BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradaban Islam adalah peradaban teks. Itulah realitas yang tidak
bisa dipungkiri dari zaman awal Islam sampai sekarang. Keimanan kepada Allah
dan Nabi Muhammad Saw. mmmbawa konsekuensi logis untuk beriman kepada al-Qur’an
dan Sunnahnya. Hal ini yang menyebabkan al-Qur’an menjadi referensi sentral
kaum Muslimin. al-Qur’an diyakini berasal dari Allah yang diwahyukan kepada
Rasulullah. Sedangkan sunnah rasul merupakan sentral kedua setelah al-Qur’an,
karena didalam al-Qur’an terdapat perintah untuk percaya dan mencontoh Rasul.
Akantetapi, untuk Sunnah sebagai sentral kedua ini terdapat perbedaan
dikalangan ulama’ Islam sendiri. Diantara mereka ada yang berpegang teguh pada
Sunnah dan ada pula yang cenderung mengabaikan sunnah.
Secara historis perbedaan pandangan dikalangan umat Islam sudah
terjadi semenjak awal Islam itu sendiri lahir. Itu artinya ketika Rasul masih
hidup perbedaan pandangan sudah muncul, akan terapi masih bisa didamaikan oleh
Rasul sendiri. Namun, semenjak Rasul wafat, perbedaan semakin bermunculan, dan
sulit dikendalikan. Perbedaan tersebut bukan hanya dalam hal berpegang teguh
pada sunnah atau tidak, Akan tetapi juga mencakup hal-hal lain seperti fiqih
dan aqidah.
Munculnya perbedaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari perbedaan
yang terjadi antara realitas zaman Rasul dengan zaman sesudahnya. Kebutuhan
untuk menafsirkan teks–teks suci makin urgen. Hal itulah yang menjadi salah
satu pendorong munculnya para penafsir sebagai penyampai pesan Tuhan untuk memberikan
kemaslahatan bagi umat.
Munculnya para penafsir tersebut pada satu sisi mampu memberikan petunjuk
bagi Umat, akan tetapi disisilain juga membawa keresahan umat. Tidak sedikit
terjadi fitnah, pengkafiran, penyiksaan dan sebagainya disebabkan perbedaan
penafsiran. Fanatisme terhadap kelompok dengan penafsiran tertentu yang diyakini
benar makin merajalela. Sehingga munculah madzhab-madzhab dalam berbagai bidang
seperti madzhab Kalam dan madzhab fiqih yang pada intinya semua madzhab
tersebut sangat berkaitan erat dengan penafsiran. Artinya, pada madzhab-madzhab
tersebut terdapat akar perbedaan pada metode atau paradigma penafsiran teks
suci.
Salah satu madzhab yang dulu pernah Berjaya dizamannya adalah
Mu’tazilah. Mu’tazilah merupakan madzhab rasionalis yang terkesan unik ketika
dikaitkan dengan metode tafsirnya. Keunikan tersebut menurut hemat kami
(penulis) terletak pada corak ra’yi yang pada masanya dianggap controfersial.
Meskipun menuai kontroversi mereka tetap mengembangkan pemikirannya tersebut
sehingga memunculkan karya-karya yang bercorak khas mereka. Adapun mengenai
penjelasan lebih lanjut tentang tafsir Mu’tazilah kami akan mencoba
memaparkannya pada makalah ini.
B.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah singkat Mu’tazilah ?
2.
Apa Ideologi Tafsir Mu’tazilah?
3.
Kitab apa yang termasuk dalam kitab tafsir Mu’tazilah?
4.
Apa metode yang digunakan dalam penafsiran Mu’tazilah?
5.
Apa corak yang dipakai dalam penafsiran Mu’tazilah?
6.
Bagaimana contoh penafsiran Mu’tazilah ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui
sejarah singkat Mu’tazilah.
2.
Untuk mengetahui ideologi Mu’tazilah.
3.
Untuk mengetahui kitab-kitab tafsir Mu’tazilah.
4.
Untuk mengetahui metode penafsiran Mu’tazilah.
5.
Untuk mengetahui corak yang dipakai dalam penafsiran
Mu’tazilah.
6.
Mengetahui bentuk langsung Tafsir Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Mu’tazilah
Asal usul istilah mu’tazilah sebagai nama kelompok Islam tertentu
masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para pemikir sejarah. Adapun
pendapat yang mashur mengatakan bahwa Mu’tazilah merupakan sebutan untuk
kelompok yang dipelopori oleh Washil bin Atha’. Kelompok ini pada awalnya
muncul dari perdebatan teologis antara Washil bin Atha dengan gurunya Hasan al
Bashri. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika
Hasan al-Bashri masih berfikirWashil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan
engatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir tetapi mengambil possi diantara keduanya, tidak mu’min dan
tidak kafir.” Kemudian dia berdiri dan menjauh dari Hasan al-Bashri pergi ke
tempat lain di Masjid dan mengulangi pendapatnya tersebut. Atas peristiwa ini
Hasan al-Bashri mengatakan, “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala’ anna).”
Dengan demikian ia beserta teman-temannya dsebut kaum Mu’tazilah.[1]
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina
Mu’tazilah adalah Wasil bin Atha’. Wasil lahir tahun 81 H di madinah dan
meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad
ibn al-Hanafiyah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri.[2]
Semenjak meninggalkan Majelis Hasan al-Basri, Wasil bin Atha’
bersama rekannya, Amr bin Ubaid mengajarkan penafsiran teks yang beberapa
dinilai berbeda dengan penafsiran
umumnya. Hal ini dikarenakan mereka mengedepankan penafsiran dengan rasio (ra’yi).
Diantara produk penafsiran yang menjadi
prinsip utama kaun Mu’tazilah adalah: ajaran tentang Tauhid, keadilan Tuhan,
janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id), tempat diantara dua tempat (manzilah
baina al-manzilatain), dan mengerjakan yang baik dan melarang kemungkaran (amar
ma’ruf nahi munkar).[3]
Selain itu semua, ada lagi prinsip utama Mu’tazilah yang memiliki
kesamaan dengan kelompok Qadariyah yaitu kehendak bebas manusia (free
will). Karena free will nya ini, Mu’tazilah sangat menjunjung
tinggi Rasio. Sehingga, dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an mereka lebih
mengutamakan sumber Rasio. Menurut mereka Wahyu seharusnya sesuai dengan rasio
bukan sebaliknya. Apabila al-Qur’an tidak sesuai dengan Rasio maka harus
dita’wilkan.[4]
Mu’tazilah dibawah binaan Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid
semakin menemukan jalan terang menuju kejayaan. Dalam langkah-langkahnya mereka
menemukan kesuksesan-kesuksesan. Pengikutnya semakin hari semakin bertambah.
Sehingga mereka mampu mengambil perhatian kerajaan. Khalifah Yazid bin Walid
terang-terangan mendukung Mu’tazilah dan selama masanya Mu’tazilah menjadi
madzhab yang lebih diutamakan daripada madzhab-madzhab yang lain.
Setelah dinasti Umayyah runtuh tahun 132/749, Mu’tazilah
mendapatkan sambutan yang ramah dari dinasti Abasiyah. Khalfah kedua Abasiyah,
al-Mansur merupakan teman kecil Amr bin Ubaid dan sekaligus pengikut
Mu’tazilah. Pada masa pemerintahannya, al-Mansur (754-77M) selalu mendukung
Mu’tazilah dengan segala kegiatan ilmiyahnya. Bahkan dia sendiri juga turut
mendengungkan agar kebudayaan dan ilmu pengetahuan terus di kembangkan.
Buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan dari India, Persia, Syria, dan Yunani
harus diterjemahkan dalam bahasa Arab. Penerjemahan tersebut diadakan dibawah
komando dan didanai oleh Negara.[5]
Ketika al-Makmun (813-833 M) diangkat menjadi Khalifah, Mu’tazilah
masih tetap mendapatkan kehormatan yang tinggi. Sebagimana yang diungkapkan
oleh Saeed Shaikh, Al-Makmun, sering turut mendengarkan perdebatan antar agama.
Dia memberikan kebebasan berfikir dan berpendapat kepada mereka. Dalam
perdebatan-perdebatan tersebut, Mu’tazilahlah yang sering tampil menjadi
pemenang. Sehingga menunjukkan bahwa Mu’tazilah merupakan Protector
Islam dari serangan-serangan luar.[6]
Dari pemaparan Saeed Shaikh tersebut penulis menemukan hal yang
nampak kontradiksi. Banyak refrensi lain yang mengatakan bahwa al-Makmun tidak
begitu memberikan kebebasan berfikir. Hal ini terbukti dengan adanya peristiwa al-mihnah.
Al-Mihnah merupakan kebijakan khalifah al-Makmun untuk memaksakan
kepercayaan bahwa al-Qur’an adalah firman yang diciptakan (makhluk) oleh karena
itu bersifat baru dan tidak abadi. Hal ini merupakan bukti nyata akan sikap
fanatisme al-Makmun terhadap Mu’tazilah.
Al-Makmun, sebagai penganut Mu’tazilah yang
fanatic, terpanggil untuk melaksanakan salah satu dari “lima prinsip pokok” (al-ushul
al-khamsah) yaitu al-amar bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar
secara konsekuen dengan menggunakan tangan kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga al-mihnah sesungguhnya merupakan suatu aplikasi
atas salah satu doktrin Mu’tazilah. Lebih dari pada itu, oleh karena Abbasiyah
menganut sistem teokrasi, para Khalifah merasa dirinya yang paling
bertanggungjawab menjaga keimanan (aqidah) umat dari faham syirik serta
mengembalikannya pada paham tauhid yang murni sesuai dengan tuntunan
al-Qur’an tersebut menghendaki seluruh warga Negara Muslim, terutama aparatur
pemerintah dalam semua tingkatannya, benar-benar memelihara diri dari hal-hal
yang merusak keyakinannya. Dalam pandangan pemerintah kepercayaan umat Islam
akan paham “al-Qur’an Qadim” adalah cenderung pada interpretasi
yang menjurus syirik, satu-satunya dosa besar yang tidak terampuni (QS,
4: 48), karena hal itu identik dengan mempersekutukan ke qadiman Tuhan
kepada selain-Nya. Sebaliknya, pengakuan bahwa al-qur’an makhluk, dalam arti
tidak qadim, merupakan cirri keimanan yang sejati.[7]
Dari fakta sejarah tersebut, jelaslah bahwa
pemikiran maupun penafsiran al-Qur’an Mu’tazilah tidak bisa terlepas dari intervensi
rezim yang berkuasa. Hal ini tidak hanya terjadi pada Mu’tazilah saja,
kelompok-kelompok lainpun juga tidak bisa terlepas dari pengaruh politik yang
menyelubunginya.
Tidak lama setelah al-mihnah, pada masa al-Mutawakil
(847-861M), Mu’tazilah menemukan jalan buntunya. Berbeda dengan al-Makmun,
al-Mutawakil lebih memilih aliran Salaf yang mendukung sunnah (tafsir bi al
ma’tsur) daripada alran Rasionalisme (tafsir bi al ra’yi).
Disebabkan hal tersebut, Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan
salaf[8]
kembali naik daun.[9]
Semenjak itulah aliran Rasionalisme dalam Islam mulai meredup dan
termarjinalkan.
B.
Ideologi Tafsir Mu’tazilah
Sebelum membahas lebih jauh tentang Ideologi tafsir Mu’tazilah
terlebih dahulu penting untuk dipahami apa yang dimaksud tafsir Mu’tazilah di
sini. Tafsir mu’tazilah yang dimaksud disini adalah segala hal yang berkaitan
dengan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh para pngikut aliran mu’tazilah.
Jadi, term tafsir disini bukan berarti tafsir sebagai produk penafsiran, akan
tetapi lebih kepada segi metodologinya.
1.
Pandangan Mu’tazilah terhadap Wahyu
Hal mendasar dari prinsip penafsiran Mu’tazilah adalah pandangan
mereka terhadap wahyu. Harun Nasution mengatakan bahwa, Mu’tazilah memandang
turunnya wahyu dari Tuhan kepada manusia memiliki dua fungsi yaitu fungsi
konfirmasi dan informasi.
Pertama fungsi
konfirmasi. Fungsi ini mengandung pemahaman bahwa Wahyu (al-Qur’an) turun
berfungsi untuk memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal. Bagi Mu’tazilah,
akal manusia pada dasarnya mampu mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat,
mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui kewajiban melaksanakan
yang baik dan menjauhi yang jahat. Pengetahuan-pengetahuan tersebut juga bisa
ditemukan pada al-Qur’an. Dengan kata lain pengetahuan-pengetahuan akal
tersebut dikonfirmasi oleh al-Qur’an.
Kedua fungsi informasi. Menurut Abd al-Jabar, sebagaimana telah
dikutip oleh Harun Nasution bahwa pada kenyataannya akal tidak dapat mengetahui
semua yang baik. Begitu juga akal hanya dapat mengetahui kewajiban-kewajiban
garis besarnya, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai
hidup diakhirat nanti, mauun mengenai hdup manusia di dunia. Dari itu
dibutuhkan wahyu untuk menyempurnakan kelemahan akal tersebut. Contohnya pengetahuan
tentang kejahatan berdusta dan tidak adil itu dapat diketahui langsung dari
akal. Sedangkan kejahatan seperti berzina, minum-minuman
keras itu hanya bisa diketahui melalui wahyu. [10]
Dari uraian diatas dapatlah diambil pemahaman
bahwa mu’tazilah lebih cenderung memilih epistemology burhani[11], akan tetapi juga tidak menafikan bayani[12].
2.
Ideologi Penafsiran Mu’tazilah
Dalam
membentuk visinya, Mu’tazilah merumuskan beberapa tesis yang dijadikan Ideologi
penafsiran. Ideologi tersebut disusun
dengan model theology yang berasaskan rasionalisme yang kuat. Meskipun demikian
Ideologi teologis ini juga tidak terlepas dari penafsiran mereka terhadap
al-Qur’an itu sendiri. Sebagamana disinggung pada sejarah diatas bahwa
Mu’tazilah memiliki lima prinsip dasar (al-ushul al-Khamsah). Lima dasar
tersebutlah yang menjadi Ideologi pemikiran kaum Mu’tazilah. Tidak terkecuali
dalam menafsirkan al-Qur’an mereka juga berpijak pada lima dasar itu. Terkait
hal ini, Hambawang menjelaskan,
“Mereka
(Mu’tazilah) meletakkan kaidah-kaidah tersebut terlebih dahulu, kemudian di
atasnya mereka membangun madzhab i'tizal mereka itu, kemudian setelah itu mereka
berusaha untuk menundukkan ayat-ayat al-Qur'an, dan merumuskan daripadanya
dalil-dalil yang menguatkan kelima prinsip mereka itu.”[13]
Dari uraian tersebut jelaslah Mu’tazilah merupakan kelompok
rasionalis yang liberal. Jika dilihat dari argument-argumennya tentang lima
prinsip tersebut, akan terlihat
kecenderungannya memenangkan akal daripada al-Qur’an secara tekstual. Adapun
kelima prinsip tersebut adalah:
1.
Keesaan Tuhan (tauhid). Bagi Mu’tazilah, keesaan Allah sudah
final. Mereka berpandangan bahwa sifat-sifat Allah adalah tidak lain dari
hakikatnya sendiri. Orang yang percaya bahwa sifat-sifat Allah itu terpisah
dari hakikat-Nya dan berdiri sendiri, tentunya percaya akan “kemajemukan”
ajaran monoteisme. Makadari itu keesaan Allah berarti tidak ada yang kekal dan
qadim selain Allah.[14]
Kosep tauhid Mu’tazilah tersebut sangat berpengaruh pada pandangannya terhadap
al-Qur’an. Menurutnya al-Qur’an adalah makhluk Allah bukan Kalam Allah. Hal itu
dikarenakan jika al-Qur’an merupakan Kalam Allah, maka al-Qur’an bersifat qadim.
Mustahi bagi mu’tazilah ada bila dua keqadiman Yaitu Allah dan Kalamnya
(al-qur’an). jelas itu menyalahi konsep monoteismenya.[15]
2.
Keadilan Tuhan (al-adl). Tafsiran Mu’tazilah mengenai
pengertian keadilan adalah bahwa Allah SWT, wajib berbuat adil dan mustahil
jika tidak adil. Allah harus menggajar orang yang benar dan menghukum yang
salah. Mustahil dihari kiyamat orang akan lolos dari hukuman dan orang yang
benar tidak memperoleh pahla. Allah SWT, tidak adil jika berbuat demikian.[16]
3.
Janji dan ancaman (al-waad wa al-Wa’id). Janji dan ancaman
ini merupakan salah satu konsakuensi dari pemahaman Keadilan Tuhan di atas.
Allah pasti menepati janji dengan memberikan surga kepada yang berbuat baik dan
pasti juga mewujudkan ancamannya dengan memberikan neraka kepada pelaku dosa.
4.
Tempat diantara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain).
Posisi ini sering dikaitkan dengan orang yang
fasiq (yaitu orang yang berbuat dosa besar misalnya saja
minum-minuman keras, pezina, pedusta, dan sebagainya) bukanlah orang yang
beriman dan bukan pula orang kafir. Dengan demikian, Fasiq merupakan
diantara iman dan kafir.
5.
Menganjurkan kepada kebaikan dan menncegah kepada kemungkaran (Amar
ma’ruf nahi munkar). Pandangan Mu’tazilah mengenai kewajiban Islam ini.
adalah sbahwa syari’at bukanlah satu-satunya jalan untuk mengidentifikasi mana
yang ma’ruf dan mana yang munkar. Akal manusia, setidak-tidaknya sebagian,
dapat mengidentifikasikan sendiri berbagai jenis kemakrufan dan kemungkaran.
Dari lima prinsip tersebut dua prinsip yang awalah yang menjadi
prinsip utama. Tiga prinsip yang lain baru berarti karena memberi ciri
Mu’tazilah, Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Khairuman, “Paham keesaan dan keadilah (al-tauhid
dan al-adl) menjadi tesis pertama madzhab Mu’tazilah dan sekaligus menjadi nama
lain dari mu’tazilah.”[17]
Kelima prinsip tersebutlah yang menjadi tolok ukur penafsiran
Mu’tazilah. Sebelum mengeluarkan produk penafsiran harus diyakinkan terlebih
dahulu bahwa penafsirannnya sesuai dengan lima prinsip tersebut. Apabila
orang tidak sejalan dengan prinsip tersebut meskipun cuma satu saja maka sudah
dianggab bukan kelompok Mu’tazilah.[18]
C.
Kitab Tafsir Mu’tazilah
Sebagaimana telah terpaparkan pada sejarah di atas, bahwasannya
Mu’tazilah merupakan Salah satu sekte Islam yang gemar mengembangkan ilmu
pengetahuan. Sekte ini juga gemar diskusi ilmiyah dan juga berdebat theology.
Dari itu tentu, pada zamannya, muncul banyak pemikir tafsir al-Qur’an. diantara
para mufassir Mu’tasilah adalah: Imam Abu Bakr al-Ashamm, Imam Abu'Ali
al-Jabany, Abul Qasim al-Balkhy, Imam Abu Muslim bin Bahr al-Ashfahany, Imam
al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamzany, Imam asy-Syarif al-Murtadha
al-'Alim asy-Syi'iy al-'Alawy, Imam Abul Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari.
Diantara para mufassir Mu’tazilah tersebut banyak karya-karyanya
yang tidak bisa kita jumpai pada masa sekarang. Adapun satu-satunya kitab Tafsr
Mu’tazilah utuh satu al-Qu’an yang bisa kita pegang adalah kitab al-Kasysyaf an Haqa’iq al-Tanzil
Uyun al-Aqawi fi Wujuh al-Ta’wil[19],
karya Imam Abul Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari (w.538 H).[20] Selain itu,
Imam al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamzany, (w.415 H). Beliau telah
menyusun kitab tafsirnya yang berjudul Tanzihul Qur'an' 'anil Matha'in. Kitab
ini beredar di kalangan ulama, tetapi kandungannya tidak meliputi keseluruhan
isi al-Qur'an.[21]
D. Metode Penulisan dan Corak Tafsir Mu’tazilah
Tidak menutup kemungkinan tentang adanya model
metode penulisan yang beragam pada Tafsir Mu’tazilah di
zamannya. Akan tetapi, terkait hal tersebut kami tidak menemukan jelasnya metode apa saja yang
digunakan. Jika dilihat dari kitab tafsir al-Kasysyaf sebagaimana yang dijelaskan Fauzan Naif bahwa
kitab tersebut dituliskan berdasarkan tartib mushafi, yaitu berdasarkan
surat dan ayat dalam Mushaf Usmani, terdiri dari 30 juz berisi 144 surat dimulai dengan surat al-Fatihah
diakhiri dengan surat al-Nas. Setiap surat diawali dengan basmalah kecuali surat al-Taubah.[22]
Dengan kata lain metode yang digunakan oleh al-Zamaksari dalam kitabnya
tersebut adalah metode tahili. Hal ini juga membawa kesimpulan bahwa
Mu’tazilah juga mengembang kan penafsiran al-Qu’an dengan metode tahlili.
Jika dilihat dari produk / materi tafsirnya, secara umum Mu’tazilah
kental dengan nuansa atau corak teologis (kalam).[23] Hal ini juga dapat dilihat dari kacamata sejarah bahwa Mu’tazilah
merupakan aliran kalam terbesar pada masanya. Predikat protector Islam
merupakan bukti akan keberhasilannya
dalam berargumentasi melalui ra’yinya dengan al-Qur’an.[24]
Sedangkan metodologi dominan (corak
metodologis) yang digunakan
dalam tafsir Mu’tazilah adalah metode linguistik (ilmu bahasa). Hal ini sebagaimana yang di paparkan oleh Goldziher:
“Usaha-usaha yang disuguhkan al-Murtadha dalam upaya menafsirkan
al-Qur’an, kerap bersandar kepada pemimpin lama Mu’tazilah Abi Ali al-Juba’i.
ia sangat menyukainya karena menggunakan kerangka perspektif linguistic. Inilah
prinsip yang sangat penting sejak awal penafsiran Mu’tazilah. Mereka memahami
ungkapan-ungkapan yang menunjukkan pada tasybih, atau hal yang tidak pantas
dengan kedudukan Tuhan, dengan pentakwilan-pentakwilan yang lebih banyak dan
jauh dari tasybih, disertai bukti-bukti linguistic (dari syair-syair klasik). Dalam
eksplorasinya, mereka berusaha sekuat tenaga untuk selalu berjalan pada prinsip
yang tetap dalam bahasa.”[25]
Kajian-kajian kebahasaan tersebut juga sering dihubungkan dengan
tafsir teologis. hal ini sebagai mana
yang dikutib Goldziher dari Abu Qasim
Ali bin Thahir bahwa ia membenarkan atas adanya kompromi tafsir dengan
teori-teori aliran Mu’tazilah.[26]
Corak tasir linguistik yang mengerah pada teologies tersebut juga
terdapat pada kitab tafsir al-Kasysyaf. Jika dilihat Tafsir ini di dalamnya penuh dengan romantika balaghah (kajian
pilologi) serta kental dengan unsur-unsur teologi mu’tazilah. Tafsir ini
termasuk tafsir apologis, yang menjadikan Qur’an sebagai alat legitimasi demi
kepentinga pribadi, mazhab dan golongan. Metode mereka rata-rata lebih banyak berdasar pada
asumsi ungkapan Majazi.[27]
E. Pendekatan
Penafsiran Mu’tazilah
Dilihat dari sumber tafsirnya, jelas, secara umum Mu’tazilah menggunakan
epistemologi tafsir bi al-ra’yi. Meskipun nuansa linguistik cukup
dominan digunakan, akan tetapi linguistic tersebut lebih kental dengan kajian balaghah
yang tujuannya untuk mentakwilkan makna teks yang tidak sesuai dengan akal.
Dengan demikian secara Umum pendekatan yang digunakan Tafsir Mu’tazilah adalah pendekatan subjektif. Pendekatan subyektif adalah pendekatan
yang terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok.[28]
Pada tafsir Mu’tazilah Nuansa pembelaan kepentingan golongan atau madzhabnya juga sangat kental. Hal ini minimal terbukti dari kekonsitenannya
dalam mempertahankan al-ushul al-khamsah-nya.
Kaum Mu’tazilah,
dalam pandangan mereka itu, selalu berpedoman hanya pada akal, bahkan
menjadikan para Nabi sebagai hujjah (bukti) atas kebenaran risalah ilahiyah,
yaitu bahwa mereka (para Nabi) itu diutus oleh Allah untuk bertindak dengan
menggunakan bukti-bukti akal dan para argumentasinnya.[29]
Adapun manfaat
paling besar yang diambil Mu’tazilah dari persyaratan mereka dalam penafsiran
Al-Quran yang sesuai dengan akal mengenai kebenaran-kebenaran agama adalah
perlawanan mereka terhadap konsep-konsep khurafat (mitos) yang bertentangan
dengan akal yang mana hal tersebut telah mapan pengaruhnya dalam agama.[30]
F. Contoh Penafsiran Mu’tazilah
Berikut contoh penafsiran Mu’tazilah diambil
dari kitab al-Kasysyaf karya al-Zamaksari.
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ
لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)
كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (20) وَتَذَرُونَ الْآخِرَةَ (21) وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ
بَاسِرَةٌ (24) تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (25)
الضمير في { بِهِ } للقرآن . وكان رسول
الله صلى الله عليه وسلم إذا لقن الوحي نازع جبريل القراءة ، ولم يصبر إلى أن
يتمها ، مسارعة إلى الحفظ وخوفاً من أن يتفلت منه ، فأمر بأن يستنصت له ملقياً
إليه بقلبه وسمعه ، حتى يقضى إليه وحيه ، ثم يقفيه بالدراسة إلى أن يرسخ فيه .
والمعنى : لا تحرّك لسانك بقراءة الوحي ما دام جبريل صلوات الله عليه يقرأ {
لِتَعْجَلَ بِهِ } لتأخذه على عجلة ، ولئلا يتفلت منك . ثم علل النهي عن العجلة
بقوله { إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ } في صدرك وإثبات قراءته في لسانك { فَإِذَا
قرأناه } جعل قراءة جبريل قراءته : والقرآن القراءة { فاتبع قُرْءَانَهُ } فكن
مقفياً له فيه ولا تراسله ، وطأمن نفسك أنه لا يبقى غير محفوظ ، فنحن في ضمان
تحفيظه { ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ } إذا أشكل عليك شيء من معانيه ، كأنه
كان يعجل في الحفظ والسؤال عن المعنى جميعاً ، كما ترى بعض الحراص على العلم؛ ونحوه
{ وَلاَ تَعْجَلْ بالقرءان مِن قَبْلِ إَن يقضى إِلَيْكَ وَحْيُهُ } [ طه : 114 ]
، { كَلاَّ } ردع لرسول الله صلى الله عليه وسلم عن عادة العجلة وإنكار لها عليه ،
وحثّ على الأناة والتؤدة ، وقد بالغ في ذلك بإتباعه قوله : { بَلْ تُحِبُّونَ
العاجلة } كأنه قال : بل أنتم يا بني آدم لأنكم خلقتم من عجل وطبعتم عليه تعجلون
في كل شيء ، ومن ثم تحبون العاجلة { وَتَذَرُونَ الأخرة } وقرىء بالياء وهو أبلغ
فإن قلت : كيف اتصل قوله { لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ } إلى آخره ، بذكر
القيامة؟ قلت : اتصاله به من جهة هذا للتخلص منه ، إلى التوبيخ بحب العاجلة ، وترك
الأهتمام بالآخرة . الوجه : عبارة عن الجملة والناضرة من نضرة النعيم { إلى
رَبِّهَا نَاظِرَةٌ } تنظر إلى ربها خاصة لا تنظر إلى غيره ، وهذا معنى تقديم
المفعول ، ألا ترى إلى قوله : { إلى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ المستقر ( 12 ) } [ القيامة
: 12 ] ، { إلى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ المساق ( 30 ) } ، { إِلَى الله تَصِيرُ الامور
} [ الشورى : 53 ] ، { وإلى الله المصير } [ آل عمران : 28 ] ، { وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ } [ البقرة : 245 ] ، { عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ } [
هود : 88 ] ، كيف دلّ فيها التقديم على معنى الاختصاص ، ومعلوم أنهم ينظرون إلى
أشياء لا يحيط بها الحصر ولا تدخل تحت العدد في محشر يجتمع فيه الخلائق كلهم ،
فإنّ المؤمنين نظارة ذلك اليوم لأنهم الآمنون الذين لا خوف عليهم ولا هم يحزنون ،
فاختصاصه بنظرهم إليه لو كان منظوراً إليه : محال ، فوجب حمله على معنى يصح معه
الاختصاص ، والذي يصح معه أن يكون من قول الناس : أنا إلى فلان ناظر ما يصنع بي ،
تريد معنى التوقع والرجاء . ومنه قول القائل :
وَإذَا نَطَرْتُ إلَيْكَ مِنْ ملك ...
وَالْبَحْرُ دُونَكَ زِدْتَني نِعَمَا
وسمعت سروية مستجدية بمكة وقت الظهر
حين يغلق الناس أبوابهم ، ويأوون إلى مقائلهم ، تقول : عيينتي نويظرة إلى الله
وإليكم ، والمعنى : أنهم لا يتوقعون النعمة والكرامة إلا من ربهم ، كما كانوا في
الدنيا لا يخشون ولا يرجون إلا إياه ، والباسر : الشديد العبوس ، والباسل : أشد
منه ، ولكنه غلب في الشجاع إذا اشتد كلوحه { تَظُنُّ } تتوقع أن يفعل بها فعل هو
في شدّته وفظاعته { فَاقِرَةٌ } داهية تقصم فقار الظهر ، كما توقعت الوجوه الناضرة
أن يفعل بها كل خير[31] .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan:
1. Mu’tazilah adalah aliran teologi rasionalis
yang didirikan oleh wasil bin Ata’. Alran ini muncul semenjak Wasil memisahkan
diri dari majelis Hasan al-Basri dan membentuk majelis sendiri. Aliran ini
sangat menyukai ilmu pengetahuan. Aliran ini terus berkembang sampaia khirnya
dijadikan madzhab resmi dinasti Abasiyah. Akan tetapi pada masa Khalifah
al-Mutawakil aliran ini diceraikan oleh Negara dan semain tersisihkan.
2. Dalam pemikiran tafsirnya, Mu’tazilah sangat terpengaruh dengan ideologinya
(al-usul al-khamsah) yaitu, tauhid, keadilan Tuhan, janji dan ancaman,
tempat diantara dua tempat, dan amar bi-al ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar.
3. Corak yang digunakan dalam tafsir Mu’tazilah
adalah bercorak teologis. Dalam kamus ilmiah “teologi” secara harfiyah berarti
teori/studi tentang Tuhan. Sedangkan metode yang digunakan dalam tafsir
Mu’tazilah adalah metode linguistik (ilmu bahasa).
4. Pendekatan yang digunakan Tafsir Mu’tazilah adalah pendekatan subjektif, sesuai kepentingan
golongan atau madzhabnya.
5. Diantara kitab-kitab tafsir mu’tazilah banyak yang sudah tidak dapat
dideteksi lagi. Namun yang masih bisa dibaca sampai sekarang yaitu kitab Tafsir
Al-Kasysyaf karya al-Zamakhsari dan Kitab Tanzihul Qur'an' 'anil
Matha'in karya Imam al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamzany.
B. Saran
Dengan
dituliskannya makalah ini kami berharap:
1. Pembaca memahami materi yang terpaparkan.
2. Pembaca mengoreksi baik tentang masalah isi
ataupun masalah metode pemaparan makalah ini.
3. Pembaca berkenan mengkritik terhadap kesalahan atau
hal-hal yang kurang pada makalah ini.
4. Pembaca berkenan berdiskusi bersama, untuk
mendalami tentang isi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul ‘Adzim al-ZarQany, Muhammad. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. juz 2, Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Araby. 1995.
Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam III. Cairo: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. 1963
Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Moderen. Yogyakarta:
Elsaq Press. 2006.
Khaeruman,
Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
2004.
Muhammad, Abul Qasim bin Umar az-Zamakhsyari. al-Kasysyaf. juz 7. (Maktabah syamilah).
Muhammad Abu Zahrah, Imam. Aliran Politik dan Aqidah
dalam Islam. Penerjemah Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta: Logos Publising House. 1996.
Muthahhari,
Murtadha. Mengenal Ilmu Kalam, penerjemah
Ilyas Hasan. Jakarta: Pustaka Zahra.
2002.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 1986.
Saeed
Shaikh, M. Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Shah Offset Printer.
1994.
Suryadilaga ,
M. Alfatih, Dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2010.
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.
Hambawang,
Metode Tafsir Mu’tazilah, http://hambawang.blogspot.com/2009/06/metode-tafsir-mutazilah.html diakses pada 11 april 2012, Pukul 12:53 WIB.
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 40. Abuzahrah menganalisa factor yang menyebabkan
Mu’tazilah bersifat rasional adalah: a)Basis mereka adalah Irak dan Persia.
Diantara duatempat ini terdapat sisa-sisa dialogis antara sisa-sisa peradaban
dan peradaban peradaban kuno. b) Kebanyakan mereka bukan keturunan Arab
melainkan mawali, c) Banyak pemikiran filsafat kuno yang mempengaruhi
alam pemikiran mereka akibat mereka bergauk]l dengan orang-orang Yahudi,
Nasrani dan lain-lain, lalu mereka membawa pemikiran-pemikiran tadi dan
menyebarkannya kepada bangsa Arab. (Lihat: Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam, Penerjemah Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad
Qarib, (Jakarta: Logos Publising House, 1996), h. 155)
[2] Ibid..,
h. 44
[3]
Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, penerjemah Ilyas Hasan, (Jakarta:
Pustaka Zahra), h. 35
[4]
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam.., h.
160
[5] M.
Saeed Shaikh, Studies in Muslim Philosophy, (Delhi: Shah Offset Printer,
1994), h. 5
[6]
Selain al-makmun Dua khalifah Abasiyah setelahnya, al-Muktasim dan al-Wathiq
juga merupakan pendukung setia Mu’tazilah. (Lihat: M. Saeed Shaikh, Studies
in Muslim Philosophy.., h. 6-7 )
[7]
Lihat: Ahmad Amin, Dhuha al-Islam III, (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
1963), h. 176
[8]
Golongan salaf ini juga dinisbatkan kepada golongan pembela Ahmad bin Hambal.
Ahmad bin Hanbal merupakan salah satu korban penyiksaan dari al-mihnah.
[9]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008), h. 84
[10]
Lebih lanjut Harun Nasution menerangkan bahwa Abd a-Jabar membagi perbuatan
–perbuatan kedalam mnakir ‘aqliyah, perbuatan-perbuatan yang dicela oleh
akal, seperti bersikap tidak adil dan berdusta, dan manakir Syar’iyah, perbuatan
yang dicela oleh syari’at atau wahyu, seperti mencuri, berzina dan
minum-minuman keras. Ia juga membag kewajiban-kewajiban yang diketahui oleh
akal (al-wajibat al-aqliyah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui
memlalui wahyu/syari’at, (al-wajibat al-syar’iyah). (Lihat: Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.., h.
98-99)
[11]
Burhani adalah metode mendapatkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan rasio.
[12]
Bayani adalah metode mendapatkan ilmu pengetahuan dengan bersumberkan teks.
[13]
Hambawang, Metode Tafsir Mu’tazilah,
http://hambawang.blogspot.com/2009/06/metode-tafsir-mutazilah.html
diakses pada 11 april 2012, Pukul 12:53 WIB.
[14]
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), h. 129
[15]
Gagasan mu’tazzilah tentang Kemakhlukan al-Qur’an tersebut, sering di tolak
dengan kaum salaf karena dipandang bertentangan dengan makna tekstual al-Qur’an
surat al-a’raf ayat 54,
Ÿwr& ã&s! ß,ù=sƒø:$# âöDF{$#ur 3 x8u‘$t6s? ª!$# >u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÎÍÈ
“Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah,
Tuhan semesta alam.”. (Lihat: M. Saeed Shaikh, Studies in Muslim
Philosophy.., h. 10)
[16]
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), h. 128. Terkait konsep keadilan Tuhan ini, Mu’tazilh
sering dianggap mengikuti para pemikir Yunani akan tetapi Saeed Shaikh
menyanggah, bahwa sebenarnya konsep tersebut brasal dari penafsiran orang
mu’tazilah terhadap al-Qur’an yaitu: QS. Yunus [10]: 44, QS. Hud [11]: 31, QS. Yusuf [12]: 10, dan QS.
Luqman [31]: 47. (Lihat: M. Saeed Shaikh, Studies in Muslim Philosophy.., h.
14 )
[17]
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), h. 128
[18]
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam.., h.
151.
[19]
Informasi tentang Cuma ada satu kitab Tafsr utuh alqur’an adalah dari:
(Hambawang, Metode Tafsir Mu’tazilah..,) sedangkan tentang nama kitab
dari; (Fauzan Naif, al-Kasysyaf Karya al-Zamaksari, dalam buku, Dosen Tafsir
Hadits Fakultas Ushuludin, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras,
2004), h. 48)
[20]
Hambawang, Metode Tafsir Mu’tazilah,
http://hambawang.blogspot.com/2009/06/metode-tafsir-mutazilah.html
diakses pada 11 april 2012, Pukul 12:53 WIB.
[21] Badri Khaeruman, Sejarah perkembangan Tafsir al-Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), h. 134.
[22]
Fauzan Naif, al-Kasysyaf Karya al-Zamaksari, dalam buku, Dosen Tafsir Hadits
Fakultas Ushuludin, Studi Kitab Tafsir.., h. 48
[24]
Keterangan lebih lanjut tentang hal ini bisa Lihat: Badri Khaeruman, Sejarah
Perkembangan Tafsir al-Qur’an.., h. 123-132
[25]Metode sepeti ini juga terlihat pada kitab tafsirnya al-Zamaksari,
Lihat: Ignaz goldziher, Mazhab Tafsir
Dari Aliran Klasik Hingga Moderen, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006), h.147- 148.
[26]
Tentang teori-teori tersebut kami memahami maksudnya adalah al-ushul
al-khamsah. Ibid, h. 147
[28]
Fajrul Munawir, Pendekatan Kajian Tafsir, dalam buku, M. Alfatih Suryadilaga
Dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 139
[29]Meskipun Sumber bi al-Ra’yi dominan pada tafsir mu’tazilah,
akan tetapi juga masih ada Mufassir Mu’tazilah yang maish terikat dengan
riwayat naql atau bi al-Ma’tsur. Tokoh tafsir tersebut adalah
Abubakar bin Asham. (Lihat: Ignaz
goldziher, Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Moderen,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2006), h. 169 dan 145).
[31] Abul Qasim Muhammad bin Umar
az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, juz 7, (Maktabah syamilah), h. 190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar