Jumat, 14 April 2017

Review Tesis ISLAM AND JAVANESE ACULTURATION: TEXTUAL AND CONTEXTUAL ANALYSIS OF THE SLAMETAN RITUAL

Review Tesis
ISLAM AND JAVANESE ACULTURATION: TEXTUAL AND CONTEXTUAL ANALYSIS OF THE SLAMETAN RITUAL
Reviewer: Adib Hasani

A. Konteks Penelitian Tesis
Karya Islam and Javanese Aculturation: Textual and Contextual Analysis of The Slametan Ritual adalah hasil penelitian Masdar Hilmy dalam rangka memenuhi tugas akhir program megisternya di McGill University of Canada. Penelitian yang berbasis librarry researce ini membawa perspektif yang berbeda dalam memandang ritual slametan dalam kajian antropologi. Perspektif itu adalah perspektif tekstual dan kontekstual. Sebuah perspektif yang bersifat komprehensip untuk menghindari terjadinya kepincangan dalam berteori. Perspektif ini tidak lain adalah hasil sintesis dari perspektif yang digunakan oleh dua peneliti slametan sebelumnya yakni Clifford Geertz dan Mark Woodward.
Bagi Hilmy, dinamika klaim yang muncul antara Clifford Geertz dan Mark Woodward terkait status ritual slametan apakah itu animistik ataukah Islamis berawal dari perbedaan sudut pandang yang mereka pakai. Clifford Geertz mengklaim slametan merupakan tradisi animistik Jawa berdasarkan pendekatan antropologi yang kontekstual. Kontekstual disini dalam arti, penelitian yang dilakukan terfokus pada penampakan eksternal dari ritual slametan dan relasinya dalam kehidupan sosial. Adapun Mark Woodward berusaha membidik slametan lebih kepada sudut pandang nilai intrinsik yang hidup dalam ritual itu. Dari sudut pandang ini kemudian Woodward mengkritik Geertz bahwa slametan bukan animistik, melainkan asli dari ajaran Islam yang diadaptasikan dengan budaya lokal oleh para sufi. (Hilmy 1999: 4).
Penelitian ini mengupas tiga poin pokok: Pertama, membahas hubungan antara Islam dan kultur Jawa, meliputi: proses Islamisasi di Jawa dan proses akulturasi Islam dengan kultur Jawa. Kedua, mengkaji tentang slametan dan perannya dalam Islam Jawa. Fokus pembahasannya adalah: tentang konsep dasar dari slametan, pola slametan serta implementasinya di masyarakat Jawa, dan perdebatan yang terjadi tentang hakikat dari slametan. Ketiga, menganalisis slametan dengan menggunakan pendekatan tekstual-relijius dan kontekstual-kultural. (Hilmy 1999: 5)

B. Islam dan Kultur Jawa
Semenjak Selat Malaka menjadi jalur perdagangan utama di wilayah Asia Tenggara dan banyak pedagang dari Asia selatan maupun Timur Tengah berkunjung ke pelabuhan itu, yang terjadi tidaklah hanya kontak jual beli, tetapi juga kontak pendakwahan agama. Fenomena itu semakin lama semakin berkembang hingga sampai ke pulau Jawa. Para ahli banyak berselisih berkaitan dengan teori masuknya Islam ke pulau Jawa. Akan tetapi kebanyakan sepakat bahwa Islam masuk ke Jawa melalui pelabuhan-pelabuhan besar di pesisir utara seperti Gresik dan Tuban. Pelabuhan-pelabuhan itu menjadi semacam batu loncatan bagi pedagang Muslim untuk melancarkan bisnis sekaligus mengenalkan Islam kepada masyarakat Jawa.  Semenjak itu terjadilah proses aksi-reaksi antara pedagang Muslim dengan inlander bersama seperangkat kultur yang dimilikinya. (Hilmy, 1999: 17)
Proses Islamisasi di Jawa terjadi secara evolutif. Dimulai dengan proses dakwah semenjak zaman Majapahit, kemudian menemukan titik loncatnya pada akhir abad 14 yakni keruntuhan Majapahit dan munculnya kerajaan Islam Demak, kemudian berganti Pajang dan disusul kerajaan-kerajaan sesudahnya yang tetap menjadikan Islam sebagai nafas keagamaan. Keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut tentu berpengaruh pada proses Islamisasi.
