bumi pada porosnya.
Selain
itu Bucaille juga tidak setuju dengan penjelasan-penjelasan beberapa hadits
tentang Patologi (ilmu tentang penyakit). Diantaranya adalah:
1.
Asalnya penyakit panas badan. Ditemukan empat riwayat yang
menguatkan pernyataan bahwa panas badan itu datangnya dari api neraka (kitab
pengobatan, pasal 28).
2.
Adanya obat bagi tiap-tiap penyakit: Tuhan tidak menurunkan
penyakit kecuali juga menurunkan obatnya. (kitab pengobatan, pasal 1). Contoh
konsepsi ini adalah hadits lalat (kitab Pengobatan, pasal 28 dan Kitab
Permulaan Penciptaan, bab 5 pasal 15, 16). Jika ada lalat jatuh dalam satu
wadah, lalat itu harus ditenggelamkan seluruhnya, karena satu sayapnya mengandung
racun , dan satu yang lain mengandung penawarnya.[15]
3.
Keguguran itu disebabkan karena si hamil melihat ular tertentu (ular
itu juga menyebabkan kebutaan). Ini disebutkan pada Kitab permulaan Penciptaan
Pasal 13 dan 14.
4.
Tidak adanya penyakit menular, kumpulan hadits Bukhari menyebutkan
dalam beberapa bagian dalam buku itu (Pasal 19, 25, 30, 31, 53, dan 54, Kitab
Pengobatan, bab 76), kasus-kasus khusus seperti lepra, pes, kolera, penyakit
kulit onta, dan juga penyakit menular secara umum. Menurut Bucaille pemikiran
tentang hal-hal tersebut, mengandung pernyataan yang kontradiksi.[16]
Menanggapi ketidak sesuaian antara
beberapa Hadits dan sains tersebut, Bucaille menyimpulakan bahwa dalam jumlah
tertentu hadits hanyalah perkataan Muhammad, bukan wahyu. Hal ini berbeda
dengan al-Qur’an. Ia takjub dengan ke ilmiahan al-Qur’an maka dari itu ia mempercayai
kalau al-Qur’an adalah wahyu. Lebih lanjut ia menjelaskan:
“Oleh karena dalam jumlah tertentu dari hadits dapat dianggap
secara pasti sebagai pemikiran Nabi Muhammad, maka kebanyakan hadits hanya
menunjukkan hal-hal yang dianggap benar oleh orang-orang pada zaman dahulu,
khususnya tentang hal-hal ilmiah yang disebutkan dalam ketabiban. Dengan
membandingkan teks hadits dngan teks al-Qur’an, kita dapat membedakan antara
al-Qur’an dan hadits yang tidak benar dan tidak autentik. Perbandingan ini
menjelaskan perbedaan besar antara tulisan-tulisan pada waktu itu yang penuh
dengan kekeliruan-kekeliruan ilmiah, dengan al-Qur’an , wahyu yang sudah
dibukukan dan yang bebas dari kesalahan-kesalahan ilmiah”[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan:
1.
Dr. Maurice Bucaille
adalah seorang ahli bedah berkebangsaan Perancis yang lahir di Pont-l'Eveque, 19 Juli 1920 dan meninggal 17 Februari 1998 pada umur 77 tahun. Bucaille
memulai kariernya di bidang kedokteran pada 1945 sebagai ahli gastroenterologi.
Bucaille mulai tertarik kepada Islam setelah dia meneliti mumi fir’aun.
2.
Maurice Bucaille memandang hadits tidak seautentik al-Qur’an. hal
ini karena hadits pengkodifikasiannya jauh setelah masa Muhammad hidup. Problem
historisitas hadits ini dinilai Bucaile sama dengan problem historisitas Bibel.
3.
Maurice Bucaille telah meneliti kesesuaian hadits dengan sains
modern. Kesimpulan dari penelitian tersebut memunculkan kritik terhadap hadits.
hal ini karena banyak hadits-hadits yang tidak sesuai dengan fakta sains
modern. Maka dari itu, Bucaille menyimpulkan bahwa dalam banyak hal, Hadits
merupakan perkataan Muhammad bukan wahyu.
B.
Saran
Dengan
dituliskannya makalah ini kami berharap:
1.
Pembaca memahami materi ini.
2.
Pembaca mengomentari materi ini.
3.
Pembaca berkenan untuk mendiskusikan bersama terkait materi ini.
4.
Pembaca berkenan untuk mengkaji lebih dalam tentang materi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bucaille,
Maurice. Bibel, Qur’an, dan Sains Modern. Jakarta: Bulan Bintang. 2007.
al-Bukhary, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il. al-Jami’ al-Sahih. juz II. Kairo:
al-Mathba’ah al-Salafiyah. 1403 H.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
Jakarta : PT Bulan Bintang.1993.
Sumbulah,
Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadits. Malang: UIN Maliki Press. 2010.
Tim penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.
Zuhdi, Ahmad. Pandangan Oriental Barat
Tentang Islam: antara Orang Yang Menghujat dan Memuji. Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya. 2004.
Ade Umamah dan
Humairah, Hadits tentang Lalat, dalam http: //
bintunnajah.wordpress.com/ 2010/06/27/makalah-hadis-lalat/ diakses tanggal
31-10-2012 jam 20.59)
http://id.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille, diakses tanggal 31-10-2012, jam 19.55.
Achmad Rofi'i Asy Syirbuni, Mauricce Bucaille, dalam http: //ustadzrofii.wordpress.com/ 2010/09/26/ kisah-mualaf-1-maurice-bucaille/ diakses tanggal 31-10-2012 jam 20.02,
Lutfi Bashori, Professor
Masuk Islam Gara-gara Fir’aun dalam http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=109, diakses tanggal 31-10-2012 jam 20.50
[1]Lihat
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta :
PT Bulan Bintang,1993), h.80
[2]Lihat,
Ahmad Zuhdi, Pandangan Oriental
Barat Tentang Islam: antara Orang Yang Menghujat dan Memuji (Surabaya: PT.
Karya Pembina Swajaya, 2004), h. 10.
[3]Lihat
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), h. 169-175
[5]Gastroenterologi merupakan istilah bidang kedokteran yang artinya bidang
medis yang berhubungan dengan sistem pencernaan. Tim penyusun, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 460.
[6]Achmad Rofi'i Asy Syirbuni, Mauricce Bucaille, dalam http: //ustadzrofii.wordpress.com/ 2010/09/26/ kisah-mualaf-1-maurice-bucaille/ diakses tanggal 31-10-2012 jam 20.02
[7]Ibid.,
[8]Lutfi Bashori, Professor
Masuk Islam Gara-gara Fir’aun dalam http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=109, diakses tanggal
31-10-2012 jam 20.50. Akan tetapi tentang statusnya saat dia meninggal, apakah
dia sudah menjadi seorang Muslim, atau tetap pada kepercayaannya yang lama
masih menimbulkan kontroversi. Tidak ada bukti langsung yang dapat menjelaskan
kontoversi ini, sedangkan bukti-bukti yang ada umumnya sudah terdistorsi oleh
pandangan pribadi para penulisnya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille.,...)
[10]Maurice
Bucaile, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, (Jakarta: Bulan Bintang,
2007), h. 229
[11]M.
Rasjidi dalam buku Maurice Bucaile, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Ibid..,
h. 226
[14]Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, al-Jami’ al-Sahih, juz
II, (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1403 H), h. 421 hadits no. 3199.
[15]Menurut rasional yang ilmiah bahkan anak SD kelas VI pun pasti
tahu, bahwa lalat adalah binatang kotor, yang makanannya adalah bangkai,
kotoran manusia dan hewan, sampah dan sebagainya. Lalat juga
menyebarkan berbagai penyakit mulai Kholera, Diare, Desentry, Thypus, TBC, dan
sebagainya. Hal ini disebabkan lalat adalah media berbagai kuman penyakit
(carier patogen) mulai bakteri patogen bahkan virus penyebab berbagai penyakit,
yang menempel di badannya. Pelajaran inipun pernah kita terima ketika masih di
SD yaitu di pelajaran IPA khususnya Ilmu Pengetahuan Hayat (biologi). Sungguh tidak
“masuk akal” hadist di atas. Wajar saja bila DR. Maurice Bucaille yang
merupakan seorang dokter ahli bedah asal Perancis yang sudah masuk Islam-pun
menyangsikan hadits tersebut.Secara rasional dan logika, mungkin hal ini benar
dan hadist di atas “ngawur”. (Ade Umamah
dan Humairah, Hadits tentang Lalat, dalam http: //
bintunnajah.wordpress.com/ 2010/06/27/makalah-hadis-lalat/ diakses tanggal
31-10-2012 jam 20.59)
[16]
Maurice Bucaile, Bibel, Qur’an, dan Sains.., h. 228
[17]Kutipan
ini merupakan paragraph terakhir dari bab Qur’an, hadits, dan Sains Modern
dalam buku Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Pada buku aslinya paragraph
tersebut tidak ada (kecuali pada buku terbitan ke enam). Akan tetapi penerjemah
menjelaskan bahwa ia pernah bertemu dengan penulis dan disarankan agar
paragraph terakhir tersebut dicantumkan. Lebih lanjut penerjemah menjelaskan
bahwa kebenaran Hadits dari segi keagamaan sama sekali tidak menjadi persoalan.
Tetapi jika hadits-hadits itu membicarakan soal profane (bukan agama),
maka tidak ada perbendaan antara Nabi Muhammad dengan manusia lainnya. Lihat; Ibid..,
h. 228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar