(Metafisika, Epistemologi dan Bangunan Filsafat Islam)
Adib Hasani
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Tulungagung Program Studi Filsafat Agama
adib.hasani26@gmail.com
Abstrak
Islam telah menapaki kegemilangan pada masa Dinasti Abbasiyah. Salah satu faktor utama kegemilangan itu adalah adanya liberalisasi dalam pemikiran sehingga Islam bisa berbaur dengan tradisi-tradisi dari luar. Dalam hal ini, Filsafat Yunani termasuk unsur kuat mempengaruhi pemikiran para muslim waktu itu. Salah satu tokoh muslim yang terpengaruh dengan Filsafat Yunani adalah al-Kindi. Ia sering disebut sebagai filsuf Arab pertama yang membuka pintu filsafat di dunia Islam. Artikel ini bermaksud membahas seputar pioner filsafat di dunia Islam tersebut. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis disimpulkan: al-Kindi mampu memadukan metafisika Yunani dengan ajaran Islam, banyak dari filsafatnya terpengaruh dari filsafat Plato dan Aristoteles, di ranah epistemologi al-Kindi tidak memunculkan kebaruan yang khas untuk bisa dikatakan sebagai epistemologi filsafat Islam, Ia tidak beranjak dari fondasi epistemologi Yunani.
Kata kunci: al-Kindi, metafisika, epistemoogi, filsafat Islam
Pendahuluan
Usaha serius penerjemahan naskah-naskah dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat telah dilakukan pada masa klasik Islam. Usaha tersebut berlangsung selama beberapa abad dan berlangsung secara besar-besaran di Bagdad pada masa pemerintah al-Mansur (745-775 M), kemudian mencapai puncaknya pada pemerintahan al-Ma’mun (813-833 M). Hal ini menjadikan para pemikir muslim berkenalan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat dari berbagai peradaban. Sehingga mereka tidak hanya kaya pengetahuan tentang keislaman yang cenderung Arab sentris akantetapi juga mampu memaknai Islam dengan mengambil inspirasi dari tradisi keilmuan dan filsafat luar.
Kelompok-kelompok yang berjibaku dengan ilmu pengethuan dan filsafat diantaranya adalah ilmuan, filsuf dan teolog. Adapun yang akan dikaji dalam makalah ini adalah seorang tokoh yang selain sebagai ilmuwan, ia juga sebagai filsuf, dan pemikirannya juga banyak membahas tentang teologi, tokoh tersebut tidak lain adalah al-Kindi. Al-Kindi menarik dibahas karena oleh berbagai kalangan sering disebut sebagai filsuf muslim pertama. Sebagai sang pemula, tentunya ia membawa hal baru setidaknya dalam bidang filsafat dan keislaman yang ia tekuni. Sampai disini penulis muncul pertanyaan, kecenderungan baru dalam hal apakah sebenarnya yang dibawa oleh al-Kindi, dalam hal filsafat ataukah dalam hal keislaman atau bahkan kedua-duanya? Kalau dalam hal filsafat, bangunan filsafat yang bagaimana yang dimunculkan oleh al-Kindi? Dan kalau dalam hal keislaman, kebaruan apa yang muncul darinya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tidak langsung juga berusaha memperjelas tentang ada atau tidaknya filsafat Islam itu sendiri. Sebagaimana beberapa kalangan mengatakan filsafat Islam itu ada, dan al-Kindi adalah sang pemulanya. Artikel ini akan berusaha menguji hal itu dengan menelusuri konsep filsafat al-Kindi. Setidaknya dalam hal metafisika dan epistemologi, adakah kebaruan mendasar disana? Jika ada berarti al-Kindi mampu memunculkan bangunan filsafat baru, kalau tidak, berarti al-Kindi hanya melanjutkan tradisi filafat Yunani saja, dan apa yang disebut bangunan filsafat Islam secara mendasar tidak ada dari al-Kindi.
Untuk mengidentifikasi karakter filsafat al-Kindi ini, pembahasan akan dilakukan mulai dari sejarah kehidupan al-Kindi dan juga peran-perannya semasa hidup. Kemudian juga dipaparkan berkaitan dengan produk-produknya dalam berfilsafat, setelah itu baru dilakukan analisis tentang ada atau tidak kebaruan filsafat dalam hal ontologi dan epistemologi dari al-Kindi.
Riwayat Hidup al-Kindi
Kelahiran dan Pertumbuhan
Al-Kindi memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq ibn al-Shabbah ibn ‘Imran ibn Muhammad ibn al-Ash’ath ibn Qais al-Kindi. Ia populer dengan sebutan al-Kindi karena dinisbatkan kapada Kindah, yaitu suku bangsa yang di masa sebelum Islam bermukim di area Arab selatan dan mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Ia lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M) dari keluarga kaya yang terhormat. Kakek buyutnya, al-Ash’ath ibn Qais adalah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad Ibn Abi Waqash dalam peperangan kaum muslimin melawan orang Persia di Irak. Sedangkan ayahnya adalah seorang gubernur Kufah dalam masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al-Rashid (786-809). Ayahnya wafat ketika ia masih kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh pendidikan yang baik. Sesudah ayahnya meninggal, al-Kindi diasuh oleh ibunya di Kufah.
“Filosof bangsa Arab” demikian julukan al-Kindi. Karena dialah orang Arab Muslim pertama dan satu-satunya yang murni berdarah Arab yang mempelajari ilmu dan filsafat. Sementara di Barat al-Kindi terkenal dengan sebutan Alkindus. Betapapun al-Kindi sudah dinobatkan sebagai filosof Arab yang pertama, namun ia layak disejajarkan dengan filosof-filosof Muslim non-Arab. Sumbangan al-Kindi yang sangat berharga di dunia filsafat Islam ialah usahanya untuk membuka jalan dan menjawab rasa enggan dari umat Islam lainnya untuk menerima ilmu filsafat yang masih terasa asing itu.
Pejalanan Intelektual
Hampir tidak ada yang mengetahui tentang tahun-tahun awalnya di Kufah. Mungkin di Kufah ia mulai tertarik dengan ilmu pengetahuan daripada menjadi seorang prajurit atau politikus. Diduga al-Kindi> kecil mempelajari al-Qur’an dan menghafalnya, menulis dan membaca huruf Arab, juga mempelajari sedikit ilmu hisab, dimana semua itu adalah pengetahuan biasa bagi anak-anak di Kufah pada masa itu. Disamping itu ia juga mempelajari fiqih dan ilmu kalam.
Al-Kindi pada masa kecilnya adalah seorang anak yang suka membaca dan gemar mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan. Kecakapan dan minatnya yang sangat besar terhadap semua cabang ilmu pengatahuan mendorongnya untuk pindah ke Basrah untuk mencari ilmu pengetahuan yang lebih banyak. Disamping itu, al-Kindi sangat tertarik terhadap ilmu dan filsafat, terlebih ketika ia pindah di Bagdad.
Di Bagdad ia menyelesaikan pendidikan. Diduga kuat ia bertemu dengan cendekiawan-cendekiawan Suriah dan Persia yang waktu itu merupakan tulang punggung ilmu pengetahuan baru di ibukota kekhalifahan Abbasiyah. Mereka itulah yang menuntunnya terus-menerus sampai pada rahasia filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Al-Kindi adalah salah satu dari sedikit orang Muslim-Arab yang menguasai bahasa Yunani dan Suriah. Karena pengatahuannya tentang kesusastraan Yunani, Persia dan India, al-Kindi mendapatkan anugrah kehormatan dan kemasyhuran yang unik selama tinggal di Bagdad.
Kondisi Sosial Politik dan Peran al-Kindi di Dalamnya
Bashrah pada waktu itu adalah pusat ilmu pengetahuan yang besar. Kota ini merupakan persemaian gerakan-gerakan intelektual seperti Mu’tazilah dan Ash’ariyah, dua aliran besar pemikiran teologi Muslim. Di kota ini pula pertama kali lahir sekolah besar untuk ahli-ahli bahasa yang diilhami oleh logika Yunani.
Al-Kindi> hidup selama masa pemerintahan Daulah Abbashiah, yaitu al-Amin (809-813 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wathiq (842-847 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M). Selama masa kekhalifahan Abbasiyah ini, dikaruniai suatu periode kehidupan politik dan intelektual yang paling cemerlang. Dalam pemerintah sipil, hubungan antara Baghdad sebagai pusat pemerintahan dengan setiap propinsi yang diperintah oleh gubernur dibuat lebih kuat dengan membangun jalan-jalan, sistem pos dan pengadaan buku-buku petunjuk berbagai propinsi. Ibu kota Baghdad pada waktu itu mungkin menjadi suatu kota yang paling indah di seluruh dunia dengan istana-istana yang sangat megah, taman-taman, tempat hiburan juga pasar-pasar yang penuh dengan segala macam barang yang amat bagus.
Kegiatan-kegiatan ilmiah melangkah seirama dengan pertumbuhan keindahan Baghdad tersebut. Upaya penerjemahan mengalami perkembangan yang cemerlang, terutama pada masa al-Ma’mun yang memercikkan gairah intelektualitas. Ia mendirikan pusat pengajaran dan penerjemahan yang terkenal dalam sejarah Arab sebagai rumah kebijaksanaan (Bait al-Hikmah). Al-Ma`mun juga mengirimkan utusan-utusan ke seluruh kerajaan Bizantium untuk mencari buku-buku Yunani tentang berbagai subyek. Dikatakan bahwa ia membayar setiap buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing ke dalam bahasa Arab dengan emas seberat buku itu. Kita ketahui bahwa al-Kindi ikut serta dalam gerakan ini.
Akibat dari penerjemahan-penerjemahan ini, serta berkat minat para khalifah dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, maka ilmu pengetahuan, ilmu pengobatan, dan filsafat Yunani mencapai ketinggian yang belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali dalam kurun waktu Alexander. Bahkan pada waktu itu ilmu Geodesi, ilmu mengenai perhitungan tingginya gunung dan dalamnya lembah memperoleh perhatian yang layak. Beberapa tulisan dari al-Kindi mengenai hal ini, bersama dengan tulisan lain yang sejenisnya pasti telah memainkan peranan besar di dalam perancangan dan pembangunan saluran-saluran air, jembatan-jembatan, peralatan perang dan timbangan.
Pada pemerintahan al-Ma’mun, al-Kindi diundang untuk mengajar di Bait al-Hikmah dan mengasuh Ahmad, putera khalifah al-Mu’tasim. Melalui lembaga Bait al-Hikmah ia sangat dikenal dan berjasa dalam gerakan penerjemahan dan pelopor yang memperkenalkan tulisan-tulisan Yunani, Suriah dan India kepada dunia Islam. Dalam buku Thabaqat al-Atibba’ (golongan dokter) karya Ibn Juljul dikatakan bahwa penerjemah yang piawai dalam Islam ada lima orang: Hunain Ibn Ishaq, Ya’qub Ibn Ishaq, Al-Kindi, Thabit ibn Qurrah dan Umar ibn Farhan al-Tabari. Namun itu tidak berarti bahwa al-Kindi hanya ahli dalam bidang penerjemahan, karena ia juga menjelaskan dan menyingkap berbagai permasalahan yang sulit dipahami. Hal ini mungkin karena al-Kindi banyak menguasai ilmu yang berkembang di Kufah dan Baghdad pada waktu itu, misalnya ilmu kedokteran, filsafat, semantik, geometri, aljabar, ilmu falak juga astronomi, bahkan ia mampu menggubah sebuah lagu. Jadi tidak heran jika istilah-istilah yang dikembangkan al-Kindi mendapat perhatian dari filsuf sesudahnya dan sampai saat ini masih dipergunakan.
Dalam pemerintahan al-Mutawakkil, al-Kindi memberi pembelaan terhadap ketidakortodokan al-Ma’mun dan al-Mu’tasim, maka ia mengalami nasib buruk. Al-Mutawakkil tidak dapat menyetujui kecenderungan-kecenderungan Mu’tazilahnya. Di samping itu juga dikatakan bahwa putra-putra Musa, ilmuan-ilmuan bersaudara yang terkenal dan bekerja untuk al-Mutawakkil berkomplot untuk menentangnya dan berhasil sehingga al-Kindi dipecat dari jabatannya. Putra-putra Musa itu terkenal dengan reputasinya dalam melakukan intrik terhadap orang yang melampaui mereka dalam pengetahuan dan orang yang dipercaya oleh khalifah. Mereka iri terhadap perpustakaan al-Kindi yang disebut al-Kindiyah karena memiliki buku-buku yang baik, mereka berhasil membujuk khalifah untuk menyita dan memberikannya pada mereka, seperti yang telah dilakukan terhadap perpustakaan Hunain ibn Ishaq. Tetapi tidak lama kemudian al-Kindiyah diberikan kembali kepada pemiliknya yang asli. Akan tetapi al-Kindi tidak dapat memperoleh hak-hak istimewanya di istana yang hilang. Ia meninggal pada tahun 252 H/866 M atau tidak lama setelah itu. Kematiannya merupakan kematian yang sunyi, hanya diperhatikan oleh mereka yang dekat padanya. Ini bukan hanya kematian seorang besar yang tidak disukai lagi, tetapi juga merupakan kematian seorang filosof yang mencintai kesunyian.
Buah Karya al-Kindi
Al-Kindi adalah orang yang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis menulis. Tulisannya sangat banyak dalam berbagai disiplin ilmu. Menurut George el-Atiyeh karya al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan mencapai 270 risalah. Akan tetapi banyak diantaranya yang hilang. Informasi akhir-akhir ini merupakan suatu kegembiraan bahwa sebagian dari risalah al-Kindi yang hilang ditemukan kembali. Sebuah ikhtisar yang berisi 25 risalah al-Kindi ditemukan oleh Hilmurt Ritter di perpustakaan Aya Sofia, Istambul, sementara beberapa risalah pendeknya yang lain ditemukan di Eleppo. Risalah-risalah ini diantaranya membicarakan soal alam dan filsafat, misalnya tentang keesaan Tuhan, akal, jiwa dan filsafat pertama.
Buah karya al-Kindi yang banyak itu terbagi dalam lapangan filsafat, logika, psikologi, astronomi, kedokteran, kimia, matematika, politik, optik dan lain-lain. Beberapa karya tulisnya telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin yang sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Dalam buku The Legacy of Islam kita baca bahwa bukunya tentang Optika diterjemahkan dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Roger Bacon.
Filsafat al-Kindi
Harmonisasi antara Agama dan Filsafat
Salah satu jasa besar al-Kindi adalah usahanya untuk memadukan agama dan filsafat. Ia adalah orang pertama dikalangan Muslim yang menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua aktifitas intelektual yang bisa serasi. Dalam karangannya tentang Filsafat Pertama al-Kindi mengatakan: “yang paling luhur dan mulia diantara segala seni manusia adalah seni berfilsafat, yang digambarkan sebagai pengetahuan tentang segala hal, sejauh batas kemampuan manusia”.
Al-Kindi beberapa kali menyatakan, salah satu fungsi terpenting filsafat adalah untuk mencari kebenaran. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar (Knowledge of Truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat.
Dalam menjelaskan hubungan antara agama dan filsafat, al-Kindi melakukan dua pendekatan: yang pertama, didasarkan pada kesamaan wilayah kajian, dan yang ke dua didasarkan pada kesamaan tujuan antara agama dan filsafat.
Argumen pertama yang digunakan untuk mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan asumsi bahwa filsafat dan agama mempunyai wilayah kajian yang sama, yaitu pengetahuan tentang keesaan Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan bahwa filsafat mencakup “teologi, ilmu tentang keesaan Tuhan, ilmu etika dan ilmu yang berguna bagi manusia untuk mendapatkan kebaikan dan mencegah keburukan”, dimana agama juga melakukan hal yang sama.
Argumen yang ke dua adalah atas kesamaan tujuan antara filsafat dan agama. Seperti yang disinggung di awal bahwa agama dan filsafat sama-sama bertujuan mencari kebenaran dan mengarah pada hal yang sama pula yaitu moralitas.
Menurut al-Kindi, kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan mengambilnya darimanapun datangnya, meskipun datang dari bangsa lain. Tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari kebenaran kecuali kebenaran itu sendiri. Al-Kindi dan ahli filsafat lain menyadari bahwa tak seorangpun dapat mencapai kebenaran yang sempurna dengan upayanya sendiri, namun bila dihimpun butir kebenaran yang sedikit dari setiap orang yang mendapatkannya, niscaya akan terhimpun jumlah yang besar. Atas dasar itulah kita wajib berterimakasih pada pendahulu kita yang telah memberi kita ukuran kebenaran. Jika mereka tidak membekali kita dengan dasar-dasar pikiran yang membuka jalan bagi kebenaran pastilah kita masih perlu mengadakan penyelidikan yang lebih lama dan tekun.
Terhadap orang yang menentang filsafat, al-Kindi menjelaskan bahwa filsafat itu suatu yang perlu dipelajari. Adalah kebutuhan yang harus bagi mereka yang menentang filsafat untuk berfilsafat karena jika mereka mengatakan tidak perlu berfilsafat, mereka haruslah menunjukkan alasannya, padahal alasan itu termasuk dari esensi filsafat. Jadi wajib dan perlu bagi mereka untuk mencari dan berpegang pada filsafat. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa al-Kindi menyebut kafir kepada mereka yang menolak filsafat.
Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemaduannya ini al-Kindi membawakan ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Diantara ayat-ayatnya adalah: (Al-Hashr: 59: 2, al-A’raf: 7:185, al Ghashiah: 88: 17-20, al-Baqarah: 2:164).
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat lebih disebabkan karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan al-Qur’an. Hal semacam ini menurut al-Kindi tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat. Menurut al-Kindi, al-Qur’an tidaklah bertentangan dengan filsafat. Ia menganggap setiap pertentangan antara ayat-ayat al-Qur’an dan pengertian-pengertian dalam filsafat sebagai akibat dari kesalahpahaman kita terhadap makna al-Qur’an yang sebenarnya.
Solusi dari masalah tersebut adalah dilakukannya Ta’wil, usaha ini dimungkinkan mengingat bahasa Arab memiliki dua makna; yakni makna haqiqi dan makna majazi, namun demikian yang berwenang melakukan Ta’wil adalah mereka yang mendalam keyakinan agamanya sekaligus ahli pikir. Dengan demikian al-Kindi> telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap al-Qur’an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama.
Contoh tentang ta’wil bisa kita lihat dari penjelasan al-Kindi terhadap pertanyaan Ahmad, anak lelaki Mu’tasim tentang ayat:
•
“dan bintang-bintang dan pohon-pohon, tunduk (bersujud) kepada-Nya” (QS 55: 6)
Berbeda dengan penjelasan yang dilakukan kebanyakan penerjemah Muslim pada zamannya, al-Kindi mencoba mendapatkan kandungan filosofis dalam makna al-Qur’an yang mungkin dapat membangun keselarasan antara agama dan filsafat. Menurutnya bintang-bintang dan pohon-pohon tidak menundukkan dirinya sebagaimana manusia menundukkan dirinya ketika shalat, menunduk diartikan tunduk kepada kehendak Tuhan. Menurut al-Kindi, hal ini mengindikasikan bahwa benda-benda langit dengan memenuhi fungsinya sebagai penyebab keteraturan terdekat yang “tunduk” kepada Tuhan, dengan bergerak teratur dalam pola yang telah ditetapkan itu dan menyebabkan kehidupan dan kematian di atas bumi. Ini adalah satu-satunya penjelasan lain yang dapat diberikan orang kepada ayat tersebut.