Sebagaimana dipaparkan oleh Hilmy, Islamisasi di Jawa terjadi dengan begitu mudah. Semenjak awal masuknya Islam di tanah Jawa, tidak terjadi pertentangan yang berarti dari berbagai pihak, dan kemudian, dalam proses penyebarannya Islam mudah diterima di masyarakat. Kemudahan ini dijelaskan oleh para sejarawan dilatar belakangi oleh beberapa sebab: Pertama, Karena Raja Majapahit waktu itu memberikan kebebasan dalam beragama dan membolehkan diajarkannya agama Islam di masyarakat. Kedua, Ajaran Islam yang bersifat egaliterian menjadikan masyarakat kalangan bawah dari struktur feodal Majapahit tertarik untuk memeluknya. Ketiga, adanya para Wali Sanga atau para Sufi yang terus giat menyebarkan agama Islam dengan damai hingga ke pelosok pedalaman Jawa dengan pendekatan esoterik. Keempat, adanya pergantian raja dari yang dulu beragama Hindu/Budha ke raja Muslim menjadikan rakyat turut serta mengikuti keyakinan raja tersebut.  (Hilmy, 1999: 21)
Dengan demikian, penyebaran Islam terjadi secara efektif melalui dua bentuk, yakni, bottom up dan top down.  Bentuk bottom up sebagaimana yang diusahakan oleh para sufi dengan menelusuri masyarakat Jawa hingga ke pedalaman. Sedangkan top down terjadi melalui kebijaksanaan raja Muslim, misalnya penetapan Islam sebagai agama kerajaan yang dilakukan oleh Sultan Agung pada tahun 1633, penggabungan hitungan hari dan kalender Jawa dengan kalender Islam, dan sebagainya. Meskipun Islamisasi di tanah Jawa dengan dua arah ini terjadi, akan tetapi, tetap saja wajah budaya dan tradisi Jawa sebelumnya tidak hilang. Hal ini dijelaskan oleh Hilmy karena masyarakat Jawa pada dasarnya memiliki jiwa mistik yang kuat. Mereka tidak begitu peduli dengan nilai eksoterik yang berbeda antara agama satu dengan yang lain. Bagi mereka kesempurnaan mistik lebih menarik daripada merespons urusan eksoterik. Maka dari itu, usaha yang dilakukan para sufi dalam menyebarkan Islam dimulai dari urusan esoteris daripada eksoterik. Misalnya apa yang telah diusahakan Sunan Kalijaga dalam memasukkan nilai-nilai keislaman dalam budaya wayang. Cerita-cerita wayang yang dulunya murni Hindu sedemikian rupa diubah spiritnya menjadi Islam dengan menawarkan konsep kesempurnaan mistik Islam. (Hilmy, 1999: 23).
Sebagai hasil dari kedua bentuk Islamisasi tersebut adalah munculnya model Islam yang bersifat sinkretis. Di mana ajaran Islam terjalin sedemikian rupa dengan ajaran Hindu-Budha dan juga budaya Jawa. Hal ini yang menjadikan hubungan yang sangat erat antara Islam dan kultur Jawa. Akan tetapi, betapa pun keeratan hubungan itu terjadi, semenjak adanya arus penetrasi Islam ala Timur Tengah ke Jawa, muncul pandangan negatif terhadap Islam Jawa. Orang-orang yang melaksanakan praktik Islam ala Jawa di cap sebagai “Muslim yang buruk” (bad Muslim), sedangkan Islam yang benar (genuine) adalah Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat di mana agama ini berasal yakni Arab. Kemudian, klaim antara Islam genuine dan bad Muslim, muncul dalam istilah Islam Abangan dan Islam Putihan, atau dalam bahasa Geertz disebut dengan kaum Abangan dan Kaum Santri. Menguatnya kaum santri inilah yang nanti memperkuat arus Islamisasi terhadap Islam Jawa. Sedikit demi sedikit mengikis praktik Islam kultural yang dianggap tidak sesuai dengan Islam genuin.

C. Slametan dalam Struktur Islam Jawa
 Slametan merupakan sebuah ritual khas yang menjadi sentral dari struktur Islam Jawa. Dikatakan sentral sebab tradisi ini yang dominan mewarnai wajah keberagamaan Islam Jawa. Seolah slametan menjadi sesuatu yang integral dalam benak Muslim Jawa, sehingga sulit bagi mereka untuk meninggalkan ritual ini. Meski tidak jarang kelompok santri puritan mengatakan ritual itu salah, slametan tetap saja tidak ditinggalkan oleh Muslim Jawa. Bahkan dalam kenyataannya, tradisi slametan tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang dicap abangan saja. Akan tetapi para Santri (yang memaknai agama tidak dengan puritan), dan priyayi juga ikut melaksanakan. Justru dalam satu ritual slametan sering kali ketiga kelompok tersebut bersatu padu menjalin kebersamaan.
Mengawali pemahaman tentang Slametan ini, Masdar Hilmy memaparkan berbagai definisi  dari beberapa tokoh. Ada dinamika dalam pendefinisian tradisi  slametan. Peneliti dari belanda, Mayer dan Moll (1909), yang lebih awal meneliti slametan mendefinisikan slametan “is actually the offer a meal (meal charity) which is given to create a state of the well-being of a person or a family or other earthly matters”. (Slametan adalah memberikan makanan (sedekah makanan), demi menciptakan kondisi kehidupan yang baik pada seseorang atau keluarga atau makhluk bumi yang lain). Kemudian Clifford Geerrz (1957) mendefinisikan “Slametan as the javanese version of what is perhaps world’s common religious ritual, the communal feast, and, as almost every where, it symbolizes the mystic and social unity of those participating in it”. (Slametan adalah apa yang disebut pada umumnya sebagai ritual keagamaan secara berjamaah versi Jawa, layaknya pesta bersama, dan sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat, acara ini penuh dengan simbol-simbol mistik dan kesatuan sosial dari setiap pihak yang berpartisipasi). Satu pemikiran dengan Geertz, Hafner mendefinisikan dengan lebih rinci, “Slametan as a public ceremony involving priestly invocation of worship and deities, the withnessing of that event by lay persons, and, at least in most instances, some kind of meal communion or social festivity to celebrate the occasion”. (Slametan adalah upacara publik yang melibatkan pembacaan doa dan peribadatan kepada para dewa oleh tetua, diiringi kesaksian dari masyarakat awam, dan paling tidak biasanya terdapat beberapa jenis sajian makanan atau pesta sosial untuk merayakan acara tersebut). Kemudian dengan pendekatan yang berbeda Mark Woodward mendefinisikan slametan dengan nuansa lebih  Islami. Menurutnya, slametan adalah “a ritual meal at which Arabic prayer are recited and food is offered to the Prophet Muhammad, Saints, and ancestor, who are implored to shower blessing on the comunity”. (Ritual makanan dimana doa berbahasa Arab diucapkan dan makanan dipersembahkan untuk Nabi Muhammad, Para Wali, dan leluhur yang diminta untuk menebarkan rahmat kepada masyarakat). Di antara definisi-definisi tersebut, Woodward memang berbeda dengan berusaha menegaskan bahwa slametan murupakan tradisi Islam yang dinaturalisasikan.
Menyikapi perbedaan yang ada dari berbagai definisi tersebut, Masdar Hilmy berusaha menarik benang merah dengan mendefinisikan slametan secara global. Ia menegaskan, slametan adalah “a Javanese Muslim ritual conducted to gain certain blessing from God”. (Ritual Islam Jawa yang dilaksanakan demi menggapai rahmat  dari Tuhan). Adapun tujuan yang lebih rinci dari slametan adalah terciptanya kondisi selamat lahir dan batin serta tergapainya kehidupan yang baik dan sejahtera (prosperity). Kemudian Hilmy menjelaskan, jika merujuk pada definisi-definisi di atas, slametan merupakan hasil perpaduan antara unsur Islam, unsur Hindu-Budha, dan unsur yang lain, sedangkan dasar dari slametan itu sendiri adalah hasil dari interpretasi Muslim Jawa tentang makro kosmos dari kehidupan supra natural. (Hilmy, 1999: 48)
Untuk kesimpulan bagian terakhir tentang hakikat slametan apakah Islamis, ataukah sinkretis, terdapat pandangan yang diameteral berbeda, antara Mark Woodward dan tokoh-tokoh sebelumnya, yakni Geertz dan Hafner. Woodward pada intinya mengkritik Geertz yang mengatakan slametan adalah sinkretik, atau bahkan animistik. Argumentasi Geertz tentang klaimnya tersebut didapatkan dari informan-informan yang ia tanyai pada saat melakukan penelitian di Mojokuto. Informan Geertz mengatakan bahwa inti dari slametan adalah terletak pada makanan, karena makanan tersebutlah yang dipersembahkan untuk roh leluhur agar mereka memberikan keslametan bagi pihak yang mengadakan slametan. Dari dasar inilah kemudian Geertz memunculkan klaim bahwa slametan bersifat animistik. Adapun Woodward menolak klaim Geerrz dengan dalih bahwa tradisi ritual meal sebagaimana yang ada dalam slametan sebenarnya adalah tradisi Islam yang itu juga terjadi di India Selatan, Persia, Bangladesh, dan tempat-tempat yang lain. Kemudian Woodward juga menggunakan al-Quran dan hadis untuk menemukan relevansi slametan dalam Islam. Hasilnya pun relevan, Ia menyamakan slametan dengan sedekah dalam tradisi Islam pada umumnya. (Hilmy, 1999: 64).
Memandang perbedaan pandangan yang terjadi di antara Geertz dan Woodward, Masdar hilmi menjelaskan hal itu disebabkan dua faktor. Pertama faktor setting, yakni tempat dan waktu penelitian yang berbeda. Geertz meneliti di kecamatan Mojokuto dengan waktu lebih awal daripada Woodward yakni tahun 1950an, sedangkan Woodward melakukan penelitian di Jogjakarta dan beberapa daerah di Jawa tengah, pada waktu setelah penelitian Geertz selesai. Perbedaan setting ini sangat menentkan perbedaan pandangan keduanya, sebab Menurut Hilmi, saat Geertz meneliti kekuatan abangan masih kuat di Jawa, sedangkan di zaman Woodward, sudah terjadi Islamisasi sedemikian rupa melalui bertambahnya ulama dan juga keaktifan para santri dalam pemenangan kancah politik.
Kedua, faktor perbedaan pendekatan. Sebagaiman telah disinggung di awal, pendekatan yang digunakan kedua pihak tidak sama. Geetrz, menggunakan pendekatan kontekstual yakni sosio-kultural sedangkan Woodward menggunakan pendekatan tekstual, berupa pengujian tradisi dengan menggunakan teks-teks keagamaan Islam. Dari sini Hilmy menemukan kurang seimbangnya pendekatan yang dilakukan masing-masing pihak. Kemudian ia berusaha menggunakan sintesis dua pendekatan tersebut dalam menilik slametan apakah Islamis, Sinkretik, ataukah animistik.

D. Ritual Slametan dari Kacamata Analisis Tekstual dan Kontekstual
Poin ini merupakan tahap puncak dari penelitian tesis Masdar Hilmy. Ia berusaha mengungkap kembali slametan dengan menggunakan perspektif Mark Woodward sekaligus Clifford Geertz. Dengan mengutip pendapat Denny, Hilmy menegaskan bahwa analisis slametan seharusnya menggunakan dua perspektif sekaligus, yakni tekstual dan kontekstual. Hanya menggunakan salah satu darinya akan memunculkan pandangan yang tidak komprehensif. Terlebih jika salah satu perspektif itu digunakan mengkritik hasil analisis perspektif yang lain--sebagaimana yang dilakukan Woodward terhadap hasil penelitian Geertz--,sebenarnya itu tidak tepat. (Hilmy, 1999:79)
Mirip dengan apa yang dilakukan oleh Woodward dalam menganalisis slametan secara tekstual, Hilmy berusaha mengulasnya dengan menelusuri unsur-unsur normatif-tekstual. Berawal dari mengkaji kata slametan dengan pendekatan semantik, dikatakan bahwa slametan berasal dari bahasa Arab salam, dan kata-kata itu sering digunakan dalam istilah-istilah Islam, misal ketika mengucapkan sapaan salam kepada orang lain, ketika masuk kompleks makam, ketika bershalawat kepada Nabi Muhamad, dan sebagainya. Slametan dari sudut pandang normatif-ubudiyah juga memiliki relevansi dengan spirit ritual ajaran Islam. Mengutip Woodward, Hilmy menjelaskan bahwa slametan identik dengan semangat sedekah, zakat, dan qurban yang dilaksanakan pada hari raya Idul Adha. Hanya saja secara normatif-tekstual, eksistensi beberapa peribadatan tersebut memiliki hukum fiqih yang jelas, wajib atau sunnah, sedangkan slametan memang banyak yang menghukuminya sunnah, akan tetapi, hukum yang mendasarinya (yang menyebabkan dihukumi sunnah) adalah karena fadha’il al a’mal (keutamaan amal) saja. (Hilmy, 1999: 83) Ada landasan lain yang sebenarnya lebih kuat untuk legitimasi eksistensi slametan. Hilmy dengan mengutip Abdurrahman Wahid mengatakan landasan itu adalah kaidah fiqih al ‘adah shari’ah muhakkamah, maksudnya, tradisi yang tidak bertentangan dengan syari’ah bisa masuk dalam kategori syari’ah. Sehingga, meskipun slametan tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun hadis, tetap saja itu bisa digolongkan tradisi yang memiliki nilai ibadah. .(Hilmy, 1999: 86)
Kemudian, secara fungsional, Hilmy berusaha menganalisis mengapa slametan masih saja eksis dalam struktur agama Jawa. Menurutnya, hal itu disebabkan slametan memang sudah menjadi sarana spiritual (spiritual apparatus) untuk mendapatkan keberkahan, terhindar dari  mala petaka, terkabul segala permintaannya, dan lain-lain. Tidak cukup itu saja, sebagaimana yang diungkapkan Geertz, ritual ini juga berfungsi sebagai sarana bagi masyarakat untuk menjaga keguyuban dan kerukunan sosial.
Keberadaan slametan terus saja terjaga dalam struktur kultur Jawa. Bahkan tradisi ini sudah menjadi bagian integral dalam struktur Jawa itu sendiri yang terus dilaksanakan dari generasi ke generasi. Untuk mencari akar keintegralan ini, Hilmy menggunakan kacamata struktural. Ia mendasarkan pada teori Levi-Strauss bahwa ritual memiliki hubungan  struktural dengan mitos. Untuk itu ia juga menggunakan teori model of  dan model for, milik Geertz. Hilmy mengutip Woosward dalam melacak akar mitos dari slametan. Ia mengungkapkan cerita tentang Sunan Kalijaga yang mengusulkan kepada raja Demak untuk melaksanakan slametan, sebab terjadi keguncangan sosial-ekonomi masyarakat karena dihapuskannya tradisi memberi makan kepada rakyat miskin yang dilakukan oleh kerajaan sebelumnya, yakni Majapahit. Dengan demikian, slametan dilakukan untuk msnciptakan kesatuan antara rakyat dengan raja, dan untuk menjaga kesejahteraan rakyat. Selain itu, cerita lain juga diungkapkan bahwa slametan muncul untuk menjalin hubungan antara manusia dengan alam. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masyarakat suku tengger yang melaksanakan slametan sebagai ritual persembahan pada Dewa Kusuma yang menguasai gunung Bromo. (Hilmy, 1999: 96)
Dengan demikian, secara kontekstual, slametan tidak bisa dikatakan sepenuhnya Islami. Dalam beberapa daerah, slametan bersifat sinkretik, seperti halnya yang terjadi di masyarakat Banyuwangi, slametan diwarnai nuansa sinkretik antara Hindu dan Islam. Di sana ada paham trinitas Adam, Hawa dan Wisnu. Adam dan Hawa yang berasal dari Islam dalam slametan mewujud pada simbol bubur putih dan bubur merah. Bubur putih melambangkan sperma Ayah sedangkan bubur merah melambangkan darah ibu. Kemudian, di antara Adam dan Hawa tersebut juga ada Wisnu sebagai lambang dari dewa Hindu.
Terakhir, dalam kesimpulan penelitian ini, Hilmi memunculkan statemen:
It may safely to argue that to see Javanese Islam, and thus the slametan ritual as its hybrid, one should employ a comprehensive and holistic approach. To say that the slametan is animistic ritual is to deny the reality that is completely Islamized. On the other hand, to argue that the slametan  is purely Islamic amounts to negation of the historicity of Javanese Islam. The most realistic statement is problably that the slametan is neither purely animistic nor purely Islamic, but that both element are present (syncretistic).

E. Sebuah Komentar
Tidak dapat dipungkiri, usaha Masdar Hilmy dalam mengolaborasikan perspektif tekstual dan kontekstual telah mampu memunculkan pemahaman yang lebih komprehensif. Ia setidaknya mampu menghalau pandangan psudo-universal dari Clifford Geertz dan Mark Woodward yang  masing-masing bertahan pada kutub klaim slametan sebagai tradisi animistik dan klaim slametan sebagai tradisi Islami. Dalam posisinya sebagai “penghulu” kedua perspektif, Hilmi mampu mengambil jalan tengah di antara dua klaim itu dengan kesimpulan besar bahwa slametan bukan animistik sekaligus bukan pula murni Islam, melainkan sinkretis.
Bagi Hilmy, sinkretis lebih tepat disematkan pada status slametan. Ia juga memerincikan berbagai model sinkretis dalam slametan. Ada yang nilai sinkretisnya sebatas pada pernak-perniknya saja, ada pula sinkretis hingga pada taraf hakikat teologi. Kesimpulan seperti ini mirip yang dilakukan oleh M.C. Ricklefs dalam menjelaskan sejarah Islam di Jawa abad 18. Ia menyebutkan karakteristik umat Islam pada masa itu adalah “mystic synthesis,” di mana ajaran Islam yang murni bercampur dengan kepercayaan Jawa, seperti Nyai Roro Kidul, Sunan Lawu dan sebagainya. (Ricklefs, 2008: 34). Hal ini mirip dengan model sinkretis slametan yang terjadi di Banyuwangi yang mencampurkan ajaran Islam tentang Adam dan Hawa dengan kepercayaan kepada Dewa Wisnu Hindu. Dengan demikian, gagasan “sinkretis” terhadap tradisi Islam Jawa bukanlah semata-mata perkara yang baru dari Masdar Hilmy, tepatnya ia hanya meneruskan klaim yang dimunculkan oleh M.C. Ricklefs saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar