A. Biografi Sayyid Qutb
Nama
lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada
tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir.[1]
Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga
perempuan. Ayahnya bernama al-Hajj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai
Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu
majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat
pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal
al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke-10 tahun. Pendidikan dasarnya dia
peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb.
Pada tahun
1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid
Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah.
Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad
Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke
institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan
jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar
sarjana muda dalam bidang sastra sekaligus diploma pendidikan pada tahun 1933 M.[2]
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas
tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian
Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur.
Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja.
Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan
terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena
terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris.
Pada waktu
bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke
U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan
berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika
selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California.
Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang
di Amerika, Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan
pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan
peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.[3]
Dari
pengalaman yang diperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian
memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga
dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan.
Sepulangnya dari belajar di negeri Barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam
keanggotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan
dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalah keislaman. Dari
organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan
al-Banna dan Abu al-A’la al-Maududi.
Ikhwan
al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali
syari’at politik Islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan
Syariat Islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa gerakan ini
adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang
zionisme, salibisme dan kolonialisme.
selama
tahun 1953, ia menghadiri konferensi di Suriah dan Yordania, dan sering
memberikan ceramah tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan
umat. Pada juli 1954, ia menjadi pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin,
tetapi baru dua bulan usianya harian itu ditutup atas perintah colonel Gamal
Abdul Nasher (presiden Mesir), karena dianggap mengecam perjanjian Mesir-Inggris
7 Juli 1954.
Sekitar
Mei 1955, Sayyid Qutb termasuk salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin
yang ditahan setelah organisasi itu dilarang oleh presiden Nasher dengan
tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintahan. Pada tanggal 13 Juli 1955,
pengadilan rakyat menghukumnya 15 tahun kerja berat. Ia ditahan di beberapa
penjara di Mesir hingga pertengahan tahun 1964. Ia dibebaskan tahun itu atas
permintaan Abdul Salam Arif (presiden Irak) yang mengadakan kunjungan muhibbah
ke Mesir. Akan tetapi baru setahun ia menghirup udara bebas, ia kembali
ditangkap bersama ketiga saudaranya: Muhammad Qutub, Hamidah dan Aminah, juga
ikut ditahan pula sekitar 20.000 orang yang 700 diantaranya adalah wanita. Presiden
Nasher lebih menguatkan tuduhannya bahwa Ikhwanul Muslimin berkomplot
untuk membunuhnya, di Mesir berdasarkan undang-undang nomor 911 tahun 1966,
presiden memiliki kekuasaan untuk menahan tanpa proses, siapa pun yang dianggap
bersalah, dan mengambil alih kekuasaannya, serta melakukan langkah-langkah yang
serupa.
Pada tahun
1966, Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan
pemerintahan Gamal Abdul Nasher. Menurut sebuah sumber, sebelum dilakukan
eksekusi, Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas
tindakan yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh
Sayyid Qutb.[4]
B. Karya-karya
Sayyid Qutb
Sepanjang
hayatnya, Sayyid Qutb telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam
berbagai bidang. Karya-karya sayyid Quthub
se;ain beredar luas di Negara-negara Islam, ternyata juga beredar di
Negara-negara kawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Dimana pun terdapat
pengikut-pengikut Ikhwanul Muslimin, hampir disana dipastikan terdapat
buku-buku sayyid Quthub, karena ia adalah tokoh Ikhwanul Muslimin yang
terkemuka.
Penulisan
buku-buku sayyid Quthub juga sangat berhubungan erat dengan perjalanan
hidupnya. Sebagai contoh, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau banyak menulis
buku-buku sastra yang hampa akan unsur-unsur agama. Hal ini terlihat pada
karyanya yang berjudul “Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayâh” pada tahun 1933 dan “Naqd
Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun 1939.
Buku-buku
hasil torehan sayyid Quthub adalah sebagai berikut: Muhimmatus Sya’ir fi
Hayah wa Syi’r al-jail al-hadhir (terbit tahun 1933), As-Syathi’
al-Majhul (satu-satunya kumpulan sajak Sayyid Quthub yang terbit pada
februari 1935), “Mustaqbal Ats-Tsaqofah di Mishr” li ad-Duktur Thaha Husain (terbit
tahun 1939), At-Taswir al-Fanni fil-Qur’an (buku Islam pertama Sayyid
Quthub, terbit tahun 1945), Al-Athyaf al-Arba’ah (buku ini ditulis
bersama saudaranya Aminah, Muhammad dan Hamidah dan terbit tahun 1945),
Ahifl min Al-Qoryah (buku ini berisi tentang gambaran desanya dan catatan
masa kecilnya di desa, buku ini terbit tahun 1946), Al-Madinah al-Manshurah (sebuah
kisah khayalan semisal kisah seribu satu malam, terbit tahun 1946), Kutub wa
Syakhsyiyat (sebuah studi Sayyid Quthub terhadap karya pengarang lain,
terbit tahun 1946), Asywak (terbit tahun 1947), Masyahid al-Qiyamah
fil-Qur’an (bagian kedua dari serial pustaka baru Al-Qur’an, terbit pada
April 1947), Raudhotut Thifl (ditulis bersama Aminah dan Yusuf Murad,
terbit dua episode), Al-Qashash ad-Diniy (ditulis bersama Abdul Hamid
Jaudah as-Sahhar), Al-Jadid fi al-Lughah al-‘Arabiyah dan Al-Jadid fi
al-Mahfuzhat (keduanya ditulis bersama penulis lain), Al-Adalah
al-Ijtima’iyah fi al-Islami (buku pertama sayyid Quthub tentang pemikiran
Islam, terbit tahun 1949),Ma’rakah al-Islam wa Ar-Ra’simaliyyah (terbit
taahun 1951), As-Salam Al-Islami wa al-Islam (terbit oktober 1951),
fi dzilalil Qur’an (cetakan pertama juz pertama terbit pada oktober 1952),
Dirasah Islamiyyah (kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh
Muhibuddin al-Khatib, terbit 1953), Al-Mustaqbal li Hadza ad-Din (buku
penyempurna dari buku Hadza ad-Din), Khashasish at-Tashawwur al-Islami wa
Muqowwimatuhu (buku sayyid Quthub yang mendalam yang dikhususkan untuk
membicarakan karakteristik akidah dan unsure dasarnya), Al-Islam waMusykilat
al-Hadharah, Ma’alim fith-Thariq.[5]
Sedangkan
studinya yang bersifat keislaman harakah yang
matang, yang menyebabkan ia dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai
berikut: Ma’alim fith Thariq, Fi zhilalil as-Shirah, Muqowwimat at-Tashawwur
al-Islami, fi Maukib al-Iman, Nahwu Mujtama’ Islami, Hadza al-Qur’an, Awwaliyat
li Hadza ad-Din, Tashwibat fi al-fikri al-Islami atMuashir.
Buku
pertama sayyid Quthub yang berbicara tentang Islam adalah at-Tashwir
al-Fanni fil Qur’an. Di dalam buku ini sayyid Quthub menuliskan tentang
karakteristik-karakteristik umum mengenai keindahan artistic dalam al-Qur’an .
Sayyid Quthub mendefinisikan ilustrasi artistic (at-Tashwir al-Fanni fil
Qur’an) sebagai berikut:
“ia adalah
sebuah instrument terpilih dalam gaya al-Qur’an yang memberikan ungkapan dengan
suatu gambaran yang dapat dirasakan dan dikhayalkan mengenai konsep akal
pikiran, kondisi jiwa, peristiwa nyata, adegan yang ditonton, tipe manusia dan
tabiat manusia. Kemudian ia meningkat dengan gambaran yang dilukiskan itu untuk memberikan kehidupan
yang menjelma atau aktivitas yang progresif. Dengan demikian, tiba-tiba
konsepsi akal pikiran itu muncul dalam format atau gerak. Kondisi kejiwaan
tiba-tiba menjadi sebuah pertunjukkan. Model atau tipe manusia tiba-tiba
menjadi suatu yang menjelma dan hidup dan tabiat manusia seketika menjadi dapat
terbentuk dan terlihat nyata. Berbagai adegan, kisah, dan perspektif
ditampilkan dalam sebuah wujud yang muncul. Di dalamnya terdapat kehidupan dan
juga gerak. Jika ditambahkan lagi dengan sebuah dialog, maka menjadi lengkaplah
semua unsure-unsur imajinasi itu”[6]
C. Pemikiran[7]
Sayyid Qutb terkit Penafsiran al-Qur’an
1. Prinsip Dasar Pemikiran Sayyid Qutb
Dalam pandangannya, Islam adalah way
of life yang komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur
sekaligus memberikan solusi atas problem sosial-kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam
tataran umat Islam dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum
maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsip
utama dalam agama Islam, maka sudah menjadi sebuah keharusan jika al-Qur`an
dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.
Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid
Qutb mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an
agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau
yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan
kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam al-Quran,[8]
Sayyid Quthb mengatakan dalam
muqadimah tafsirnya: “Sesungguhnya, manusia yang diciptakan Allah ini tidak
dapat membuka gembok-gembok fitrahnya kecuali dengan menggunakan kunci ciptaan
Allah, dan tidak akan dapat mengobati penyakit-penyakit fitrah itu kecuali
dengan obat yang dibikin oleh tangan Allah. Allah telah menjadikan manhaj-Nya
sebagai kunci gembok dan obat bagi semua penyakitnya[9],
akantetapi, manusia tidak ingin mengembalikan gembok ini pada penciptanya,
tidak ingin membawa sisakit kepada pencitanya, tidak mau menemuh jalan sesuai
dengan urusan dirinya, urusan kemanusiaannya, dan mana urusan yang sekiranya
membawanya bahagia atau sengsara.”
Dengan demikian jika manusia
menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam
mengarungi kehidupan dunia ini harus mengembalikan segala permasalahannya pada
tatacara yang telah Allah terangkan dalam al-Qur’an. Meski tidak dipungkiri
bahwa al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad-abad lamanya di zaman Rasulullah
dan menggambarkan tentang kejadian masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang
terkandung dalam Qashash al-Qur`an, namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam
al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan
zaman.
Maka, tak salah jika
kejadian-kejadian masa turunnya al-Qur`an adalah dianggap sebagai cetak biru
perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak heran jika
penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan
kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat
terobosan terbaru dalam menafsirkan al-Qur`an yang berangkat dari realita
masyarakat dan kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi
dalam realita tersebut.[10]
2.
Motivasi Penulisan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân
Kondisi Mesir kala itu sedang porak
poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di
negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang
mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli 1952. Pada saat itulah,
Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan
terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran memang jika kita
melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung
mengangkat terma sosial-kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang
sangat terkenal adalah karya tafsir al-Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl
al-Qur`ân. Tafsir ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara
Islam sebagaimana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin
lainnya seperti halnya Abu al-A’la al-Maududi.
Secara singkat, sebenarnya Sayyid
Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said
Ramadhan yang merupakan redaktur majalah al-Muslimûn yang ia
terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik
khusus mengenai penafsiran al-Qur`an yang akan diterbitkan satu kali dalam
sebulan. Sayyid Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi
rubrik itu yang kemudian diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân. Adapun
mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah,
lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya beberapa
edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif
menghentikan penulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir
sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl al-Qur`ân (di bawah naungan
al-Qur’an), sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas
dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bâb al-Halabi. Akan tetapi
penulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz.
Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali, meski ada yang kurang
dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam
tahanan.
Adapun tujuan-tujuan Sayyid Quthb
menuliskan Tafsir fi Zhilal menurut al-Khalidi adalah:
Pertama, menghilangkan jurang yang dalam
antara kaum Muslimin sekarang ini dengan al-Qur’an. Quthb menyatakan, “Sesungguhnya
saya serukan kepada para pembaca Zhilal, jangan sampai Zilal ini
yang menjadi tujuan mereka. Tetapi hendaklah mereka membaca Zilal agar
bisa dekat pada al-Qur’an. selanjutnya agar mereka mengambil al-Qur’an secara
haqiqi dan membuang Zilal ini.”
Kedua, mengenalkan kepada para muslimin
sekarang ini pada fungsi amaliyah harakiyah al-Qur’an, menjelaskan
karakternya yang hidup dan bernuansa jihad, memperlihatkan kepada mereka
mengenai metode al-Qur’an dalam pergerakan dan jihad melawan kejahiliyahan,
menggariskan jalan yang mereka lalui dengan mengikuti petunjuknya, menjelaskan
jalan yang lurus serta meletakkan tangan mereka di atas kunci yang dapat mereka
gunakan untuk dapat mengeluarkan perbendaharaan-perbendaharaan yang terpendam.
Ketiga, membekali orang Muslim sekarang ini
dengan petunjuk amaliyah tertulis menuju cirri-ciri kepribadian Islami yang
dituntut, serta menuju ciri-ciri Islami yang Qur’ani.
Keempat, mendidik orang muslim dengan
pendidikan Qur’ani yang integral; membangun kepribadian Islam yang efektif, menjelaskan
karakteristik dan ciri-cirinya, factor pembentukan dan kehidupannya.
Kelima, menjelaskan cirri-ciri masyarakat
Islami yang dibentuk oleh al-Qur’an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan
masyarakat islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk
membangunnya. Dakwah secara murni untuk menegakkannya, membangkitkan hasrat
para aktifis untuk meraih tujuan ini, menjelaskan secara terperinci mengenai
masyarakat islami pertama yang dijadikan oleh Rasulullah saw. di atas nash-nash
al-Qur’an, arahan-arahan, dan manhaj-manhajnya sebagai bentuk nyata yang bisa
dijadikan teladan, missal, dan contoh bagi para aktifis.[11]
3.
Sekilas tentang Corak
Penafsiran Sayyid Qutb
Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilâl
al-Qur`ân yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir
yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran al-Qur`an. Hal ini
dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang
berorientasi untuk kejayaan Islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam
menafsirkan al-Qur`an. Termasuk di antaranya adalah melakukan pembaharuan dalam
bidang penafsiran dan di satu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang
dirasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran
beliau adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam
menafsirkan al-Qur`an.[12]
Sisi sastra beliau terlihat jelas
ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya, bahkan dapat kita lihat
pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman ushlûb al-Qur`ân,
karakteristik ungkapan serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk
menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-pokok ajarannya, yang
ditujukan untuk memberikan pendekatan pada jiwa para pembacanya. Melalui
pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya.
Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur`an itu
sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an.
Menurutnya, al-Qur`an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta
ajaran kehidupan. Dan Allah telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu
yang masih tertutup dan obat bagi segala penyakit. Pandangan seperti ini beliau
sarikan dari firman Allah yang berbunyi, “Dan kami turunkan dari al-Qur`an
suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” dan
firman Allah; “Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih lurus...”.
Sejak pada barisan pertama dalam
kitab tafsirnya, Sayyid Qutb sudah menampakkan karakterisktik seni yang
terdapat dalam al-Qur`an. Dalam permulaan surat al-Baqarah misalnya,
akan kita temukan gaya yang dipakai al-Qur`an dalam mengajak masayarakat
Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja
dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam
yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnâb, namun di balik gambaran
yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan keserasian irama.
Mengenai klarifikasi metodologi
penafsiran, Dr. Abdul Hay al-Farmawy seorang guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu
al-Qur`an Universitas al-Azhar membagi corak penafsirkan al-Qur`an menjadi tiga
bentuk; yaitu tahlîly, maudhû’i dan ijmâli muqârin.
Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân
dapat digolongkan ke dalam jenis tafsir tahlîli.[13]
Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang
ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang
terdapat dalam mushaf.
Menurut Issa Boullata, seperti yang
dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam
menghampiri al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr (deskriptif) yaitu suatu
gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan al-Qur`an sebagai gambaran
pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman
“aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh
karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat dalam al-Qur`an
merupakan penuturan drama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan
hidup manusia. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah
kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia.
Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam al-Qur`an akan selalu relevan
uuntuk dibawa dalam zaman sekarang.
Mengaca dari metode tashwîr
yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl
al-Qur`ân dapat digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i
(sastra-budaya dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat back-ground beliau yang
merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta
nilai-nilai yang dibawa al-Qur`an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang
sangat tinggi.
4.
Pandangan Sayyid Quthb terhadap Naskh dan Mansûkh
Fenomena naskh dan mansûkh
dalam al-Qur`an memang telah terjadi silang pendapat dalam kalangan ulama Islam
sendiri. Di satu pihak ada yang menerimanya dan di pihak lain ada yang
menolaknya dengan beberapa argumentasi mereka masing-masing. Dalam hal ini,
Sayyid Qutb termasuk ke dalam kelompok yang menerima adanya naskh dalam
al-Qur`an. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan kandungan ayat 106 surat
al-Baqarah. Beliau mengemukakan bahwa pada ayat itu al-Qur`an secara umum
menandaskan adannya peralihan sebagian perintah ataupun hukum seiring dengan
perkembangan masayarakat muslim, dan secara khusus ayat tersebut menggambarkan
tentang peralihan qiblat. Adanya pergantian sebagian ketentuan sebagian hukum
adalah untuk kepentingan dan kemashlahatan manusia, serta untuk merealisasikan
kebaikan yang jauh lebih besar sesuai tuntutan perkembangan masyarakat. Selain
itu, Allah sebagai Sang Pencipta memang mempunyai hak prerogatif melakukan hal
tersebut.
Sayyid Qutb melihat naskh
dari perspektif ganda, yaitu perspektif Tuhan dan manusia. Seakan-akan dia
mengatakan, terjadinya naskh merupakan kemauan Tuhan dan untuk
kepentingan manusia. Selain itu, naskh juga sesuai dengan watak ajaran
Islam yang evolutif dan lebih mengedepankan kemaslahatan umat. Memang diakui, naskh
terkait dengan dinamika kemaslahatan manusia. Namun, tidak menjadi persoalan,
mengigat kondisi masyarakat pada risalah Nabi merupakan contoh bagi
perkembangan masyarakat manusia sepanjang masa. Hal ini akan bisa sesuai dengan
al-Qur`an sendiri yang selalu aktual dalam menghadapi perkembangan masa. Dengan
demikian gerak sejarah manusia tidak akan keluar dari dinamika masyarakat Arab
pada masa Nabi. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb sendiri gambaran seluruh
persoalan sejarah umat manusia telah ditemukan jawabannya dalam teks suci melalui
pemahaman baku masyarakat masa risalah. Atas asumsi itulah, Sayyid Qutb disebut
sebagai pemikir Fundamentalisme Islam; pemikir yang mempunyai romantisme
terhadap masa lalu Islam (klasik), dan secara singkat dia ingin mewujudkan
gambaran masyarakat masa lalu ke dalam masa sekarang dan yang akan datang.
D.
Contoh penafsiran Sayyid Qutb dalam
Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân
1. Qs. al-Anfâl [8]:65
$pkš‰r'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# ’n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ ÇÏÎÈ
“Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang.
jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”(Qs. al-Anfal
[8]: 65)
Banyak sekali ulama yang mengatakan
bahwa ayat ini mengalami proses naskh. Maka dari itu mereka berpendapat
bahwa, dahulu perbandingan pada saat bertempur dengan kaum kafir adalah satu
banding sepuluh. Artinya, satu kaum muslimin diwajibkan menumpas sepuluh orang
kafir. Lalu datanglah ayat berikutnya yang berisi tentang keringanan yang
diberikan oleh Allah kepada orang Islam berupa satu orang Islam melawan dua
oang kafir. Inilah model penafsiran ulama-ulama klasik. Sayyid Qutb mencoba
menghadirkannya dalam zaman sekarang. Beliau berpendapat, ayat ini berbicara
mengenai taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam
pandanagan Tuhan. Namun inti dari semua itu adalah untuk menentramkan jiwa kaum
muslimin agar tidak cepat gentar dan patah semangat dalam menghadapi pasukan
musuh yang berjumlah besar. Menurut Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat diambil
pelajar tentang mentalitas umat Islam. Kemenangan bukanlah terletak pada
banyaknya jumlah, melainkan pada mentalitasnya. Meski berjumlah sedikit, umat
Islam dapat memperoleh kemenangan, asalkan mempunyai militansi dan semangat juang
yang gigih.
2.
Qs. Ali Imran [3]: 142
ôQr& ÷Läêö7Å¡ym br& (#qè=äzô‰s? sp¨Yyfø9$# $£Js9ur ÉOn=÷ètƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#r߉yg»y_ öNä3ZÏB zNn=÷ètƒur tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÍËÈ
“Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang
yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali
Imran [3]: 142)
Menafsirkan ayat ini, Quthb
menyatakan orang mukmin tidak cukup hanya berjihad, tetapi juga harus bersabar
atas beban-beban dakwah ini. Beban-beban yang beresinambungan dan beraneka
ragam, yang tidak hanya terbatas pada jihad di medan laga. Bahkan terkadang
jihad di medan laga merupakan beban teringan dari beban dakwah yang menuntut
kesabaran dan menjadi sarana ujian keimanan ini. Di sana ada berbagai
penderitaan sehari-hari yang tidak pernah berakhir. Penderitaan istiqamah
diatas ufuq keimanan, keterangan di atas berbagai tuntutannya dalam wujud
perasaan dan perilaku dan kesabaran menghadapi kelemahan manusia semasa melaksanakan
hal itu. baik menyangkut diri sendiri ataupun orang lain yang berinteraksi
dengannya dalam kehidupan sehari-hari. Juga kesabaran menghadapi masa dimana
kebathilan mendominasi dan unggul sebagai pemenang. Kesabaran menghadapi
panjangnya jalan, lamanya penderitaan, dan banyaknya rintangan. Kesabaran
menghadapi godaan kesenangan dan kecenderungan jiwa terhadapnya di tengah
perjuangan berat dan penderitaan. Kesabaran menghadapi banyak hal dimana jihad
dimedan laga hanya merupakan salah satunya, dalam jalanan yang ditaburi
berbagai hal yang tidak disukai. Jalan surga yang tidak bisa dicapai dengan
angan-angan dan ucapan-ucapan lisan semata.[14]
3. Qs.
al-Baqarah [2]: 163
ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) Ó‰Ïnºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ß`»yJôm§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÏÌÈ
“Dan Tuhanmu
adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.”
Dalam keesaan Tuhan[15]
yang ditegaskan dengan penegasan seperti itu, dan dengan aneka macam metode
penegasan, yang menegaskan al-ma’bud ‘Zat yang berhak disembah’ yang
segala makhluk menuju kepada-Nya dengan beribadah dan melakukan ketaatan;
menjadi kesatuan arah yang di situ bertemulah semua makhluk dengan
kaidah-kaidah akhlak dan perilaku; kesatuan sumber yang dari situ semua makhluk
dapat memperoleh sumber-sumber syari’ah dan perundang-undangannya; dan kesatuan
manhaj yang mengatur manusia dalam semua jalan hidunya.
Ayat ini berkaitan dengan persiapan umat Islam dengan peranannya
yang besar di bumi. Keterangan tentang pentauhidan ini sering diulang-ulang
dalam surah-surah Makkiyah, agar bisa menembus indra dan akal manusia serta
segala aspek kehidupan dan realita yang ada ini. Lafal ini juga diulang-ulang
penyebutannya karena memang dari-Nya muncul aturan syara’ dan taklif-taklif
dari-Nya. Selanjutnya ayat tersebut menyebut sifat Allah yang Rahman (Maha
Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang), yang dengan Rahman dan Rahim-Nya inilah
muncul setiap hukum[16]
dan taklif.[17]
[1] Abdul
Mustaqim, Studi al-Qur’an kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002), h. 111
[2] Sayyid Quthub,
Tafsir fi zilalil Qur’an, Jilid1, Penerjemah As’ad Yasin Dkk, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004), h. 318
[3]
-------------------. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiyar Baru Van
Hoeve, T.T), h. 145
[4] Ibid.,
h. 146
[5] Nuim Hidayat,Sayyid
Quthb, (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 22-23
[6] Ibid., h.
24-25
[7] Muhammad Taufiq Barakat membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi
tiga tahap: Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi Islam, Tahap
mempunyai orientasi islam secara umum, dan tahap pemikiran berorientasi islam
militan. Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah mulai merasakan adanya
keenggan dan rasa muak terhadap westernisme, kolonialisme dan juga terhadap
penguasa Mesir. Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan beliau aktif dalam
memperjuangnkan islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang kala itu
sering digembor-gemborkan oleh para pemikir islam lainnya yang silau akan kegemilingan
budaya-budaya Barat. (lihat; Muhammad Misbah, Corak Penafsiran Sayyid Quthb
dalam Dilal al-Qur’an, http://badaigurun.blogspot.com/2009/05/corak-penafsiran-sayyid-qutb-dalam.html, diakses tanggal 17 November 2011, jam 12:29 WIB)
[8] Sayyid Qutub
mengatkan lebih jauh lagi bahwa sesungguhnya berpedoman kepada manhaj Allah di
dalam kitab-Nya itu bukan perkara sunnah, tathawwu’, atau boleh memilih,
tetapi ia adalah iman. Kalau tidak mau, tidak ada iman bagi yang bersangkutan.
Hal ini sebagaimana yang tertera pada Q.S al-Ahzab:36 dan al-Jaatsiyah:18-19.
(lihat; Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an,Jilid 1, Ibid.., h. 21)
[9] Dalam
kaitannya dengan hal tersebut Sayyid Qutb menyitir ayat:‘Dan, Kami turunkan dari al-Qur’an sesuatu
yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman’ (al-Isra’:
82), ‘Sesungguhnya al-Qur’an ini membarikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih lurus.’ (al-Isra’:9). (lihat: Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil
Qur’an, Ibid.., h. 21)
[11] Nuim Hidayat, Sayyid
Quthb, Ibid.., h. 27-29
[13] Jika dilihat
dari kitab terjemahan bahasa indonesianya menurut hemat kami, tafsir fi
Zhilalil Qur’an Sayyid Quthb ini menggunakan metode tahlili
semi maudhu’I, karena terdapat bab-bab dalam setiap penjelasannya
(Lihat; Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Jilid1,Ibid..,))
[14] Sayyid Quthb,
Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Jilid 1, Ibid.., h. 483
[15] Dalam
tafsiran terkait keesaan Tuhan khususnya terkait lafadz Laia laha illallah,
Sayyid Qutub mendapatkan banyak kritikan dari para Ulama lain. menurut sebagian
ulama’ Sayyid Quthb, menafsirkan kata Ilah denggan al-hakim
{yang menghukumi}. Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al-Maududi
yg ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat yaitu
Haigle dalam bukunya Al- Hukumah Al-Kulliyah . Syaikh Nadzir Al-Kasymiri
{seorang ulama salaf di India} berkata: Syaikh Maududi menampilkan pemikiran
filsafat barat dari buku Al- Hukumah Al-Kulliyah dengan
dibungkus pemikiran Islam. Sebagai contoh kita nukilkan di sini terjemahan
ucapan Sayid dalam bukunya al-Adalah al- Ijtima’iyah
hal. 182 cet. 12: Sesungguhnya perkara yg menyakinkan dalam Dien ini adalah
bahwasanya tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan
dunia kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah
yaitu laa hakimiyata illa lillah hakimiyah
yg berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat
dan perintahnya. Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al-Qashash:
Huwallahulladzi la ilaha illahuwa.Dia berkata:
Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar. {Fi Dhilalil
Qur`an 5/2707}Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An-Nas
bahwa Al-ilah adl al-musta’li al- mustauli
al-mutasallith. yg semuanya itu bermakna kurang lbh sama yaitu
Yang Menguasai .Demikianlah, menurut para ulama’ Sayid mempersempit makna ilah
hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah
yg mengandung makna uluhiyah yaitu yg berhak untuk diibadahi . Penafsiran
Sayid ini dipandang bertentangan dengan penafsiran para ulama Sunni. Ibnu Jarir
berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas:
Allah yg Maha Tinggi sebutannya Rabb kamu –wahai Muhammad— adalah yang
berhak untuk diibadahi yg tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali
kepadaNya dan tidak ada yg boleh diibadahi kecuali Dia. Demikian pula dalam
Tafsir Ibnu Katsir dikatakan: Yaitu yg menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada
yg berhak diibadahi kecuali Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yg menciptakan
apa yg dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia. (lihat; Rahmat
Blog, Bahaya Pemikiran Takfir Sayyid Quthb, http://blog.re.or.id/bahaya-pemikiran-takfir-sayid-quthb-hizbiyyah-aliran.html,
diakses tanggal 17 november 2011, jam 12: 33)
[16]Menurut Sayyid
Quthb Hukum Allah yang tertera pada al-Qur’an wajib bagi umat mukmin untuk
melaksanakannya, beliau mengatakan”Umat Islam adalah Umat yang menerapkan hukum
Allah dalam setiap lini kehidupannya, baik secara individu maupun kelompok,
juga dalam politik sosial dan ekonominya. Namun hal in tidak ada pada umat
Islam sekarang , walaupun tidak mencegah adanya individu-individu muslim di
dalamnya. Karena kaitannya dengan individu, maka yang menjadi standar adalah
aqidah dan akhlaqnya sedangkan kaitannya dengan umat scara keseluruhan, maka
yang menjadi standar adalah seluruh aturan hidupnya”. Lebih jauh lagi terkait
hokum Allah dengan masyarakat beliau berkomentar bahwa masyarakat yang
didalamnya tidak diterapkan ajaran Islam, baik kepercayaannya, ide-idenya,
nilai-nilainya, penstabilnya, undang-undangnya, aturan-aturannya, akhlaknya,
dan karakternya adalah masyarakat jahili (jahiiyah). (Lihat: K. Salim
Bahnasawi, Butir-Butir Pemikiran Sayyid Quthb, Penerjemah, Abdul Hayye
Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 203)
[17] Sayyid Quthb, Tafsir
fi Zhilalil Qur’an, Jilid 1, Ibid.., h. 272
Singkat jelas, maka perlu penelitian yang lebih dalam lagi
BalasHapusInsyaallah akan terus belajar dan meneliti
Hapus