Dari penjelasan di atas bisa kita simpulkan beberapa argumen al-Kindi dalam membela filsafat, bahwa filsafat dan agama bisa berjalan secara harmoni tanpa menyingkirkan salah satu diantara keduanya, argemen-argumen al-Kindi adalah: 1) Adanya kesamaan wilayah kajian juga kesamaan tujuan antara agama dan filsafat, yaitu sama-sama mencari kebenaran dan mengarah pada moralitas. 2) Menurut al-Kindi kebenaran yang dibawa oleh filsafat tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang ada dalam risalah kenabian. 3) Jika memang ada perbedaan antara pemahaman agama dan filsafat maka perlu dilakukan ta’wil atas ayat-ayat al-Qur’an.
Sampai disini dapat ditangkap dengan jelas bahwa bagi al-Kindi filsafat adalah seni akali. Bagaimana akal melakukan panalaran yang mendalam untuk menemukan kebenaran, kemudian akal menyingkap realitas dari segala yang tampak merupakan kerja filsafat. Dalam hal ini hukum-hukum rasional dikedepankan bahkan jika ada ayat al-Qur’an yang tidak sesuai dengan rasionalitas filsafat maka harus dita’wilkan.
Filsafat Ketuhanan
Persoalan metafisika telah dibicarakan oleh al-Kindi dalam beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan “Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-Benda Alam”. Pembicaraan soal ini meliputi wujud Tuhan, bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan.
Wujud Tuhan
Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya. Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles.
Tuhan adalah Maha Esa dalam arti sesungguhnya, sedangkan esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti majazi (metaforis). Keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan keesaan yang lain tidak sunyi dari kejamakan itu. Bila tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat juz’i (individual, disebut ‘aniyah) dan hakikat kulli (umum, disebut mahiyah), yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis (genus) dan macam (species), maka -kata al-Kindi, Tuhan tidaklah demikian. Tuhan tidak memiliki hakikat dalam arti ‘aniyah dan mahiyah. Ia tidak punya ‘aniyah karena Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, dan tidak memiliki mahiyah karena Ia tidak merupakan jenis dan macam.
Bukti-bukti wujud Tuhan
Diantara bukti adanya Tuhan, al-Kindi berusaha memunculkan beberapa dalil. Pertama, dalil kebaruan alam. Al-Kindi> menyatakan apakah mungkin sesuatu menjadi sebab dari wujud dirinya, ataukah tidak mungkin, dijawabnya, tidak mungkin. Menurutnya alam ini baharu dan ada permulaan waktunya, karena alam ini terbatas. Oleh karena itu, maka pasti ada yang menyebabkan alam ini ada. Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, dengan demikian maka ia diciptakan oleh pencipta dari tiada.
Kedua, dalil keanekaragaman dalam wujud. Keanekaragaman di sini pasti ada yang menyebabkan, atau ada sebab. Sebab itu bukan alam itu sendiri tetapi sebab yang berada di luar alam yang lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya. Karena sebab harus ada lebih dulu dari akibat.
Ketiga, Dalil pengendalian alam. al-Kindi mengatakan bahwa alam lahir tidak mungkin lahir rapi dan teratur kecuali karena adanya wujud yang tidak tampak. Wujud yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya yaitu kerapian yang terdapat dalam alam ini.
Sifat-sifat Tuhan
Pada penafian al-Kindi terhadap ‘aniyah dan mahiyah dari kemahaesaan Tuhan, ia memiliki pandangan-pandangan yang mirip dengan pandangan Mu’tazilah yang menafikan sifat dari zat-Nya. Akan tetapi ketika Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan mengatahui dengan ilmu-Nya dan ilmu-Nya adalah zat-Nya (‘Alim bi ‘ilmih wa ‘ilmuh zatuh), berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah zat-Nya (Qadir bi qudratih wa qudratuh zatuh). Ternyata al-Kindi telah meninggalkan pendapat ini, karena dengan demikian nafi al-sifat (peniadaan sifat) bagi Mu’tazilah ini berarti Tuhan memiliki hakikat, sedangkan bagi al-Kindi Tuhan tidak punya hakikat. Manurutnya Tuhan itu hanya bisa dilukiskan dengan negasi, misalnya: Tuhan tidak sama dengan ciptaannya, Tuhan tidak berbentuk, Tuhan tidak berbilang, Tuhan tidak berbagi dan sebagainya.
Filsafat Alam
Telah dikemukakan bahwa menurut al-Kindi alam itu diciptakan dari ketiadaan (creation ex nihilo). Tuhan adalah Pencipta dari tiada suatu apapun (al-mubtadi’). Itu menandakan bahwa alam itu baharu bukan qadim.
Tentang baharunya alam, al-Kindi mengemukakan argumen tentang baharunya benda, gerak dan zaman. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak, masa gerak menunjukkan adanya zaman, adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil kiranya ada gerak tanpa adaya benda. Dengan argumennya al-Kindi mengatakan banwa ketiganya –badan-gerak dan zaman- adalah diciptakan. Untuk menguatkan pendapatnya al-Kindi memberikan penjelasan dengan menggunakan logika matematika Helenistik, sebagai berikut:
Seandainya alam ini tidak terbatas, lalu diambil sebagian, maka yang tinggal, apakah terbatas atau tidak terbatas?
Terkait hal ini, al-Kindi memunculkan dua jawaban. Pertama, Jika yang tinggal terbatas, bila ditambahkan kembali kepada bagian yang dipisahkan, maka hasilnya tentu terbatas pula dan ini yang benar, tetapi bertentangan dengan pengandaian semula bahwa alam tidak terbatas. Jadi hasil dari penambahan menjadi terbatas dan tidak terbatas, suatu kontradiktif yang tidak bisa diterima.
Kedua, sekiranya yang tinggal setelah diambil tidak terbatas, sedangkan keseluruhannya sebelum diambil juga tidak terbatas, maka berarti benda sama besar dengan bagiannya, hal ini kontradiktif dan tidak bisa diterima. Akan tetapi setelah penjumlahan keduanya menghasilkan yang lebih besar dari yang sebelumnya, berarti yang tidak terbatas lebih besar dari yang tidak terbatas, maka kesimpulan itu tidak bisa diterima.
Jika badan adalah terbatas maka secara otomatis gerak dan zaman juga terbatas. Dan itu berarti alam pernah tidak ada, kemudian ada, dan suatu saat kelak akan tidak ada. Setelah merasa berhasil membuktikan secara logika matematis bahwa alam ini terbatas dan pernah tidak ada, maka al-Kindi melanjutkan pendapatnya bahwa tentulah ada pencipta alam yang menjadikannya dari tidak ada menjadi ada, dan pencipta itulah Tuhan.
Filsafat Jiwa
Dalam rangka menjelaskan sejumlah konsep Yunani tentang jiwa, yang juga dianutnya, al-Kindi menulis bahwa jiwa itu sederhana (tidak tersusun), mulia, sempurna dan penting. Substansinya berasal dari Tuhan seperti sinar yang berasal dari matahari. Jiwa mempunyai wujud sendiri yang berbeda dengan badan. Argumentasi tentang berbedanya jiwa dengan badan didasarkan pada kenyataan bahwa jiwa menentang keinginan nafsu dan shahwat yang berorientasi pada kepentingan badan. Ini adalah indikasi yang jelas bahwa jiwa berbeda dengan nafsu.
Dalam tulisannya, al-Kindi mengatakan bahwa jiwa itu mempunyai potensi pikir (al-quwwah al-‘aqliyyah), potensi marah (al-quwwah al-ghadabiyyah), potensi syahwat (al-quwwah al-shahwaniyyah), manusia bila meremehkan segala yang empiris dan memusatkan pandangan dan bahasannya pada hakikat-hakikat sesuatu, niscaya terbuka bagi jiwanya pengetahuan tentang yang gaib, mengetahui yang tersembunyi dalam jiwanya dan mengatahui rahasia-rahasia penciptaan. Bila tujuan manusia hanya mendapatkan kenikmatan makan dan minum, niscaya tertutup jalan bagi potensi (daya) pikirnya untuk mengetahui hal-hal yang mulia, dan tidak mungkin baginya mencapai kualitas menyerupai Tuhan.
Kematian manusia di alam dunia berarti berpisahnya jiwa dari badan. Badan yang tersusun dari materi menjadi musnah bercerai-berai, sedangkan jiwa yang tidak tersusun tetap hidup tanpa badan. Jiwa yang bersih setelah berpisah dengan badan pergi ke alam kebenaran atau alam akal, di atas bintang-bintang di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan-Nya dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan abadi dari jiwa. Sedangkan jiwa yang masih kotor harus mengalami penyucian terlebih dahulu. Mula-mula ia harus pergi ke bulan, kemudian setelah berhasil membersihkan diri di sana dilanjutkan ke Merkuri dan seterusnya, naik setingkat demi setingkat sampai akhirnya, -sesudah benar-benar bersih- mencapai alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
Di sini terlihat bahwa al-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal. Alhasil, bagi al-Kindi, jiwa sesuai dengan terminologi al-Qur’an adalah Khalidina Fiha yang dalam bahasa Indonesia diartikan kekal, akan tetapi kekekalannya berbeda dengan Tuhan karena kekalnya dikekalkan Tuhan.
Al-Kindi dalam risalahnya juga membahas tentang tentang akal. Ia gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal menurutnya terbagi menjadi empat macam:
Pertama, akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql allazi bi al-fi’l ‘abada). Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat ilahi dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang menjadikan akal potensial dalam jiwa manusia menjadi actual.
Kedua, akal yang bersifat potensial (al-‘aql bi al-quwwah), yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
Ketiga, akal yang bersifat perolehan, ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraknya. Akal ini disebut akal aktual tingkat pertama Akal perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis. Menurut al-Kindi, akal pertamalah yang membuat akal potensial keluar menjadi aktualitas.
Keempat, akal yang berada dalam keadaan nyata, ketika ia aktual maka ia disebut akal aktual tingkat kedua. Ia diibaratkan proses penulisan bila seseorang benar-benar melakukan penulisan.
Pendapat al-Kindi menganai akal nyaris mengutip secara penuh pendapat Aristoteles. Memang sangat terasa bahwa ia Aristotelian. Meskipun ia mengkritik Aristoteles tentang kosep Tuhan sebagai pengerak awal, akantetapi nyatanya logika yang digunakan oleh al-Kindi tetap tidak beranjak dari logika Aristoteles.
Filsafat Moral
Al-Kindi berpendapat bahwa tujuan terakhir filsafat terletak pada hubungannya dengan moralitas, sedangkan tujuan filosof adalah untuk mengetahui kebenaran dan kemudian berbuat sesuatu dengan kebenaran tersebut. Yang menarik dari pandangan al-Kindi adalah kecenderungan manusia untuk berbuat baik. Hal ini karena ada hakikat keilahian dalam pikiran manusia, maka manusia lebih cenderung berbuat kebaikan, sedang keburukan tidak serasi dengan jiwa manusia. keburukan hanya terjadi atas kemenangan nafsu atas nalar.
Upaya filsafat tidaklah sekedar mengatahui kebenaran, melainkan juga mengamalkannya. Menurutnya pengetahuan tentang perbuatan yang utama (luzum al-fadail) dan perbuatan yang hina (tark al-razail) haruslah bermuara pada mencintai dan menegakkan secara konsisten perbuatan-perbuatan yang utama dan meninggalkan perbuatan-perbuatan hina. Sejalan dengan Plato, al-Kindi menulis bahwa pokok pangkal keutamaan jiwa manusia adalah memilih dan mengembangkan sikap moderat (al-i’tidal), sedangkan pokok pangkal kehinaan adalah keluar dari moderat itu dan menjadi ekstim, baik dalam bentuk sikap terlalu kurang (al-taqsir), atau sikap terlalu berlebihan (al-ifrat). Dengan mengaktualkan sikap (sifat) moderat, maka dari potensi pikir muncul kebajikan, dari potensi marah muncul keberanian, dari potensi syahwat muncul kesucian atau keterkendalian selera. Bila terlalu kurang dalam pengembangan ketiga potensi jiwa itu, maka muncullah kedunguan, sikap pengecut dan kelesuan. Dan bila terlalu berlebihan maka muncullah sikap kelicikan, sembrono dan keserakahan.
Manusia haruslah mengembangkan potensi jiwanya sedemikian rupa sehingga mengaktual empat keutamaan pokok di atas (moderasi, kebijaksanaan, keberanian dan kesucian atau keterkendalian). Dengan empat keutamaan pokok itu seseorang menjadi manusia utama.
Teori kebenaran kolaboratif al-Kindi dan Sumbangsihnya: Sebuah Analisis
Sebagaimana yang telah ditelusuri dari pembahasan metafisika al-Kindi di atas, dapat diidentifikasi adanya kompromisasi antara metafisika Islam dan Yunani. Harus diakui, al-Kindi mampu melakukan hal itu dan mengembangkannya. Saat membahas filsafat ketuhanan dan alam, sangat jelas ia bersikukuh pada pendirian teologi Islam yang mengatakan bahwa Tuhan itu Esa dan Ia adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles. Kemudian ketika membahas masalah jiwa, ia sangat mirip dengan pandangan Plato dan Plotinus, mulai dari konsep dualisme badan dan jiwa, kekekalan jiwa, jiwa emanasi dari Tuhan, pembagian jiwa menjadi tiga bagian, hingga hubungan antara jiwa dengan moralitas. Sedangkan saat berbicara tentang akal, ia sangat dekat dengan pemikiran Aristoteles dan ia juga berhasil mengembangkannya.
Tindak afirmatif yang dilakukan al-Kindi terhadap metafisika Yunani sebenarnya bukan perkara yang begitu kontroversial, sebab sudah dari awal banyak persamaan antara ajaran teologi Islam yang bersumber dari teks al-Qur’an dan hadis dengan metafisika Yunani. Adapun yang menjadikan ia dipandang kontroversial—terutama bagi kelompok literalis--adalah terletak pada caranya dalam mengembangkan metafisika. Seperti halnya yang dilakukan oleh para teolog dan fuqaha zamannya, al-Kindi begitu gandrung dengan pola pikir rasional Yunani. Ia meletakkan rasionalitas dalam posisi yang unggul dalam mencari kebenaran. Bahkan ketika dihadapkan pada dua sumber kebenaran yang bertentangan yakni teks al-Qur’an dan juga rasionalitas, ia lebih memilih memenangkan rasionalitas dengan menakwilkan teks al-Qur’an. Dengan demikian, sebenarnya al-Kindi tidak beranjak sedikit pun dari epistemologi Yunani.
al-Kindi tidak seperti Plato misalnya, yang mampu mempertemukan pertentangan antara Heraklitos tentang hakikat alam yang terus bergerak dan Parmenides yang meyakini hakikat alam bersifat tetap. Plato memunculkan konsep alam idea yang tetap untuk mengiyakan Parmenides dan alam dunia yang terus bergerak untuk mengiyakan Heraklitos. Dari perpaduan ontologi tersebut Plato kemudian bisa memunculkan efek epistemologi yang idealistik dengan kecenderungan mistik Pitagorian yang kemudian dikembangkan Plotinus dan juga dilanjutkan dalam tradisi sufistik Islam. Measkipun demikian, setidaknya al-Kindi mampu mengkolaborasikan teori kebenaran berbasis teks ala Islam Arab dan kebenaran Filsafat Yunani. al-Kindi lah lagitimator prinsip kebenaran filsafat sejalan dengan kebenaran agama atau sebaliknya.
Dalam pemikiran filsafatnya, seringkali ia bersikap mempertahankan ha-hal yang final dari Islam--misalnya konsep keesaan Tuhan dan Tuhan sebagai Pencipta—dan mengambil hal baru dari Yunani (seperti sudut pandang filsafat dan konsep-konsep metafisika para filsuf Yunani) yang menurutnya sesuai. Dari jalan eklektik yang dilakukan oleh al-Kindi ini menjadikannya belum mampu membentuk bangunan epistemologinya sendiri yang setidaknya dapat merepresentasikan epistemologi khas Islam. Dengan kata lain, epistemologi yang dibangun oleh al-Kindi sebenarnya adalah epistemologi kolaboratif, meskipun sebenarnya dalam banyak hal filsafat Yunani lebih berperan kuat sebagai instrumen filosofis daripada instrumen tekstual Islam.
Betapapun demikian, dalam memahami al-Kindi tidak bisa dilupakan konteks zamannya begitu saja. Sebagaimana dijelaskan di awal, al-Kindi hidup pada zaman dimana perdebatan antara kelompok Mu’tazilah dan kelompok Dzahiriyah sedang berlangsung. Dalam hal ini, al-Kindi sendiri cenderung kepada kubu Muktazilah. Dengan demikian, arus tren pemikiran di zaman al-Kindi lebih semarak kepada perdebatan teologi, metafisika dan pengembangan ilmu pengetahuan bukan persoalan epistemologi. Sementara itu, rasionalitaslah yang menjadi primadona ukuran kebenaran dari agumentasi-argumentasi yang diajukan. Meski sering disebut sebagai filsuf Arab pertama, al-Kindi memang bukan seorang yang pertama-tama menggunakan rasionalitas Yunani untuk memahami Islam. Sebagaimana yang dituliskan Dedi Supriyadi, sebelumnya tradisi rasional Yunani sudah berkembang dan diidolakan mulai zaman teologi Qadariyah dan semakin semarak pada teologi Muktazilah. Maka dari itu, wajar apabila al-Kindi juga mengedepankan rasionalitas Yunani tanpa kritik, terlebih ia juga terlibat dalam kubu Muktazilah yang mulai masa khalifah al-Makmun menjadi Madzhab resmi negara.
Apa yang dilakukan oleh al-Kindi semasa hidupnya bukan tidak memberikan sumbangsih yang besar dalam tradisi pemikiran Islam. Ia banyak menginspirasi para filsuf muslim setelahnya. Keberhasilannya dalam melakukan penerjemahan teks-teks asing tentunya menjadi sumbangsih tersendiri. Disamping itu, usahanya mempertemukan tradisi Islam yang teks (al-Qur’an dan hadis) sentris dengan tradisi keilmuwan Yunani yang rasional juga merupakan jasa yang besar bagi umat Islam sepanjang zaman. Bagaimanapun, bertemunya tradisi rasionl dan tradisi tekstual di dalam Islam menjadikan Islam lebih bersifat liberal, tidak eksklusif dan dogmatik dalam memahami ajaran agamanya.
Satu adagium yang seolah berusaha digaungkan oleh al-Kindi kepada dunia adalah, “tidak ada kebenaran, selain merujuk kepada agama dan filsafat”.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari tulisan ini ada beberapa hal yang bisa disimpulkan: Pertama, al-Kindi termasuk pioner dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu (walaupun belum sempurna),dari usahanya ini, ia telah melebarkan jalan bagi filsuf setelahnya. Kedua, dalam bermetafisika, al-Kindi bnyak terpengaruh dari pemikiran filsuf Yunani, seperti Plato, Aristoteles, dan juga Plotinus. Ketiga, apa yang diusahakan oleh al-Kindi telah memberikan sumbangsih yang besar bagi dunia keilmuan Islam, meskipun dalam ranah filsafat belum memunculkan corak epistemologi yang khas, tetapi pertemuan antara Islam dan Yunani banyak menginspirasi generasi setelahnya untuk bersifat rasional dalam beragama, sehingga tidak dogmatik dan ekslusif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed), “Filsafat”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.
Aceh, Aboebakar. Sejarah Filsafat Islam. Solo: Ramadhani, 1992.
Atiyeh, George N. Al-Kindi;Tokoh Filosof Muslim. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Dahlan, Abdul Aziz. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan, 2003.
Fakhri, Majid. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Penerbit Mizan, 2001.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1999.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Shaikh, M Saeed, Studies in Mulim Philosophy, Delhi: Shah Offset Printer, 1994.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam: Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Syarif. History of Muslim Philosophy. Delhi: t.p, t.th.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar